RAGU

115 24 9
                                    


"Istirahat dulu, Kak. Kok, kayaknya semakin sibuk."

Suara Fida dan bunyi cangkir beradu meja membuat Hilmy yang tengah sibuk menekuni layar laptop, seketika mendongak. "Oh, makasih."

Secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan uap, telah tersaji di meja ruang tengah. Sementara Fida duduk pada sofa di depan Hilmy. "Baru aja mulai kerja, sibuknya nggak ketulungan? Apa Lora Ali emang nuntut segitunya?"

Hilmy menghentikan pekerjaannya sesaat. Dia menarik napas dalam, lalu menatap Fida. "Ini Bukan tuntutan dari Lora Ali, kok."

"Lah, kalau nggak ada tuntutan, ya, santai saja. Aku aja disuruh santai. Padahal, yang keguguran udah hampir tiga bulan lalu." Fida bersedekap lalu membuang muka.

"Ngambek, nih …" Hilmy mengulum senyum. Rupanya dia kegelian melihat reaksi Fida.

"Iya, ngambek. Cuma mau bebikinan samosa sama kimchi nggak dibolehin." Fida memberengut dan mendengkus pendek.

"Nunggu aku ngelarin kerjaan dikit lagi, ya? Kalau udah agak lengang, nanti kita bebikinan. Kubantuin." Hilmy kembali menatap layar laptop, lalu mengetikkan sesuatu.

"Lah, kan … dicuekin lagi." Lagi, Fida mendengkus, lantas beranjak dengan kaki mengentak ke kamar. Pun menutup pintunya dengan kasar.

Fida seketika menjatuhkan tubuh pada ranjang. Dia membenamkan kepala beberapa saat pada guling. Lalu, beringsut seraya mengembuskan napas panjang dari mulut.

"Kak Hilmy nyebelin banget. Sejak aku keluar dari rumah sakit, udah nggak pernah lagi jalan-jalan malam mingguan. Ke Bangkalan pun, pasti berangkat pagi pulang sore. Udah nggak pernah ngajak aku untuk nginep. Suntuk," guman Fida dengan wajah bersungut-sungut.

Kemudian, Fida kembali naik ke ranjang setelah meraih ponsel yang bertengger pada nakas. Menonton drama adalah pilihan pas. Tak perlu lagi menghiraukan Hilmy yang akhir-akhir ini semakin sibuk dengan banyak pekerjaan.

Memang, sih, Hilmy sedang getol membantu Gus Sofyan karena hendak menggantikan jabatan ketua yayasan. Tapi, kalau memang tahu akan menempati jabatan baru yang jelas semakin sibuk, mengapa dia malah menambah kesibukan dengan mencoba merambah dunia media sosial? Bukannya pemasaran via konten medsos sudah ada yang menangani khusus?

Saat Fida sudah menyamankan posisi—tidur tengkurap dengan dagu yang menumpu pada bantal—dan bersiap menonton drama favoritnya, terdengar bunyi handel pintu yang terbuka bersamaan dengan dehaman Hilmy.

Fida berpura-pura tak menghiraukan. Dia masih saja berusaha menyibukkan diri dengan memilih judul drama yang ingin dia tonton. Hingga, tiba-tiba Hilmy ikut mejatuhkan tubuh dalam posisi telungkup di sebelahnya.

"Ngambek, ya?" Lengan Hilmy menyenggol lengan istrinya.

"Jangan deket-deket." Fida melirik, lantas membuang muka.

"Apa yang bikin kamu ngambek, huh? Sini, ngomong sama Kakanda." Hilmy menowel hidung mungil istrinya.

"Haish … Kakanda apaan? Wakanda, tuh, yang ada." Fida mencebik. Dia masih sibuk menggulir-gulir layar ponsel. "Lagian, sibuknya nggak ketulungan.  Belum apa-apa udah sesibuk ini. Gimana kalau sampai jadi ketua yayasan. Lagian, kan, kerjaan udah enak-enak ngurusin marketplace aja, malah nambah-nambah."

Hilmy mengembuskan napas panjang, lalu meraih ponsel Fida dan meletakkannya pada bantal. "Sini, kita ngobrol dulu." Hilmy beringsut duduk. Pun membimbing Fida untuk sama-sama bersila.

Fida berdecak, berpura-pura merajuk. "Apaan? Ngomong cepetan. Aku mau nonton. Udah ditungguin sama suamiku buat kencan."

"Gitu, ya, udah punya suami baru?" Hilmy mengulum senyum, merendahkan kepala dan mengintip Fida dari bawah. Membuat istrinya mengatupkan bibir rapat, menahan tawa.

Seketika, Hilmy meraih dagu sang istri, menariknya agar menghadap lurus. "Aku mau ngobrol serius sekarang. Biar kamu nggak ngambek. Oke?"

Fida mengangguk seraya memejam sesaat. "Oke. Mau ngomongin apa?"

"Ehm … Jadi gini. Kamu inget Jakfar yang ketemu di foodcourt pas Ramadhan lalu?

"Inget. Kenapa?"

"Nah, aku dapat tawaran peluang usaha dari dia. Tadi pagi, kami sempat ngobrol lagi pas istirahat pertama sekolah pagi"

"Lalu?"

"Dia itu kerja di perusahaan distributor alat percetakan. Kebetulan, ada percetakan yang dulu order di tempatnya, mau menjual alat-alatnya. Katanya, sih berhenti karena ownernya meninggal, terus usahanya jadi sengketa gitu."

"Bekas?" Fida mengernyit, pun menegakkan punggung.

"Iya. Second, tapi good condition. Nah, ini peluang buat aku. Harganya terjangkau banget. Tapi, nggak bisa beli satuan. Harus diborong semua."

"Terus, rencana Kak Hilmy apa? Mau ikut jualin alatnya?"

Hilmy menggeleng. "Bukan. Aku mau buka percetakan sendiri."

"Loh, dengan begitu artinya, kamu bakal pisah sama Lora Ali? Lah, bukannya kalian ngerintis usaha itu berdua, ya? Mana Lora Ali baik banget." Fida memiringkan kepala. Hadir sebersit ragu dan cemas di hatinya.

"Iya. Tapi, pemilik percetakan, kan, Lora Ali. Aku cuma pemasaran. Prospeknya kecil. Tapi, dengan peluang ini, aku bisa mengembangkan usaha. Ibaratnya, memiliki POHONnya sendiri. Pun begitu, bisa nunjukin sama Abi kalau aku bisa diandalkan." Hilmy menjeda kalimatnya sesaat. Fida mengernyit dan menyipitkan mata. "Kemarin itu, soal biaya Rumah Sakit. Jujur aja, aku nggak enak. Masalah mobil … okelah dibantu, karena memang sebesar itu. Tapi, kalau urusan biaya perawatan kamu, itu murni tanggung jawabku. Lagipula, nggak seberapa besar, kan?"

"Tapi, kita nggak minta, kan, Kak. Menurutku nggak masalah. Dulu, pas Mbak Robi'ah lahiran anak pertama, Abi juga yang bayarin semua."

"Iya, sih. Tapi … bagaimana pun juga, sebagai lelaki aku harus bisa nunjukin kalau aku itu mampu menjadi suamimu."

"Aku tetep ragu, Kak. Kalau punya percetakan sendiri, apa nggak masalah sama Lora Ali?" Fida menjeda kalimatnya sesaat, menatap Hilmy penuh tanya. "Selain sahabat deket, dia juga banyak bantuin juga, kan? Lagipula, kalau punya percetakan sendiri, bukannya nanti jadi lebih sibuk? Banyak yang harus dipikirin, kan? Kita punya tanggungan ngajar pagi-sore, dan kamu juga sedang peralihan buat persiapan gantiin Mas Sofyan, loh, Kak." Ragu yang sejenak lalu mengusik hati Fida, kini semakin menggurita.

"Iya, sih. Tapi, antara pemilik usaha dan pekerja, jelas lebih menjanjikan pemilik usaha, kan? Tambah sibuk itu pasti. Ini juga untuk persiapan tahun depan. Jika aku bisa cepet-cepet benerin manajemennya, kerjaanku bisa semakin santai. Dan ketika aku udah jadi ketua yayasan, aku udah stabil secara ekonomi. Itu meminimalkan peluang tergoda untuk urusan korupsi. Kamu tahu sendiri, kan, godaannya sebesar itu ." Hilmy menaikkan alisnya.

"Ya bener, sih. Tapi, nanti malah bisa-bisa ngorbanin ngajar. Jangan bilang ntar pas ngajar diniyah sore bakal sering bolos?"

"Sementara aja, Neng. Sampai usaha berjalan stabil. Gimana?" Hilmy melebarkan mata, meminta pendapat Fida.

"Entah. Aku nggak begitu ngeh soal gituan. Yang jelas, aku nggak pengin hubunganmu dan Lora Ali jadi jelek. Pun begitu, Abi itu paling nggak suka mantu dan anak-anaknya menomorduakan khidmah lil'ilmi. " Fida mengedikkan bahu dan mendengkus.

"Itu udah kupikirin. Ntar kucariin cara. Lagipula rencananya, usaha itu mau kutaruh di luar kota. Mungkin, di Sidoarjo. Jadi, Lora Ali nggak bakal tahu. Pun aku akan tetep masukin orderan ke percetakan dia. Meskipun yang jelas akan aku kurangi. Aku juga tetep akan bantu Lora Ali, kok. Lagipula, bukankah hampir separuh omset Lora Ali berasal dari aku?"

"Terserah, deh. Gimana enaknya. Aku ngikut aja." Satu embusan napas keluar dari pernapasan Fida, diikuti cubitan kecil di pipinya.

"Makasih, Istriku Sayang."

Seketika, pipi Fida bersemu merah. Dia berdecak lantas membuang muka. Senyum terkulum tercetak di bibir mungilnya. Tapi … sejumput ragu yang tadi sempat mengusik hati tetap tak mau pergi. Waswas dan cemas yang tak bisa ditepis, seolah-olah memaksa untuk mendapat perhatian.

Menomorduakan khidmah dan mengkhianati persahabatan? Ah, rasanya tak benar.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now