PERCAKAPAN DINI HARI

106 21 10
                                    

Hilmy membuka mata perlahan. Terasa kepala seseorang menindih lengan kanannya. Pun sayup-sayup terdengar suara embusan napas teratur. Ia mencoba menangkap keadaan kamar, tapi suasana begitu gulita, karena lampu utama dan lampu tidur masih dimatikan. Dengan hati-hati, tangannya yang masih bebas, berusaha menggapai saklar lampu tidur di atas sandaran dipan. Lantas, menyalakannya.

Perempuan yang sudah menjadi istrinya itu terlelap begitu tenang di pelukan. Manik dengan bulu mata hitam lebat itu terpejam. Meskipun tak terlalu lentik, tapi tak mengurangi keindahan dua alat penglihatan berbingkai cantik itu jika telah terbuka. Begitu pas dan selaras. Mata berbingkai indah yang baru dua hari terakhir dihiasi celak hitam. Sebelumnya, mana ada seoles pun riasan melapisi paras lugu itu. Pun dengan alis tidak terlalu tebal, tapi sangat cantik, menjadikan paduan pahatan karya agung Sang Pencipta itu sangat indah. Bukannya sangat cantik tak terkalahkan. Tapi, paras Fida ayu menenangkan. Ya ... seperti itulah mendeskripsikan perempuan yang masih terlelap di rengkuhan Hilmy itu.

Beberapa helai rambut ikal, menempel pada pipi bagian atas Fida. Perlahan, Hilmy menyingkirkan dan merapikannya di belakang telinga sang istri. Andai penyebab rasa cinta adalah melulu soal fisik yang rupawan, niscaya gundah tak akan pernah begitu lama berkuasa di hati. Sayangnya, cinta ternyata serumit itu.

Satu embusan napas panjang, lalu Hilmy mencoba beringsut. Tapi, perempuan di pelukannya itu tiba-tiba menahannya dengan sebelah tangan yang mendarat pada pinggang. Terdengar suara gumaman pelan yang tak mampu dipahami jelas. Hilmy menyingkirkan tangan itu, lantas mendaratkan ciuman pada kening istrinya sembari membelai bagian samping kepalanya. Memindahnya ke bantal, lalu beringsut perlahan sembari meraih ponsel dari nakas dan mengantonginya ke saku celana katun putih.

Melalui cahaya temaram lampu tidur, keadaan kamar masih tampak jelas. Suara detak jam dinding dan embusan pendingin, terdengar sangat jelas pada dini hari, meskipun sudah terdengar sayup-sayup suara lantunan ayat suci dari pengeras suara masjid. Kebiasaan daerah pemukiman dengan mayoritas penghuni muslim. Pun masyarakat Surabaya Utara juga lebih dominan keturunan Madura, atau bahkan memang masih warga asli Pulau Garam. Jam tiga lewat beberapa menit ketika tadi sempat melirik jam dinding.

Hilmy melangkah perlahan sembari mengikat tali piyama tidurnya yang sempat terlepas. Menutup tubuh yang tak terlapisi apa pun selain piyama itu dan celana tidur. Syukurlah semalam masih mampu menahan emosi, hingga tak menimbulkan perselisihan atau perasaan tak nyaman. Membuat keadaan kondusif dan kembali menghadirkan malam yang cukup menyenangkan setelahnya.

Hilmy membuka pintu kamar, lalu menutupnya perlahan. Sangat berhati-hati agar tak sampai membangunkan istrinya. Dia melangkah ke arah dapur untuk membuat kopi.

Ketika teko sudah di atas kompor dengan api yang menyala, pun cangkir terisi kopi dan gula, hadir kembali kelebat kejadian semalam. Sebelah ujung bibir Hilmy terangkat, dan satu embusan napas kecil meluncur cepat. Pandangannya beralih pada kopi dalam cangkir. Fida ternyata begitu paham dengan seleranya. Kopi tubruk dengan sedikit gula. Padahal, itu hanyalah sesuatu yang pernah mereka bicarakan melalui chat, beberapa waktu menjelang pernikahan.

Menit kemudian, Hilmy duduk pada sofa ruang tamu. Meletakkan kopi yang masih berasap di meja, setelah menghidupkan downlight lamp. Membuat suasana ruang tamu sedikit terang kekuningan.

Dia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Lantas mengaktifkannya. Butuh menunggu beberapa kali detak jantung, hingga HP menyala. Dan sepersekian menit hingga semua benar-benar siap.

Aplikasi pertama yang dituju adalah layanan obrolan. Dan fitur arsip pesan yang hanya berisi satu kontak, seketika terbuka. Ada sekitar lima pesan belum terbaca dari kontak itu. Kontak Adeeva, perempuan yang hingga detik ini masih mengusik setiap sudut hati. Menggetarkan tepian jantung ketika mengingatnya. Dan ... menghadirkan sepercik amarah, kecewa, sesal, dan entah perasaan apa lagi jika mengingat tentang semua yang terjadi kemudian.

[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang