MEMINTA KEJELASAN

145 20 18
                                    


Berulang kali Adeeva menghela napas dalam lalu mengembuskannya melalui mulut. Matanya tak beralih sedikit pun dari lembaran-lembaran copy tesis yang tengah dia pelajari kembali.

Dia duduk bersila di ranjang, dalam kamar sederhana berukuran tak sampai sembilan meter persegi. Kamar ini adalah salah satu dari tiga kamar rumah Nayla yang telah dia tempati hampir dua tahun terakhir, selama menyelesaikan pendidikan S2-nya. Kini, dia kembali lagi menginap beberapa hari untuk kepentingan sidang tesis.

Fokus, fokus, Adeeva! Kali ini, jangan pikirkan apa pun kecuali sidang lusa. Setelahnya, lulus dan meraih gelar Magister. Meskipun sejatinya, tak ada kebahagiaan atau kebanggaan di balik semua.

Sebelah sudut bibir Adeeva terangkat, disertai dengkusan kecil. Dia masih membolak balik lembar demi lembar berkas di tangannya. Berkali-kali pula helaan napas dalam merangsek masuk ke pernapasannya.

Kuliah magister, untuk apa? Cita-cita? Omong kosong. Cita-cita Adeeva sudah terkubur dan terlupakan oleh berbagai konflik rumah tangga yang harus dihadapi. Dan kali ini, harus kembali lagi ke kota ini meski hanya untuk beberapa hari. Mengingatkan kembali terhadap harapan-harapan yang telah pupus. Harus menghirup oksigen yang sama dengan Hilmy yang mungkin saja sudah melupakannya.

Adeeva memang sudah memperkirakan ini. Hilmy tak akan mungkin mencintainya sedalam itu. Sebenarnya, perempuan itu memang pernah berpikir bahwa Hilmy memiliki ketertarikan pada Fida sejak lama. Orang bodoh saja pasti paham akan hal itu. Perhatian dan ingatannya tentang Fida begitu detail. Setiap kali ada acara makan bersama, dia pasti membawakan sebungkus untuk Fida dengan alasan konyol, agar sepupu jauhnya itu bisa ikut menikmati makanan yang sama. Padahal, kalau hanya makanan, jelas Fida bukan orang yang tak pernah menikmatinya, kan?

Hilmy hanya tak menyadari tentang perasaannya. Pengalaman buruk masa lalunya yang membuat lelaki berhati lembut itu menyangkal semua perasaan. Dia malah menjalin hubungan dengan Adeeva. Bahkan, mungkin saja, perasaan sebenarnya yang dirasakan Hilmy pada Adeeva hanya kasihan.

Adeeva masih terlarut dalam lamunannya ketika tiba-tiba terdengar suara salam bersamaan dengan pintu diketuk. Suara itu, kenapa mirip sekali dengan suara Fida?

Seketika, Adeeva menutup dan meletakkan berkas tesis pada bantal di sebelahnya. Sejenak, matanya sempat menangkap jam dinding kamar yang menunjukkan jam dua belas siang lebih beberapa menit. Hampir waktunya jam pelajaran bakda Zuhur, kan?

Adeeva segera menuju ruang tamu dan membuka pintu. Benar saja, Fida berdiri di depan pintu. Tapi, ketidaknyamanan seketika menghinggapi hati Adeeva. Perempuan yang masih mengenakan seragam guru itu seketika bersedekap. Raut wajahnya pun tampak berbeda. Dia marah?

"Kita perlu mengobrol, Neng," ujar Fida dengan suara ketus. Benar, ada amarah tersirat jelas dari suaranya. Dan Adeeva seolah-olah mampu menebak ke mana arah semua ini menuju. Tak mungkin Fida akan membicarakan tentang hal itu.

"Waalaikumsalam." Konyol. Fida tak berucap salam tadi. Adeeva sangat sadar kalau tindakannya kali ini hanya untuk mengalihkan sedikit perhatian agar amarah Fida terpecah. Mana mungkin?

Sebelah alis Fida terangkat. Pun dengan sebelah ujung bibirnya. Apa yang membuat perempuan ramah dan lugu ini sampai berubah menyeramkan begini? Perubahannya bagaikan LANGIT dan bumi dengan Fida yang biasanya.

"Mari, masuk dulu, Neng." Adeeva bergeser untuk memberi Fida jalan.

Pada siang hari begini, Lek Ni, ibu Nayla, masih di Pasar Pegirian, menjaga lapak pakaiannya. Dan Nayla, tentu saja mengajar di Al Anwar.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now