KECAMUK RASA

152 25 5
                                    

Hilmy masih berdiri beberapa saat di belakang pintu yang telah tertutup. Dia menarik napas dalam. Berbagai rasa bergejolak di dada. Yang paling jelas terasa adalah perasaan bersalah yang menggelayuti hati.

Ia masih teringat pada Adeeva. Padahal, sudah sangat jelas jika ternyata Gus Baim kembali menghubunginya dua minggu yang lalu. Sangat jelas jika mereka memang tak mungkin berjodoh. Taklik talak itu telah dibatalkan.

Lantas setelahnya, berselang sebulan setelah pertunangan itu, akhirnya Hilmy menikah dengan Fida. Semakin memantapkan bahwa dia dan Adeeva memang tak ditakdirkan bersama.

Hilmy melangkah, mendekati Fida yang duduk memunduk di bibir ranjang. Dia pasti tengah gugup. Tampak jelas dari gerak tubuhnya. Kedua tangan yang sibuk meremas tisu di pangkuan. Pun masih menggigit bibirnya dengan sangat. Terus saja menunduk dalam.

Tampak tetesan keringat di pelipisnya. Bahkan, bagian samping pashmina hitamnya juga tampak sedikit basah. Padahal, pendingin ruangan sudah diatur pada suhu terendah.

Perlahan, Hilmy duduk di sebelah perempuan yang telah menjadi … istrinya. Ia menarik napas dalam seraya membenahi peci hitamnya.

Lagi, keresahan hadir dalam hati. Mampukah kehidupan rumah tangga berjalan baik dalam keterpaksaan? Untuk masalah fisik, rasanya … bukan hal sulit. Tapi, menikah bukan hanya tentang berhubungan intim, bukan? Lebih dari itu. Menyelaraskan hati. Menjadikan dua jiwa dalam satu harmoni. Tapi, apa mungkin terjadi jika …. Lagi-lagi bayangan Adeeva mengusik hatinya.

Lampu kamar masih menyala terang. Suasana terasa sangat sepi di rumah besar itu. Bunyi detak jarum jam yang terdengar jelas. Jam dinding menunjukkan angka setengah sembilan.

Satu dehaman meluncur dari mulut Hilmy yang seketika membuat perempuan di sebelahnya terlonjak. Fida pasti sangat gugup. Pengalaman pertama untuknya.

Sejujurnya, ada gejolak kelelakian yang bisa menerobos begitu saja dan membuat segalanya terjadi. Tapi … secuil rasa bersalah itu masih saja mengganggu.

Tapi, semua harus segera diatasi. Hilmy bukan lelaki jahat. Tentu saja, jika itu terjadi, bisa menjadi sebuah maksiat luar biasa. Dosa zina. Naudzubillah.

Perlahan, Hilmy meraih tangan istrinya. Menyingkirkan tisu yang sudah lepek dari genggamannya. Lantas, menyelipkan jari-jarinya di antara jemari Fida. Menggenggamnya erat.

Dingin. Pun sedikit gemetar.

Sembari berusaha menyelaraskan rasa dan menenangkan batin, ia semakin mengeratkan genggamannya.

Merasakan sikap Fida, membuat bayangan Adeeva, seketika berganti dengan ingatan tentang Icha. Pernikahan kali ini memang serupa. Tapi ... pasti tak mungkin sama, kan?Tentu tidak. Fida tak mungkin perempuan semacam 'itu'.

"Kamu … gugup?" tanya Hilmy lirih. Tapi, tetap saja kembali membuat Fida tersentak. Dalam keadaan sesepi itu, tentu saja suara selirih apa pun pasti terdengar jelas.

Tak ada jawaban. Hanya … gelengan pelan dan tangan yang semakin bergetar. 

Telapak tangan kiri Hilmy mendarat di jalinan tangan mereka. Bergerak perlahan, lalu berhenti bersamaan dengan helaan napas dalam. "Kita … sekarang suami-istri. Kuharap, kamu bersedia menerimaku yang begini ini," nada suaranya merendah pada kalimat terakhir.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now