SUNRISE

74 15 4
                                    

Hawa dingin menusuk tulang. Fida bersedekap, menyelipkan kedua telapak tangannya di balik lengan berbalut sweater krem bergambar beruang merah jambu di bagian depan. Matanya tak beralih dari semburat jingga yang perlahan muncul dari ufuk timur. Lukisan mahaagung, mahaindah, yang baru pertama dia saksikan.

Tiba-tiba, tangan lelaki di sampingnya melingkar dan menarik tubuh sang perempuan ke dekapannya. "Dingin banget, ya?"

Fida hanya mengangguk dan tak mengalihkan tatapannya dari lelaki berjaket kulit hitam di sampingnya setelah refleks menoleh barusan. Bola mata kecokelatan itu menatapnya hangat. Ya, mata sayu dengan iris kecokelatan itu memang selalu tampak menawan. Membawa kehangatan di tiap tatapannya. Salah satu yang membuat Fida tak mampu menghindar. Rambut lurusnya kini tertutup sebagian dengan kupluk rajut hitam. Dan lehernya terbalut syal krem, sewarna dengan yang Fida pakai kali ini. Mereka memang membelinya semalam di butik kecil tak jauh dari hotel.

Hilmy mengalihkan pandangan setelah membenahi kupluk rajut biru muda di kepala berbalut hijab paris hitam istrinya. Membuat Fida mengikuti arah pandangan sang suami.

Hamparan awan di hadapan mereka bak kapas yang melayang-layang di antara puncak gunung yang menyembul. Mereka berada di puncak Bukit Kingkong, salah satu view point terbaik untuk melihat Sunrise pagi ini. Kata Mas Rahman, gunung di hadapan mereka namanya Gunung Batok. Lalu di belakangnya, Bromo yang hanya tampak asapnya saja melayang dari kaldera.

Beberapa wisatawan lain fokus dengan semburat fajar yang kian meninggi. Ada yang membidikkan kamera DSLR profesional, ada yang memakai ponselnya. Sementara Fida dan Hilmy, mereka fokus pada keindahan di hadapannya. Ini semua ide dari Hilmy. Semalam saat memilih syal di butik, ia berpesan agar Fida tak sibuk mengabadikan momen matahari terbit dengan ponsel. Toh, Hilmy sudah meminta Mas Rahman untuk merekamkan momen itu untuk mereka.

"Percaya sama aku," Hilmy memilih syal di gantungan dekat meja kasir, "melihat matahari terbit itu akan jauh lebih berkesan jika kita menikmatinya dengan ini," ia menatap Fida seraya menunjuk pada matanya sendiri dari arah pelipis, "nantinya, bakal tersimpan di sini," ia pun berpindah menunjuk dada sebelah kanannya, "dan kamu tahu, jika sudah tersimpan di sini, tidak akan mudah terhapus kecuali memang Allah sendiri yang menghapusnya. Akan menjadi kenangan yang abadi."

Dan benar sekali, dekapan hangat sang suami, udara dingin pegunungan, dipadu dengan lukisan alam luar biasa yang tersaji, membawa perasaan luar biasa. Romantis, hangat, berkesan, bahagia, dan entah berbagai rasa positif lain yang menelusup dan melingkupi sanubari.

"Ini kali kedua aku ke sini, Kak. Tapi, ini pertama kali lihat Sunrise." Fida menjatuhkan kepala ke dada samping sang suami.

"Kemarin, nggak lihat?"

Fida menggeleng. "Abi dan Umi nggak mau naik. Jadi, mereka cuma duduk dalam jeep di lautan pasir. Lagipula, berangkatnya juga pas udah agak siang. Yang jelas, alasannya karena kesulitan buat salat Subuh. Itu, kan, bertahun-tahun lalu, pas aku masih belum kuliah."

"Oh, bener juga. Musala tempat kita salat tadi pun baru-baru ini aja diresmikan."

Fida mendesah. "Syukurlah, sekarang untuk melihat matahari terbit nggak kesulitan mikir salatnya, ya? Katanya, penduduk sini mendukung pembangunannya."

"Ya, begitulah. Toleransi."

"Tapi ... aku pernah tahu pas ada gereja dibangun pertama kali di Madura, malah orang-orang banyak yang protes. Bukankah jika hal itu terjadi pada pembangunan musala di Penanjakan ini, akan menyulitkan muslimin?" Fida merenggangkan posisi dari pelukan Hilmy. Ia menatap suaminya yang kini juga menatapnya.

Hilmy mendesah seraya tersenyum. Kulit kecokelatannya tampak bersinar karena diterpa cahaya jingga mentari pagi. "Ya, mau bagaimana lagi. Begitulah kaum mayoritas. Tapi, mereka nggak bisa disalahin juga. Mungkin, efek memahami kaidah fikih dengan kurang tepat."

"Kaidah yang mana?"

"Sepertinya, tentang ridha terhadap sesuatu, berarti ridha terhadap hal yang mengikuti. Orang-orang jadi merasa ikut membantu menyebar kemusyrikan," Hilmy mengedikkan bahu, "mungkin."

"Tapi, kan ... negara kita bukan negara Islam. Jadi, hukum yang berdaulat, ya, hukum demokrasi."

"Kalau terus dibahas, kayaknya bakal panjang. Soalnya, nanti pasti ada aja yang akan berargumentasi bahwa negara kita adalah negara thogut yang nggak mau sama hukum Allah. Padahal, kan ..." Hilmy hanya tersenyum. Lalu menepuk pelan kepala bagian samping Fida dengan tangan yang masih melingkar di bahu sang istri.

"Ya ... nggak ada habisnya. Daripada mikirin yang berat-berat, mending nikmatin momen ini." Fida tersenyum, lalu kembali mengalihkan pandangan ke arah timur.

Keadaan semakin terang. Mentari mulai muncul malu-malu. Panggilan dari Mas Rahman, membuat Hilmy seketika melepas pelukannya dari sang istri. Rupanya, dia baru sadar kalau di Bukit Kingkong ini, mereka tak berdua saja. Fida hanya mengulum senyum menyadari hal ini.

"... mau segera turun atau masih nunggu, nih, Gus?" Lelaki ramah bersyal hitam itu sudah berdiri di samping Hilmy. Ia menyerahkan ponsel.

"Ehm ... terserah enaknya, Mas." Hilmy mengantongi ponselnya.

Mas Rahman mengangguk-angguk. "Nanti, check out dari hotel bagaimana? Hari ini atau besok? Kalau mau besok, nggak apa-apa. Saya bisa menghubungi pihak hotel untuk menambah waktu."

Hilmy memeriksa penunjuk jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih jam setengah enam pagi.

"Kita jadi ke Gili, Neng?" pandangan Hilmy kini beralih pada sang istri yang berdiri di sampingnya.

"Maunya, sih."

"Oh, ok," Ia mengalihkan pandangan kembali pada Mas Rahman, "Kalau begitu, hari ini saja, Mas. Siangan nanti, kami segera turun biar dapat kapal menuju Pulau Gili."

"Loh, menginap di Gili, Gus? Emang ada penginapan?" Mas Rahman mengernyit menatap Hilmy. Kedua tangannya tersembunyi pada saku jaket kulit hitamnya.

"Oh, di rumah teman, kok."

"Oh, baik kalau begitu. Ayo, kita turun saja lalu naik ke kawah."

Hilmy mengangguk, lalu mengikuti langkah pemandu wisata itu seraya tak lupa menggandeng tangan sang istri. Membantunya berjalan melewati tanah berumput kering dan tak rata.

Beberapa wisatawan tampak masih menikmati pemandangan di Bukit Kingkong. Beberapa yang lain sudah mulai turun, termasuk Hilmy dan Fida.

Beberapa waktu kemudian, ketiganya sudah berada di dalam jeep yang dikemudikan Mas Rahman. Fida dan Hilmy duduk di kursi penumpang belakang.

Mereka meneruskan perjalanan pagi ini untuk naik ke kawah Bromo. Mereka harus menaiki ratusan anak tangga untuk sampai ke puncaknya. Puncak gunung yang hanya berupa bibir kawah.

"Nanti, kita mampir ke kota dulu, ya? Nggak enak kalau nggak bawa oleh-oleh ke rumah temanmu itu." Fida berhenti sesaat dengan napas terengah-engah.

"Boleh. Memang baiknya gitu, sih." Hilmy berkacak pinggang menatap ke atas.

Fida mengikuti arah pandangan sang suami. Masih tersisa separuh perjalanan lagi. Sementara Mas Rahman, menunggu di mobil. "Dia teman pondok?"

Hilmy menggeleng seraya menatap Fida. "Teman MI dulu. SD juga. Dia juga teman Lora Ali."

"Loh, kok, ada di Gili?"

"Nikah sama orang sana. Masih saudaranya juga, sih. Kan, salah satu nenek kerabatnya nikah sama orang Gili."

"Oh ... yang katanya dulu pernah mau dilamar Mbah Fauzan tapi nggak jadi itu?"

Hilmy mengangguk cepat. "Ayo, dikit lagi nyampe." Ia meraih tangan sang istri dan mulai kembali melangkah.

"Ternyata, kamu sama Mbah Fauzan ada mirip-miripnya, ya, Kak? Dulu, juga dijodohin sama anak Kiainya."

Seketika, Hilmy menghentikan langkah dan menatap sang istri dengan mimik terkejut. Membuat Fida tersadar bahwa kalimat yang telah diucapkan, sepertinya kurang tepat. Tapi, ia bisa apa? Sudah terucap. Ini obrolan nyata, bukan dialog text yang bisa dihapus.

[END] Sahaja CintaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ