KELIRU

109 20 4
                                    

Saat ini, semua yang dilakukan Hilmy adalah demi Fida. Terlepas dari ego dan harga dirinya, keinginan untuk menjadi suami yang baik untuk sang istri, jauh lebih besar.

Suasana kantor sekolah sudah cukup ramai dengan beberapa pengajar yang baru datang selepas bel istirahat pertama berbunyi. Hilmy baru saja duduk di kursi kerjanya ketika ponsel berdengung panjang. Dia membenahi posisi sembari merogoh telepon androidnya dan menjawab panggilan yang ternyata dari Jakfar.

"Waalaikumsalam. Iya, ada apa, Far?"

"Kamu beneran mau ambil barangnya, My? Soalnya, ada pembeli lain yang mau juga."

"Iya. Jadi, tentu saja. Masalahnya, aku belum ada tempat buat naruh. Masih hunting lokasi. Nggak bisa ditaruh di rumah. Uangnya juga masih kurang."

"Gini aja. Kamu bayar saja DPnya sesuai ketentuan. Barang bisa dititip di tempat orangnya beberapa minggu sebelum tempat usaha itu laku. Atau, kamu mau sekalian gantiin tempatnya juga? Untuk sisanya, bisa diangsur kata orangnya. Dikasih waktu enam bulan. Cukup, lah, ya?"

Hilmy diam beberapa saat, mengernyit sembari menggigit bibir. "Ehm … bisa, sih, enam bulan. Tempatnya di Surabaya Barat, ya? Apa nggak terlalu dekat dengan rumah? Kalau masalah tempat, dananya masih kurang untuk beli. Aku nggak ada sebanyak itu, Far."

"Sewa aja. Kayaknya orangnya mau, deh. Nanti sambil nyari pembeli. Gimana? Dua tahun, kayaknya cukup, lah, ya? Kalau nggak, nanti bisa keduluan orang, loh."

"Oke, deh. Pembayarannya nanti kita kelarin sama surat serah terimanya juga. Mungkin Sabtu siang, kali, ya? Sehabis aku ngajar pagi."

"Oke. Deal. Ini transaksi cash loh, katanya."

"Oke. Aku bawa cash."

Usai saling berucap salam, sambungan telepon terputus. Hilmy meletakkan ponsel pada meja. Dia menatap kosong ke depan seraya menghela napas dalam.

Sebenarnya, tabungan Hilmy cukup untuk membayar total harga yang ditetapkan. Tapi, menghabiskan tabungan untuk modal usaha, sama saja dengan bunuh diri. Paling tidak, menyisakan setengah tabungan untuk berjaga-jaga. Semua butuh perhitungan dan manajemen keuangan yang baik.

Lantas, pada Sabtu siang, Hilmy dan Jakfar bertemu dengan penjual barang itu. Dia adalah lelaki sipit berkulit cerah. Cindo kalau istilah saat ini. Mereka menyelesaikan transaksi dengan pembayaran DP sesuai ketentuan dan sisanya akan menyusul dalam tempo enam bulan berjalan.

Hadir selaksa bahagia dalam hati Hilmy. Impiannya perlahan terwujud. Bulan depan, mungkin tempat usaha itu akan beroperasi. Tinggal mencari operator mesin dan designer yang sementara merangkap sebagai admin. Sementara pemasaran, Hilmy yang akan menanganinya sendiri untuk sementara waktu.

Usai transaksi, Hilmy segera pulang membawa berkas serah terima dan kwitansi pembayaran. Karena, pada jam setengah dua siang, dia harus langsung mengajar pada sekolah diniyah sore.

Mengingat kekurangan uang yang perlu dibayar dalam jangka waktu enam bulan, Hilmy segera mencari tenaga kerja yang dibutuhkan agar percetakan bisa segera beroperasi. Ia menyebarkan informasi via medsos dan kawan-kawannya. Yang jelas, berusaha agar tak sampai diketahui Lora Ali.

Sudah ada beberapa pelamar yang menghubungi. Tapi, sampai sejauh ini, belum ada yang cocok dengan upah dan pekerjaannya. Karenanya, Hilmy masih sabar menunggu, toh, waktu yang tersedia masih panjang. Sisa lebih dari tiga minggu lagi.

Hilmy sedang menikmati kopi sembari sibuk dengan laptopnya pada Minggu siang. Dia tengah merekap pesanan yang akan disetor ke percetakan Lora Ali. Sampai detik ini, ia masih memberikan semua pesanan ke percetakan sahabatnya itu. Rencananya, pesanan akan dibagi ketika percetakannya sendiri sudah beroperasi. Di dekatnya, Fida juga tengah sibuk dengan ponselnya. Telinganya tertutup earphone. Dia tengah menonton drama kegemarannya.

Satu dehaman keluar dari bibir Fida bersamaan dengan sebelah earphone yang dia copot dari telinga kanannya. "Kak, apa nggak enakan pamit baik-baik aja sama Lora Ali?"

Hilmy menghentikan pekerjaannya, lantas menatap Fida. "Kenapa kamu mikir gitu?"

"Entahlah. Apa lama-lama nggak akan jadi masalah? Lambat laun, Lora Ali bakal tahu juga nantinya. Taruhannya persahabatan kalian, loh." Fida mengernyit, menatap Hilmy. Dia membuka earphone yang sebelah lagi dan meletakkan ponselnya.

"Itu dipikirin nanti aja. Aku akan cari cara gimana enaknya. Mungkin, pelan-pelan aku akan ngomong juga, kok."

Fida mengatupkan bibirnya rapat-rapat sembari mengedikkan bahu. "Ya, udah kalau begitu. Aku cuma mikirin pertemanan kalian."

"Makasih udah mengkhawatirkanku." Hilmy hendak menepuk pipi Fida. Tapi, belum juga telapak tangannya menyentuh pipi itu, ponselnya berdengung panjang. Dan sialnya, tangan Hilmy menyenggol cangkir kopi. Membuat isinya tumpah dan mengenai layar ponsel.

Seketika layar HP itu berubah gelap. Cairan kopi membuat ponsel Hilmy mengalami kerusakan.

"Adduh," keluh Hilmy.

"Yah, jangan diapa-apain, Kak. Segera matiin. Lalu bawa ke tempat servis," ucap Fida lantang.

"Bentar. Kayaknya tadi panggilan dari aplikasi chat." Lekas-lekas Hilmy memeriksa HALAMAN chat web pada laptopnya. "Nah, bener si Jakfar." Hilmy mengetikkan pesan chat dan mengirimnya pada Jakfar. Tapi, beberapa detik kemudian, dia membelalak manakala membaca chat yang terpampang di layar.

Jakfar
Hilmy, sepertinya, kita kena tipu. Ada orang yang juga memegang surat perjanjian yang sama seperti milikmu. Dia juga mengaku sebagai pembeli alat-alat percetakan itu. Parahnya, dia juga telah membeli ruko tempat penyimpanannya. Dia punya sertifikat tempat itu.

09.30

"Kenapa, Kak?" tanya Fida seraya menatap Hilmy dengan raut wajah penasaran.

Hilmy masih membelalak, pun menggeleng pelan. Dia berdecak setelah mendaratkan pandangan pada ponselnya. "Mana HP-ku rusak, lagi."

"Ada apa, kak?" tanya Fida dengan nada tak sabar.

"Bentar." Hilmy kembali mengalihkan pandangan pada layar laptop. Dia mengetikkan pesan balasan.

Hilmy
HP-ku rusak kena air, Far. Kamu di mana? Apa kita nggak bisa ngobrol langsung?
09.33

Jakfar
Bisa. Ayo kita cari orangnya. Kutunggu di rumah. Gimana?
09.34

Hilmy
Oke. Aku berangkat.
09.34

Hilmy menutup layar laptop setelah mematikannya. "Neng, aku ada masalah. Harus cepet-cepet ke rumah Jakfar. Nggak bisa ditunda. Tapi, HP-ku …"

"Ada masalah apa?" Fida mengernyit.

"Soal ruko yang kusewa itu. Ini urgent. Nanti pulangnya kita omongin. Sekarang, aku harus cepet-cepet ke rumah Jakfar." Hilmy beranjak setelah mengambil HP-nya. Kemudian, ia melangkah ke arah kamar.

"Kak," panggil Fida yang membuat Hilmy seketika menoleh. "Kamu pake HP-ku aja. Nanti kalau ada apa-apa bisa hubungi Umi atau siapa aja. Biar HP kamu aku yang anterin ke tukang servis di Barat sini."

"Wah, ide bagus. Oke."

Keduanya saling bertukar ponsel. Lalu, Hilmy segera berganti pakaian, dan berangkat ke rumah Jakfar di Sidoarjo menggunakan motor. Sengaja dia melakukannya dengan alasan lebih cepat sampai. Tak lupa, dia membawa berkas serah terima itu untuk diperiksa ulang.

Selama perjalanan menuju rumah kawannya, berbagai pemikiran berkecamuk di kepala Hilmy, ada ragu, cemas, sesal, takut, dan entah apa lagi. Semoga saja masalahnya yang tak menjadi pelik. Semoga ada keajaiban yang membuat semua berjalan lancar. Kemungkinan yang terjadi hanya dua, jika masalah ini bisa menemukan titik terang, paling tidak Hilmy tak akan kehilangan uangnya. Tapi, jika berubah pelik, dia tak tahu lagi harus bagaimana. Jumlah uang itu tak sedikit. Hilmy tak mampu membayangkan jika sampai kehilangan hampir separuh tabungannya.

[END] Sahaja CintaUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum