KEHILANGAN YANG SAMA

114 24 3
                                    


Hilmy memarkirkan mobil di garasi, lalu langsung turun dan membukakan pintu untuk Fida. Tampak Neng Robi'ah berjalan cepat untuk membantu. Kebetulan sebelumnya dia mengendarai mobil lain bersama Neng Ida.

"Barang-barangnya, biar aku dan Mbak Ida yang beresin. Kamu bawa Fida ke kamar saja biar istirahat," titah Neng Rob'iah setelah membantu membukakan pintu.

Hilmy mengangguk seraya memapah istrinya masuk rumah. Tamu perempuan dari Madura, berkumpul di ruang tengah. Sepertinya, Bu Nyai Marhamah sudah menemani mereka sejak sebelum Hilmy dan Fida tiba. Mereka seketika memusatkan perhatian pada Hilmy dan Fida. Bu Nyai Marhamah dan Bu Nyai Sa'adah, ibu Hilmy, seketika beranjak.

Bu Nyai Marhamah langsung menuju kamar, sementara Bu Nyai Sa'adah membantu Hilmy memapah istrinya. Hilmy sempat menengok ke arah dapur, tampak dua santri putri tengah membantu Mak Ti. Dalam keadaan seperti itu, wajar jika ibu mertuanya itu membawa khadimah untuk membantu. Tidak ada yang perlu dirisaukan.

Setelah Fida berbaring dengan nyaman bersama Ibu dan mertua yang mendampingi, Hilmy memutuskan untuk keluar kamar dan menemui tamu lelaki di ruang tamu. Lora Ali dan Kiai Marzuki sudah menunggu bersama Kiai Mudzakir yang menemani.

Hilmy menyalami kedua tamunya, kemudian duduk di sebelah Kiai Mudzakir. Mereka bercakap-cakap ringan setelahnya.

Keadaan yang menimpa Fida saja benar-benar berhasil membuat Hilmy begitu terkejut. Sekarang, ditambah lagi bantuan dari Kiai Mudzakir perihal biaya rawat inap. Dua hal yang sama beratnya, membuat kepala rasanya mau meledak. Tapi, urusan pemulihan kesehatan Fida jauh lebih penting. Sementara masalah berbagi bantuan uang dari Kiai, bisa dipikirkan belakangan. Yang jelas, tuntutan untuk bisa membuktikan kemampuan diri, menjadi semakin besar.

Pun perihal khadimah yang membantu Mak Ti tadi, apakah mereka akan terus membantu? Atau … hanya sampai Fida pulih? Apakah ini semacam pertanda agar mampu berdamai dengan ketidaknyamanan? Kelelahan yang dialami Fida, mungkin seolah-olah berasal dari kegiatan persiapan acara akhir tahun. Tapi, bisa juga dia mengalami kelelahan sebab mengurus rumah. Semua mungkin saja terjadi.

Mengapa harus setidaknyaman itu jika mengingat perihal khadimah? Kehilangan calon buah hati kali ini adalah murni musibah, dan bukannya rekayasa, kan? Tapi, mengapa hati tak henti menghubungkan semua itu dengan kejadian serupa di masa lalu? Kejadian kehilangan yang sama.

Masih lekat dalam ingatan tentang kejadian beberapa tahun lalu. Entah apa yang membuat Icha berubah. Malam itu, dia tiba-tiba mau membuka pintu kamarnya. Pun begitu, menghampiri Hilmy lebih dulu. Mengajaknya mengobrol, layaknya tak pernah terjadi kebisuan dan perang dingin sebelumnya.

Sebenarnya, keraguan sempat hadir. Ada sangsi yang mengusik hati. Tapi, gejolak kelelakian tak mampu dibendung lagi. Dan nahas, malam itu Hilmy gagal. Bukan karena Hilmy tak mampu, tapi Icha menendang perutnya dan sempat memekik, seperti orang yang sangat ketakutan.

Hilmy sempat merasa heran dan mengira bahwa Icha memiliki trauma yang membuatnya bersikap demikian. Tapi, di kemudian hari, semua terbongkar dengan sangat menyakitkan.

Perlu mencoba beberapa kali hingga benar-benar mampu. Anehnya, selama umur pernikahan yang hanya setahun lebih beberapa minggu itu, Hilmy hanya melakukan hubungan dengan mantan istrinya sebanyak dua kali. Semuanya terjaadi sebelum Icha dinyatakan hamil. Karena sejak dinyatakan positif mengandung, Icha sama sekali tak mau melakukannya lagi. Berbagai alasan dikemukakan. Yang tentu saja, membuat Hilmy merasa wajib menuruti. Bukan hanya karena Icha merupakan putri Kiai Idris, tapi alasan agar calon ibu itu bisa lebih tenang juga menjadi pertimbangan bagi Hilmy. Dia hanya ingin melakukan yang terbaik semampunya.

Semua tak menjadi masalah besar. Kehamilan Icha benar-benar membawa kebahagiaan dan kebanggan, meskipun kebutuhan biologis tidak lagi bisa tersalurkan.

"Mas, aku boleh minta sesuatu?" Tiba-tiba saja Icha menghampiri Hilmy pada suatu malam, ketika dia sedang mengerjakan beberapa tugas di ruang tengah. SUARAnya terdengar lembut.

"Ya, Neng? Kamu ingin makan sesuatu?" tanya Hilmy. Dia tak ingin sedikit pun gagal memenuhi keinginan perempuan yang telah mengandung calon buah hatinya itu.

Icha menggeleng, kemudian duduk pada kursi di depan Hilmy. "Kalau aku minta dikirimi Mbak Dalem dari rumah buat bantu-bantu di sini, Mas enggak apa-apa, kan?"

Mendengar permintaan Icha, Hilmy terdiam. Permintaan yang cukup berat. Hadiah mobil saja sudah cukup besar, terlebih jika harus menghadirkan khadimah?

"Ehm … kalau nggak boleh, aku nggak akan maksa, kok. Cuma, aku sering ngerasa nggak enak dan kesulitan ngerjain banyak hal. Kalau pas Mas ngajar, kan, aku sendirian di sini."

Hilmy menghela napas berat. Icha benar. Mengingat keadaan saat itu, keberadaan seseorang yang bisa siaga membantu, memang sangat penting.

Akhirnya, Hilmy mengiakan permintaan Icha. Beberapa hari setelahnya, khadimah yang diminta, datang dengan diantar Kiai dan Bu Nyai Idris. Sama seperti kedatangan mobil sebelumnya.

Mulanya, Hilmy mengira bahwa keputusan mengalah benar-benar tepat, Icha menjadi lebih ceria, jauh berubah daripada sebelumnya, meskipun tetap ada satu yang tak pernah berubah. Mereka tak pernah tidur sekamar.

Namun, meski sudah ada khadimah yang membantu, ternyata kehilangan itu tetap terjadi. Pagi itu, ketika Hilmy tengah mengajar, dia mendapat panggilan telepon dari khadimah itu.

"Gus, Neng Icha, Gus," ucap khadimah itu dengan nada suara terdengar khawatir, "Neng Icha pendarahan."

Hilmy segera melesat pulang. Dia langsung mengeluarkan mobil dari garasi dan membawa Icha ke Rumah Sakit.

Sebab gelisah, Hilmy mondar-mandir di depan ruang gawat darurat, menunggu Icha yang tengah ditangani paramedis. Lantas, sekitar tiga puluh menit kemudian, seorang petugas medis keluar dari ruangan.

"Bapak ini suaminya?" tanya lelaki berpakain serba putih itu.

"Iya. Bagaimana keadaan istri saya?"

"Maaf, Pak. Kami tidak bisa mempertahankan bayinya. Sepertinya pendarahan cukup hebat. Jadi, harus dilakukan tindakan kuretase."

Dunia Hilmy hancur seketika. Kebahagiaan dan kebanggan yang baru dimiliki, lenyap dalam sekejap mata. Tapi jika diingat kembali, kesedihan kala itu, rasanya bergitu berbeda. Perasaan sedih Hilmy kala itu, murni karena kehilangan calon buah hatinya. Kekhawatiran tentang Icha lebih kepada menjaga amanah dari sang Kiai. Tapi, yang terjadi pada Fida begitu berbeda. Seolah-olah, kesedihan akan kehilangan calon buah hati mereka, jauh dikalahkan kekhawatiran terhadap keselamatan Fida.

Rasa yang berbeda itu belum benar-benar jelas dari mana asalnya. Apakah karena kali ini Hilmy mencintai Fida sedangkan dulu dia belum memiliki perasaan itu untuk Icha? Atau … karena pengkhianatan terkutuk itu yang mengaburkan semua rasa yang ada. Membuat yang telah terjadi terasa menyakitkan dan meninggalkan bekas mendalam.

Bayangan masa lalu masih saja terus mengganggu. Tapi, Hilmy tetap berusaha berdamai dengan semua. Terbukti beberapa hari kemudian, setelah mempertimbangkan saran Bu Nyai Marhamah, akhirnya ada dua khadimah yang membantu. Itu pun dengan catatan hanya sampai Fida kembali pulih dan ada Bu Nyai atau saudari dan ipar Fida yang menginap secara bergantian untuk menjaga Fida.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now