QUALITY TIME

105 21 5
                                    


Fida baru saja usai melipat mukenah ketika terdengar bunyi mesin motor berhenti. Itu pasti Hilmy yang baru pulang dari jemaah Isya'. Segera, dia keluar dari musala dan berjalan cepat untuk menyambut sang suami.

"Assalamualaikum …" sapaan itu meluncur bersamaan dengan pintu samping yang telah tertutup. Hilmy membenahi peci hitam sembari terus melangkah.

"Waalaikumsalam."  Fida berdiri di depan kamar menunggu suaminya mendekat. Lantas meraih punggung tangan Hilmy dan menciumnya.

"Neng, jalan-jalan motoran, yuk? Sekalian makan malam." Hilmy meneruskan langkah ke kamar dengan Fida yang mengekori.

"Makan malam di luar maksudnya?" Fida mempercepat langkah. Kini dia berdiri di samping Hilmy yang tengah menggantung sajadah dan peci pada gantungan.

"Iya. Makan di pinggir jalan, nyari warung pinggiran. Lanjut jalan-jalan sampai tengah malam. Gimana?" Hilmy menatap istrinya dengan mata yang terbuka lebih lebar. "Nyari tempat makan yang agak jauhan dari sini. Nggak bakal ada yang ngenalin kamu, kan?"

"Wah … mau. Mau banget," jawab Fida antusias.

Hilmy tersenyum dengan tatapan hangat. "Kamu pasti belum pernah, kan? Kita nikmati akhir pekan Surabaya malam hari."

"Asyik …" pekik Fida yang seketika memeluk Hilmy.

"Tapi, kira-kira, kamu bakal capek, gak? Besok kita tetep berangkat habis Subuh ke Bangkalan." Hilmy menatap Fida yang masih melingkarkan tangan pada pinggangnya.

Fida berdecak dan membuang muka. "Emang kamu pikir aku ini bocil? Tenang aja, rutin mengunjungi mertua itu juga bernilai ibadah. Aku tahu, kok."

Satu tepukan pada pucuk kepala disertai usapan halus dan senyum manis Hilmy, membuat Fida terkesiap dan mematung sesaat. Ah, adegan romantis mirip drama korea lagi, membuat jantung kembali tersenggol.

"Ya udah kalau gitu. Cepet ganti baju, gih."

"Siap, Oppa!" Fida menyeringai dan melepas pelukannya dari Hilmy.

"Pakai baju santai aja, Neng. Jangan lupa pakai celana gamis yang tebel. Kita sekalian main ke Suramadu juga." Hilmy sudah mengganti koko dengan kaos lengan panjang yang cukup tebal. Pun mengganti sarung dengan jins hitam.

Fida yang tengah berdiri di depan lemari, mengangguk seraya menatap suaminya yang telah berjalan menuju pintu.

"Kutunggu di ruang tengah." Hilmy melangkah keluar kamar.

Fida memilih daster arab maroon dengan manset di bagian dalam sebagai pelapis. Pun hijab paris sederhana. Kemudian, langsung keluar kamar sambil menyampirkan slingbag pada bahu.

"Ayo, Kak." Fida berdiri di depan pintu kamar.

Hilmy yang sebelumnya tengah mengutak-atik ponsel, seketika mendongak. "Loh, jaketnya mana? Ini mau sampe malem banget. Jangan sampe masuk angin."

"Oh, iya, lupa. Bentar." Fida langsung berbalik. Lalu, kembali lagi dengan jaket wol cokelat yang melapisi dasternya.

"Nah, gitu." Hilmy beranjak seraya mengantongi ponsel. "Ayo!"

Keduanya berboncengan dengan motor. Fida membonceng dalam posisi miring. Dan Hilmy melajukan kuda besinya dengan kecepatan sedang. Lantas, ketika dirasa cukup jauh dari rumah, dia menghentikan motor. "Boncengan lurus aja. Biar aku nggak kepikiran. Nanti, di sepanjang Suramadu, kan, bakal rada cepet."

Fida menuruti saran suaminya. Dia turun dan membonceng dengan posisi lurus. Posisi yang belum pernah sama sekali dia lakukan semenjak remaja.

"Oh, makanya aku disuruh pake celana yang tebel." Fida sudah duduk pada jok motor.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now