KEMBALI BERSALAH

124 21 7
                                    

Iris kecokelatan itu masih terkunci pada sosok perempuan yang berdiri beberapa meter di hadapannya. Perempuan berseragam yang tengah mengobrol dengan istrinya. Lelaki tinggi berkulit kecokelatan itu mematung cukup lama. Hal yang berusaha dia hindari, tak mampu lagi diabaikan. Akhirnya, tetap harus kembali bertemu dengan Adeeva. Mencuatkan kembali berbagai kecamuk batin yang mengusik hati. 

Wajah cantiknya tampak agak pucat. Dan tubuhnya sedikit lebih kurus. Lalu, ingatan tentang percakapan dini hari itu, kembali muncul. "Beberapa minggu lagi aku akan dijemput."

Hanya beberapa menit, perempuan itu pun pamit. Dan Hilmy, hanya mampu memandangnya berlalu, melewatinya begitu saja. Tak mampu berbuat lebih. Sangat lemah. Bahkan untuk memperjuangkan yang terkasih saja, tak ada kemampuan secuil pun. 

Lantas, kesadaran itu hadir dan menarik paksa jiwa dari berbagai kecamuk rasa, ketika terdengar suara Fida mengajaknya pulang. 

"Oh, i-iya. Ayo kita pulang." Lagi, senyum terpaksa itu kembali muncul di bibir Hilmy. Lantas selanjutnya, hanya langkah gontai dan pelan yang tercipta. 

Kepala tertutup peci hitam itu menunduk dalam, seolah menghitung satu demi satu langkah yang tercipta. Embusan napas berat beberapa kali, tak mampu menyingkirkan sesak di dada. Dan … perempuan mungil di sisinya, seolah-olah tak berarti apa-apa lagi.

"Kenapa, Kak? Kok ...?" Fida menepuk pelan lengan kiri Hilmy.

"Oh ..." Hilmy menoleh, lalu menggeleng pelan dan berusaha tersenyum, "nggak apa-apa," ia menghela napas dalam. Dadanya sesak, "ayo, kita segera pulang."

Hilmy berusaha sekuat tenaga menyembunyikan segala keresahan. Pun meyakinkan diri bahwa perempuan yang telah menjadi istrinya, adalah yang lebih utama. Bukankah, sebenarnya keduanya memang memiliki banyak sekali kemiripan? Adeeva yang dulu begitu lugu, polos, dan kikuk. Persis seperti Fida. Bedanya, lambat laun Adeeva berubah menjadi lebih percaya diri dan tampak sangat cerdas.

Fida hanya mengangguk. Ya, dia terlampau lugu. Tapi seharusnya, kan, dia ...

Ah, sebenarnya, ini salah siapa? Hilmy, Fida, atau orangtua mereka? Mengapa harus ada gap kasta yang tetap menjadi keharusan dan alasan sebuah takzim. Bukankah Islam tak mengenal kasta? Tapi, mengapa Hilmy harus selalu menuruti keinginan seseorang yang dianggap lebih tinggi derajatnya?

Okelah, Kiai Idris memang guru Hilmy, tempat ia nyantri dulu. Tapi Abi mertuanya? Bukankah mereka ada hubungan kerabat? Tapi, mengapa harus begini? Bahkan Fida saja, tak seperti istri pada umumnya. Dia malah terlalu dilayani, bukan mengerjakan tugas rumah tangga sendiri. Bahkan berkemas saja ...

Hilmy kembali mengendarai motor dan berboncengan dengan Fida, meskipun berbagai ingatan tentang Adeeva dan kejengkelannya tak jua sirna. Membuatnya tanpa sadar menarik gas terlampau kencang.

"Kak," tepukan pada pundak membuat Hilmy mengerem mendadak dan berdecak, "jangan kenceng-kenceng. Ini jalanan kampung."

Hilmy yang sudah menghentikan motor dan menurunkan satu kaki, menoleh tak sampai melewati bahunya. "Kamu ngagetin aja! Untung aku bisa ngendaliin motor."

Ya, percakapan yang sama sekali tidak nyambung. Hilmy seketika menyalahkan Fida. Padahal sejatinya, dia membawa motor terlampau kencang sambil melamun.

"Iya. Maaf. Aku cuma nggak enak sama tetangga kalau bawanya kenceng gini." Suara Fida merendah dan bergetar.

Berusaha abai terhadap reaksi sang istri, Hilmy berdecak. Lalu, ia kembali melajukan motor. Jangan lagi terlampau kencang. Ya, meskipun sikapnya berusaha menghindar dari kekeliruan, tapi hati kecilnya tak bisa berbohong. Hilmy sangat sadar kalau sejatinya dia yang keliru.

Lagi, ingatan tentang Adeeva berkelebat di kepala Hilmy. Masih lekat dalam ingatannya bagaimana perempuan yang begitu sulit diabaikan itu menceritakan tentang masalah keluarganya. Betapa dia tersiksa. 

"... Gus Baim berkata terang-terangan padaku, Mas, kalau dia akan segera menceraikanku. Setelah kematian Fia, dia malah semakin dingin dan menjauhiku. Dia mengucapkan taklik talak pertama kali kala itu. Memberiku waktu empat bulan. Dia juga terang-terangan mengatakan akan menikahi kekasihnya. Sakit hatiku, Mas. Meskipun aku nggak mencintainya, tapi itu keterlaluan sekali. Dia sama sekali nggak menghargaiku sebagai istri."

Tapi, belum sampai empat bulan masa percobaan itu, suami Adeeva pulang selama beberapa hari. Lalu, Adeeva terpaksa kembali lagi bersama suaminya. Lantas, karena perselisihan tak kunjung usai, taklik itu kembali diucapkan kedua kalinya. Dan … Lagi-lagi gagal.

Brengsek! Adeeva masih terjebak dan Hilmy tak mampu melakukan apa pun.

Hubungan suami-istri yang tak normal itu seharusnya diakhiri saja. Meskipun, alasan diperkenankannya Adeeva kembali ke Surabaya adalah sebagai penghiburan karena sikap sang suami. Tapi … mempermainkannya seperti itu, sungguh bukan sikap seorang suami. 

Lelaki brengsek!

Ingatan-ingatan itu diputar ulang dengan jelas, sementara Hilmy tetap berusaha mengemudi dengan baik. Tangan yang melingkar di pinggang seolah tak terasa.

Dia menghentikan motor di depan pagar. Lalu keduanya turun dengan Hilmy yang menuntun motor ke dalam garasi. Sementara Fida segera masuk rumah, menghampiri tiga santri perempuam yang sedang menata kado-kado yang sudah dibuka dari bungkusnya di ruang tengah.

Ada ngilu dan cemas seketika timbul. Kelebatan insiden pagi itu dengan mantan istri Hilmy, menggantikan bayangan Adeeva. Insiden yang membuat Hilmy merasa sangat hina. Tidak! Para santri perempuan itu harus segera pergi. Hilmy masih sangat membenci keberadaan para mbak dalem.

Seraya berjalan cepat menuju kamar, Hilmy mencoba memperhatikan ketiga santri perempuan itu dari sudut mata. Dalam waktu sesingkat itu, ia begitu awas, mencoba mencari tahu. Jangan sampai ada gelagat mencurigakan dari salah satu atau ketiganya.

Ya, Fida memang lugu. Tapi, sikap Abinya yang sangat ketat dan melarang Fida berhubungan dengan lelaki, bisa saja membuat istrinya itu memiliki kecenderungan tak wajar? Bukankah Icha merupakan anak yang seperti Fida? Semua tahu, mantan istrinya itu sangat dijaga ketat sang Abuya. Kiai Idris begitu ketat dan keras.

Hilmy yang sudah melewati ambang pintu kamar dan hendak menutup pintunya karena akan berganti pakaian, seketika mematung beberapa saat. Fida tak mengikutinya, malah sibuk dengan para santri perempuan itu.

"Neng!" panggil Hilmy dengan suara baritonnya. Ia melongok melewati ambang pintu, membuat Fida seketika menatapnya dan melebarkan mahta bulatnya.

"Iya, Kak?" Fida beranjak dan melangkah ke arah kamar.

"Masuk!" Hilmy berisyarat agar Fida masuk. Suaranya ketus, pun dia mengernyit.

Perempuan mungil itu tersentak. Ia seketika mengangguk dengan mimik wajah kagetnya. "I-iya," jawabnya dengan suara bergetar.

"Sudah kubilang, kan, kalau aku nggak suka ada santri perempuan di rumah ini!" Hilmy menutup pintu. Tidak, dia menghempas pintu itu. Tapi, sayangnya, karena adanya penahan, membuat pintu itu tetap tertutup perlahan.

"Ta-tapi ... mereka, kan, cuma bantu. Nanti, nanti pasti akan segera kusuruh balik ke pesantren." Fida menggigit bibir bawahnya dan menatap sang suami dengan tatapan takut-takut.

"Iya. Dan kamu nggak perlu nemenin mereka. Ngerti!" Karena kecemasan dan amarah di dada, Hilmy mengarahkan telunjuk tepat di dahi sang istri. Ia pun mendengkus, lalu berbalik sembari membuka satu per satu kancing bajunya dengan kasar.

Untuk beberapa lama, Hilmy tak memperdulikan istrinya. Dia baru tahu Fida masih mematung di tempatnya, setelah ia berbalik untuk menggantung kemeja di gantungan baju. Dan mimik wajah ketakutan serta ... aliran bening yang menitik di kedua pipi sang istri, sukses membuat Hilmy terkejut dan kembali terjebak dalam perasaan bersalah.




[END] Sahaja CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang