IKHTIAR

88 11 2
                                    

Rasa ngilu di lengan bawah membangunkan Hilmy pagi ini. Tak hanya itu, pening dan sedikit sesak pun ikut-ikutan mengganggu. Bahkan, rasanya … sekujur tubuh masih terasa remuk. 

Kemarin petang, dia masih sempat melihat Fida berdiri di luar ruang ICU. Tapi pagi ini, yang menunggui ternyata Gus Sofyan. Tak ada yang lain lagi. Kakak ipar sulungnya itu masuk ruang ICU beberapa saat setelah Hilmy terbangun. Wajahnya tampak segar dengan bagian ujung rambut yang meninggalkan jejak basah. Rupanya, dia baru dari kamar mandi atau melaksanakan salat. Sepertinya … salat Dhuha.

"Sudah bangun, Dik?" Gus Sofyan berdiri di samping ranjang. 

Hilmy hanya mengangguk samar diikuti kedipan mata dan menjawab lirih. Sebenarnya, ingin sekali menanyakan keberadaan Fida. Atau paling tidak, diperkenankan menghubungi untuk sekadar mendengar suaranya.

"Habis ini, agak siangan, kamu pindah ke ruang perawatan reguler. Syukurlah tidak terjadi hal-hal fatal. Cuma masalah kepala yang perlu perawatan lebih lanjut dan lengan kamu retak katanya."

Hilmy melebarkan bola mata, lalu mencoba melirik tangan kirinya yang telah berbalut perban dan gips. Rupanya, kecelakaan kemarin memang cukup parah. Hilmy mencoba mendatangkan berbagai ingatan kejadian itu, tapi nihil. Dia tak mengingat apa pun kecuali hanya saat setelah keluar dari rumah Jakfar.

"Gus …" Susah payah Hilmy mengeluarkan sekadar panggilan itu.

"Iya, Dik, kamu butuh sesuatu?" Gus Sofyan mendekatkan telinga ke wajah Hilmy.

"Neng Fida …" ujar Hilmy lirih.

"Oh, Dik Fida. Dia kami suruh pulang. Keadaannya tidak memungkinkan menunggui di sini. Semalam, dia tidak mau pulang, tapi semua nyuruh pulang. Kamu tenang saja. Ada Bik Sa'adah yang menginap dan menemani Fida. Siangan mereka pasti datang."

Rentetan penjelasan Gus Sofyan, menimbulkan sedikit kelegaan dalam hati Hilmy. Tapi, dia benar-benar ingin untuk sekadar mendengar suara atau melihat wajah sang istri. Pastinya, Fida cemas dengan kejadian ini.

"Gus …" lagi, Hilmy memanggil lirih. Kembali Gus Sofyan mendekatkan telinga. "Telepon …"

"Tunggu pindah ke ruang perawatan regular, ya? Sebentar lagi, kok. Atau … saya teleponkan?" 

Hilmy mengangguk pelan, mengiakan tawaran kakak iparnya. "Iya."

Gus Sofyan langsung keluar, lantas kembali lagi beberapa saat setelahnya. "Dia baik-baik saja, Dik. Sekitar jam delapan, mungkin akan ke sini sama Bik Sa'adah. Mungkin, Dik Yunus yang ngantar."

Lagi, Hilmy hanya mengangguk. Lalu, dia mengembuskan napas panjang. 

"Oh, ya, aku mau keluar dulu, ya, Dik? Ada dua santri kalau kamu butuh apa-apa. Aku mau nyari sarapan sekalian langsung ke kantor polisi untuk mengurus motor kamu."

Hilmy menjawab pertanyaan iparnya dengan anggukan. Sementara Gus Sofyan segera berlalu. Tapi, sekelumit kekhawatiran seketika hadir. Hanya saja, Hilmy tak mungkin banyak bicara dan melakukan berbagai hal dengan keadaannya yang seperti ini.

Motornya pasti mengalami kerusakan, entah seberapa parah. Pun begitu, mengurus motor dari kepolisian, jelas memakan biaya. Dan biaya perawatan, jelas tak sedikit. Ya Allah … niat hati ingin menggapai kestabilan finansial, tapi yang didapat malah sebaliknya.

Sepercik ingatan tentang kejadian kemarin, seketika hadir. Bagaimana percakapan antara Hilmy dan Jakfar siang itu. Keduanya bercakap-cakap di ruang tamu rumah Jakfar.

"Jadi, bagaimana ini, Far? Dua surat tampaknya sama-sama asli."

Jakfar mendengkus. "Sulit, My. Pemilik surat yang lain sepertinya lebih kuat. Selain memiliki kwitansi jual beli yang sama, dia juga memiliki sertifikat tanah dan bangunan ruko itu."

"Nah, penjualnya itu, apa nggak bisa kita mintai pertanggungjawaban? Minimal, kita laporkan sebagai tindak kriminal penipuan dan pemalsuan surat." Hilmy menegakkan punggung, menatap Jakfar lekat-lekat.

"Bisa, tentu bisa. Kita kumpulkan dulu berkas yang dibutuhkan. Tapi, My, kemarin aku sudah ke rumah orangnya, langsung ketika kamu pulang. Dia … nggak ada di rumahnya. Dari tetangga, katanya pindah. Kemungkinan ke luar negeri."

"Sialan!" Hilmy menepuk lututnya dengan keras. "Kalau sudah kabur jauh, ini apa nggak bakal sulit? Masalah uang milyaran saja bisa menguap nggak bersisa kalau orangnya sudah ke luar negeri." Hilmy berdecak. Dia seketika menyangga dahi dengan telapak tangannya. Memijat-mijat pelipis.

"Tapi kita jangan pesimis gitu, My. Bagaimana kalau kita laporkan saja dulu ke pihak berwajib?"

"Ya …" Hilmy menegakkan punggung dan berusaha bersikap tegap. "... paling tidak, ada ikhtiar yang kita lakukan."

"Nah, menurutku begitu. Apalagi, aku itu sebagai perantara. Sedikit banyak, aku juga ikut bersalah."

"Ya, nggak gitu juga, Far. Kamu juga, kan, nggak tahu." Meskipun begitu pelik urusannya, tapi tak elok terlalu menyalahkan Jakfar.

"Ya sudah kalau begitu. Kita coba tanya ke kepolisian Waru dulu tentang apa saja yang dibutuhkan dan di mana kita harus memasukkan berkas laporan."

"Oke kalau begitu."

Keduanya segera bergegas menuju kantor polisi, menanyakan berbagai hal yang perlu dipersiapkan untuk memasukkan laporan. Dan semua selesai menjelang Zuhur. Sengaja, Hilmy melaksanakan salat Zuhur di rumah Jakfar agar tak terburu-buru ketika pulang.

"Oh, ya, ini kita masukkan semua berkas dan laporannya besok pagi saja, ya? Di Polsek Surabaya Barat," ucap Jakfar seraya menuangkan kopi pada lepek. Seusai melaksanakan salat Zuhur, Jakfar mengajak Hilmy untuk menikmati secangkir kopi sebelum kawannya itu pulang.

"Oke. Memang TKP-nya di sana, kan?" Hilmy menyeruput kopinya.

Mereka bercakap-cakap ringan setelahnya, hanya sampai kopi di cangkir tandas. Lantas, Hilmy segera pamit pulang. Sejatinya, hadir rasa bersalah dalam hati, karena harus bolos mengajar sekolah pagi. Karenanya, dia bergegas pulang agar bisa masuk untuk mengajar sekolah diniyah sore.

Sejatinya, Hilmy memacu kuda besinya tak terlalu kencang. Dia berusaha tenang meskipun berbagai kecemasan berkecamuk di dada, utamanya perihal Fida. Karena, segala yang dia lakukan adalah demi sang istri. Dia telah berjanji untuk segera mampu membahagiakan Fida. Secepatnya stabil dan bisa mengurangi kesibukan. Bisa memenuhi berbagai keinginan Fida perihal buku, dan membuat masakan yang digemarinya. Dan satu yang ingin sekali Hilmy hadiahkan pada Fida adalah pergi untuk liburan kembali. Karena baginya, bulan madu kala itu kurang sempurna, masih ada bayang-bayang perempuan lain di hati Hilmy.

Tapi, di tengah perjalanan, ponsel Hilmy berdengung. Tanpa memeriksa siapa yang menelepon, dia segera menjawabnya. Karena, ponsel yang dia bawa adalah ponsel Fida, jadi … kemungkinan yang menghubungi pasti istrinya sendiri. 

Nahas tak mampu lagi ditolak, baru saja menjawab dan belum mendengar sedikit pun suara dari seberang, Hilmy terserempet motor. Lalu setelahnya, tak ada apa pun yang bisa diingat lagi.

Hilmy tersentak dari lamunannya ketika terdengar suara langkah kaki mendekat. Beberapa petugas medis menghampirinya. Mereka melakukan pemeriksaan. Lantas, salah seorang petugas berkata bahwa keadaan Hilmy sudah cukup stabil untuk dipindahkan ke ruang perawatan reguler.

Hilmy dipindah dengan menggunakan ranjang ICU ke ruang perawatan VIP di lantai dua. Sebenarnya, dia cukup terkejut ketika mengetahui bahwa kamarnya merupakan ruang VIP, padahal kartu asuransi kesehatan nasional yang dia miliki adalah perawatan kelas satu. Tapi, mengingat yang mengurus administrasi adalah Gus Sofyan, maka Hilmy maklum dengan semua. Pasti ini adalah titah Kiai Mudzakkir.

Tak sampai satu jam kemudian, suara langkah kaki pendek-pendek dan cepat yang sangat familier, menyentakkan Hilmy. Cepat-cepat dia menoleh. Benar saja, Fida dan Bu Nyai Sa'adah muncul dari balik pintu.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now