TALAK

196 28 2
                                    



Hilmy memacu motor matic premiumnya dengan kecepatan tinggi. Jalanan pagi desa pesisir Sukolilo Barat yang tak mulus, sama sekali tak menyurutkan niatnya untuk segera sampai di rumah. Hari ini adalah hari terakhir pengumpulan berkas laporan nilai bulanan siswa.

Sebenarnya, jarak antara rumah dan pesantren tempatnya mengajar tidaklah jauh. Dengan kecepatan normal, hanya butuh waktu tak sampai sepuluh menit bermotor. Tapi ... efek lupa dan merasa ingin segera mengumpulkanlah yang membuat seluruh tubuh bersekongkol untuk memacu motor dengan kecepatan tinggi. Padahal, ia harus melintasi jalanan berlapis aspal kasar yang telah berlubang di sana-sini. Pun begitu sempit, karena hanya merupakan jalanan kampung pesisir. Lebarnya tak sampai enam meter. Jika ada dua mobil berpapasan, keduanya harus menurunkan kecepatan agar tak saling senggol.

Kali ini, ia membutuhkan waktu sekitar lima menit saja untuk sampai di rumah. Setelah memarkirkan motor di depan teras, Hilmy berjalan cepat masuk rumah. Bahkan karena terlampau terburu-buru, ia sampai lupa untuk sekadar berucap salam.

Ia seketika masuk kamar depan dan menyambar berkas yang tergeletak di ranjang. Rupanya, karena terlampau terburu-buru ketika hendak berangkat tadi, laporan itu tertinggal di sana.

Ia langsung keluar dan hendak kembali ke pesantren. Tapi, tiba-tiba langkahnya terhenti di ambang pintu manakala terdengar suara dua orang bercakap-cakap. Sepertinya itu suara istrinya dan seorang kebulen (santri abdi dalem dalam bahasa Madura) yang telah beberapa bulan ini berada di rumahnya. Dia adalah utusan mertuanya yang ditugaskan melayani sang istri.

Hilmy berusaha mengabaikannya, karena ingin segera kembali ke sekolah. Tapi ... suara obrolan itu terasa aneh. Seakan-akan keduanya tengah berselisih paham. Mana mungkin seorang Ning berseteru dengan santrinya seperti itu? Tak hanya itu, bahkan pintu kamar pun tertutup. Mencurigakan.

Hilmy melangkah perlahan, sedikit mengendap-endap. Lalu, menempelkan telinga ke pintu. Rasanya cukup aneh. Menguping di rumah sendiri.

"Aku menyayangimu, Nia. Tapi, kenapa kamu ngelakuin itu padaku? Bayi itu adalah satu-satunya harapan kita untuk menyelamatkan hubungan ini. Tapi, kamu malah memberiku obat itu dan mengatakannya sebagai vitamin."

"Tapi, Ning, sampean enggak akan tahu sakit yang kurasa. Hatiku ngilu, setiap kali ingat kalau lelaki itu adalah ayah janin itu."

"Kamu pikir aku suka, hah? Aku tersiksa, Nia. Hanya dengan cara memiliki bayi saja kita bisa terus begini. Bahkan, ketika menghadiri pesta pernikahan di Surabaya, seorang teman menyindirku. Dia curiga tentang hubungan kita. Karenanya, hanya dengan cara memiliki anak sajalah kita bisa aman. Tapi kamu terlalu gegabah."

Tidak! Ini pasti salah dengar, kan? Pembicaraan mereka terdengar seperti pembicaraan yang tak wajar. Ada hubungan tak beres di antara Nia dan Icha.

Apakah ini artinya ... selama ini Hilmy telah tertipu? Sontak, hadir amarah yang menggelegak di hati Hilmy. Ia seketika membuka pintu itu dan menemukan istrinya dan Nia tengah duduk hampir berhadapan di bibir ranjang.

Keduanya seketika beranjak dan tampak terkesiap. Mereka menatap nyalang beberapa saat ke arah Hilmy. Lantas setelahnya, Nia segera menunduk dengan kedua tangan yang terjalin di depan tubuh. Sementara Icha, tampak kebingungan dengan pandangan mata yang tak tenang.

Ini jelas tak beres. Kalau memang tak ada hubungan khusus di antara keduanya, mana mungkin seorang kebulen bisa dengan santainya duduk sejajar dengan putri gurunya. Bahkan sepertinya, gerak-gerik keduanya pun tak wajar.

"Jadi, bayi itu sengaja dibunuh?!" bentak Hilmy dengan deru napas yang memburu.

"Apa maksud Mas? Jangan menuduh sembarangan! Ibu mana yang akan dengan sengaja membunuh anaknya, Mas?" Icha berusaha membela diri. Nada suaranya meninggi dengan kedua alis yang hampir bertaut. Dia melangkah mendekati Hilmy. Lalu, mendaratkan telapak tangan di bahu lelaki yang tengah dikuasai amarah itu.

Hilmy seketika menepis tangan itu. Matanya menyipit dan membidik tajam pada sang istri. "Sudahlah, Ning. Aku sudah cukup bersabar." Hilmy menjeda kalimatnya cukup lama. Naoasnya terengah-engah. "Faizah Rizkiyah, sekarang aku talak kamu dengan tiga kali talak."

Sungguh, semua ini adalah penghinaan terbesar bagi Hilmy. Tak hanya sekali ini saja, sepanjang pernikahan yang hanya setahun lebih sedikit itu, ia terus saja menahan diri dari sikap keterlaluan sang istri. Sebagai seorang suami, ia sudah cukup bersabar. Kini, Hilmy harus tegas, tanpa mengurangi rasa hormat kepadanya sebagai putri sang guru.

Rumah tangga Muhammad Hilmy sudah hancur. Selama setahun lebih dia berusaha bertahan dan berpikir positif. Alasan takzim dan tak ingin menyakiti hati guru dan orangtualah yang membuatnya begitu.

Tapi, meski keadaan hatinya berantakan, sebagai seorang khadimul ilmi, ia tetap berusaha tampak baik-baik saja. Ia berniat kembali lagi ke pesantren Kiai Bahar untuk kembali mengajar pagi ini.

Urusan memulangkan istrinya nanti, biar dipikir belakangan. Hilmy sudah tak mau dipusingkan dengan urusan perempuan itu. Perbuatannya kali ini sangat fatal. Bukan hanya soal pengkhianatan yang memalukan. Tapi ... dia sudah dengan sengaja menggugurkan kandungannya sendiri. Darah daging Hilmy yang sempat membuatnya sangat bahagia.

Hilmy kembali memacu motor dengan kecepatan tinggi. Kali ini, dia bukannya terburu-buru, tapi amarah yang masih menggelegaklah penyebab dia melakukan itu.

Satu embusan napas panjang setelah helaan sangat dalam. Hilmy berusaha menghalau amarah dan sesak di dada. Ia yang telah mematikan mesin motor, segera turun dan menuntunnya memasuki halaman pesantren. Lalu, memarkirkannya dengan baik.

Ia memeriksa penunjuk waktu pada pergelanangan tangannya. Masih ada sisa waktu beberapa menit sebelum bel masuk sekolah berbunyi.

Hilmy melangkah menuju kantor sekolah setelah memastikan bahwa dia sudah mampu menyembunyikan amarah dan keresahan hatinya. Tak ada seorang pun yang boleh melihat jejak emosinya barusan. Terlebih lagi, kini dia harus mengajar.

Tapi, belum juga sampai di kantor guru, ponselnya berdengung panjang. Seketika ia merogoh saku celana cokelatnya dan memeriksa siapa yang meneleponnya kali ini.

Hilmy mengernyit. Sebuah nomor baru yang tak dia kenal. Ia menggeser simbol hijau dan berucap salam.

"Waalaikumsalam. Ra, ini aku, Ali."

Hilmy seketika terkesiap dan menghentikan langkah beberapa meter di depan pintu kantor sekolah. Lora Ali menghubunginya? Setelah beberapa bulan menghilang, ternyata dia masih ingat kepada sahabatnya? Tapi, mengingat kepergiannya kala itu, jelas tujuannya menghubungi kali ini karena ada hal penting.

Sebelah sudut bibir Hilmy tertarik. Seberkas ingatan tentang kepergian Lora Ali seketika hadir. Sahabatnya itu begitu nekat. Dia sangat berani kabur dari rumah untuk menghindari perjodohan. Sementara Hilmy, begitu berbeda. Dia harus selalu menjadi good boy yang iya-iya saja ketika dititahkan untuk menikah. Karena katanya ... manut itu bisa mendatangkan berkah dan kebaikan dalam kehidupan. Tapi sekarang, lihat saja. Semua tetap berakhir hancur dan benar-benar memalukan.

[END] Sahaja CintaOnde as histórias ganham vida. Descobre agora