PERBANDINGAN

97 20 17
                                    

Seharusnya, tidak ada seorang pun yang tak akan terpesona jika melihat mata bulat berbinar dan senyum semringah itu. Fida yang sebelumnya sedang sibuk menyisir rambut ikalnya, seketika menoleh dan menyunggingkan senyum saat Hilmy keluar dari kamar mandi. Ada perasaan tak terdefinisikan yang seketika mencuat. Semacam … merasa bersalah. Aneh. Bagaimana mungkin dengan keayuan paras dan kehangatan senyum itu, hati belum sepenuhnya mampu menuju padanya? Tapi, siapa yang mampu memaksakan rasa?

Bibir tipis berbingkai rahang tegas itu membentuk lengkung tipis, membalas senyum sang istri. Sebelah tangannya sibuk mengeringkan rambut hitam lurusnya dengan handuk. Titik-titik air masih menetes dari ujung-ujung rambut. Membasahi bagian pundak kimono mandi biru tuanya.

Fida meletakkan sisir. Menjepit rambut ikal sepunggungnya dengan jedai. Lantas, beranjak dan melangkah mendekati Hilmy. Dia berhenti tepat di depannya. Mendongak dengan masih mempertahankan senyum hangat. "Aku … bantuin ngeringin, ya?" Kedua telapak tangannya menengadah. 

Bahkan, setelah sikap buruk Hilmy kemarin perihal para santri yang membantu, Fida tetap berusaha menjadi 'istri saleha'. Tapi ... perihal santri perempuan, Hilmy masih belum bisa untuk berdamai. Kecemasan itu masih menghantui.

"Boleh." Hilmy menyerahkan handuk pada istrinya, lantas menunduk dan sedikit membungkuk agar tangan Fida mampu menggapai puncak kepalanya.

"Duduk aja, ya? Kalau berdiri, Kak Hilmy bisa capek." Fida berisyarat pada kursi di depan meja rias.

Hilmy mengangguk dan melangkah. Lalu duduk menghadap sang istri dengan posisi sedikit menunduk. Ornamen bordiran bunga cukup besar di bagian tengah perut bagian atas pada daster arab hijau, pas sejajar dengan arah pandangan.

Dengan lembut dan perlahan, Fida mulai menggosok-gosok rambut suaminya dengan handuk. Entah bagaimana, tangan Hilmy melingkar begitu saja di pinggang sang istri. Seharusnya, hanya perempuan itu yang berhak atas semua. Apakah merupakan sebuah dosa jika masih menahan separuh—bahkan lebih—hati yang seharusnya adalah miliknya? Entahlah. Hanya Tuhan yang tahu.

"Aku udah ngomong sama Umi, Kak, kalau nggak perlu lagi ada mbak dalem di sini. Aku yang akan ngurus rumah ini sendiri. Hanya santri lelaki saja nanti yang akan datang pagi dan sore untuk ngebersihin halaman dan ngurus taman. Juga, buat bantuin bebersih kamar mandi." Fida masih sibuk menggosok setiap bagian kepala Hilmy.

Mendengar hal itu, membuat Hilmy menahan napas beberapa detik. Ternyata, Fida sepenurut itu. Mengurus rumah besar sendirian? Apakah mampu?

"Kamu … beneran bilang begitu sama Umi?" Hilmy mendongak dan sedikit memundurkan kepalanya. 

Fida menatapnya dan mengangguk penuh keyakinan. "Hu'um. Kemarin kulihat Kak Hilmy kayaknya nggak nyaman banget dengan keberadaan mereka. Sebagai istri, seharusnya aku nggak egois. Hanya ngurus rumah, kok. Bukan hal yang berat. Lagipula, masih ada Mak Ti yang bantuin masak, kan?"

Kalimat Fida terjeda oleh embusan napas panjang. Dia mengubah arah pandangan, menatap kosong ke depan. "Aku ingat sebuah keterangan dalam kitab Uqudullujain. Kalau nggak salah ingat, dalam setiap butir beras yang dimasak seorang istri, ada nilai jihad di dalamnya. Bukankah itu juga bisa dikiaskan pada hal lain semisal mengurus rumah?"

Hilmy terkesiap. Rasa bersalah itu semakin menggurita. Mencengkeram kuat setiap tepian hati. Dilema. Adeeva yang sendiri dan butuh perlindungan, atau … Fida yang menyerahkan diri sepenuhnya dalam ikatan halal pernikahan?

Tentu saja. Seharusnya Fida. Tak perlu ditanyakan lagi, kan? Tapi … mengapa bayangan Adeeva tak jua sirna. Bahkan, ada ngilu mengemuka jika mengingat kalau dia masih harus berjuang kembali. Dia belum mampu terbebas dari lelaki jahat itu. 

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now