TRAUMA

124 21 6
                                    


Seminggu sudah sejak kepulangan dari Rumah Sakit. Tiga hari lalu, Bu Nyai Sa'adah pulang ke Bangkalan. Pun Bu Nyai Marhamah yang tidak lagi sering dan berlama-lama berkunjung. Fida sudah mulai pulih dan bisa berkegiatan dengan baik.

Jarum pendek jam dinding menunjuk angka enam lewat beberapa menit. Mak Ti dan dua khadimah yang masih membantu, tengah sibuk beberes dapur usai merampungkan pekerjaan mereka, mempersiapkan sarapan. Nasi dan lauk siap di meja makan. Fida menunggu dengan gelisah karena Hilmy tak jua datang.

Dia melongok kembali ke arah ruang tengah, lalu menoleh memperhatikan dua khadimah yang tengah sibuk membereskan perabot dapur. Pun Mak Ti yang memotong kecil-kecil beberapa PAPAN tempe untuk membuat kering tempe persiapan lebaran. Apakah … Hilmy menghindari dua khadimah itu? Rasanya memang dia tetap tampak tak nyaman ketika melihat santri putri yang membantu pekerjaan rumah.

Satu helaan napas, lantas Fida beranjak dan melangkah ke kamar. Dan, betapa terkejutnya dia, ternyata Hilmy duduk menunduk di bibir ranjang, seolah-olah melamunkan sesuatu.

Fida berdeham, membuat Hilmy seketika mendongak. "Eh, iya, Neng?" Hilmy tersenyum dengan senyum yang tak sampai ke mata. Bahkan, kedatangan Fida tak disadarinya.

Fida mengembuskan napas, lalu menggeleng pelan. "Sarapannya udah siap. Kak Hilmy mau sarapan di ruang tengah? Biar kuminta Mak Ti buat mindahin."

"Eh, anu. Nggak usah. Biar di sana aja. Anu, ehm …"

"Kak Hilmy tunggu sebentar." Fida berlalu tanpa menghiraukan panggilan suaminya. Ternyata benar, Hilmy masih belum bisa nyaman dengan keberadaan dua gadis itu.

Beberapa menit kemudian, nasi dan lauk telah siap di meja sofa ruang tengah. Mereka sarapan setelah Fida menutup pintu dapur.

"Kak, kayaknya … mulai besok mereka udah nggak perlu lagi di sini." Fida memajukan kepala ke arah Hilmy. Nada suaranya terkesan berbisik. "Sepertinya, aku udah sehat, kok."

Hilmy menghentikan suapan di depan mulut, meletakkannya kembali ke piring. "Lah … baru aja seminggu pulang dari Rumah Sakit. Mereka di sini terus aku nggak masalah. Asal kamu nggak kayak kemarin lagi." Hilmy tersenyum dan meneruskan suapannya.

Mendengar kalimat dan ekspresi wajah sang suami yang terkesan dipaksakan, hadir ketidaknyamanan. Lelaki ini telah mengorbankan kenyamanan demi istrinya. Tapi, mengingat kalimat terakhirnya, seketika hadir kehangatan yang menjalari hati. 'Asal kamu nggak kayak kemarin lagi'. Kalimat itu rasanya begitu manis.

"Tapi … aku pingin masakin Kak Hilmy lagi. Sejak kebiasaan bebikinan dan selalu dihabisin, aku seolah kecanduan." Meski alasan itu hanyalah kebohongan dan terlalu dibuat-buat, tapi demi Hilmy, rasanya tak masalah.

Hilmy menelan makanan di mulut. "Udah, deh. Kamu harus sehat dulu. Itu yang penting. Kapan-kapan, baru bebikinan lagi." Dia menekan ujung sendok pada piring. "Apa kamu lupa pesan Umma sebelum pulang?"

Fida mengangkat alis dengan bibir yang mengerucut. "Inget." Dia pun mengembuskan napas panjang.

"Nah, makanya, dituruti apa kata mertua." Lagi, satu suapan lolos ke mulut Hilmy.

"Tapi, jamu segitu banyak selama dua bulan …." Fida berdecak. Ingatan tentang ketidaknyamanan Hilmy terhadap khadimah, berganti dengan bayangan sekotak jamu aneka ragam yang diberikan oleh Bu Nyai Sa'adah. Pun nasihat mertuanya itu tentang berbagai larangan untuk berkegiatan terlalu berat.

"Itu demi kamu, demi kesehatan kamu. Bahkan, Umi juga setuju dengan nasihat Uma, kan? Rahim kamu harus bersih dulu. Badan harus sehat juga. Biar nanti kalau isi lagi, jadi lebih kuat. Pokoknya sekarang, jaga kesehatan. Ramadhan gak sampe sebulan lagi." Hilmy menggeleng cepat lalu kembali menyuapkan nasi ke mulut.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now