"SMP?" tanya Yigit dengan harap-harap cemas. Kalau cinta pertama Cit ada di SMP tandanya ia kalah start.

"Bukan."

Yigit malah semakin berdebar-debar, kalau bukan SMP berarti SMA. Siapa yang diam-diam mengisi hati Cit. Sepertinya lebih baik jika Cit jatuh cinta pada saat SMP, karena itu berarti, ceritanya sudah lewat dan Cit belum tentu punya kesempatan kedua, untuk melanjutkan kisah cintanya di SMA.

"Suka yang gimana si?" Cit mencoba menerka-nerka ke dalam hatinya.

"Iya cinta."

Cit menyunggingkan seulas senyum penuh ejekan.
"Ha cinta?"

"Cit..."

"Git."

"Iya?"

Cit menunjuk tenda waffle dan crapes.
"Mau itu boleh enggak?"

Yigit menghela nafas sambil mengeluarkan dompetnya.
"Kita lagi ngobrol serius loh ini Cit."

Cit menarik selembar uang dari dompet Yigit.
"Ih ini juga serius tahu, mumpung baru dua orang yang ngantre. Kamu mau juga enggak?"

Yigit menahan tangan Cit ketika Cit hendak mengangkat pantatnya, dari tumpukan pipa beton raksasa seperti di lapangan bermain Nobita.
"Bentar dulu Cit."

"Iya."

"Kamu jawab satu pertanyaanku ini, habis itu biar aku yang antre."

Cit kembali duduk dengan manis, menumpuk kedua tangannya di atas lutut dan bahu tegak.
"Baiklah Yigit Arashku," Cit mencubit kedua pipi Yigit dengan gemas."Apa lagi yang mau kamu tanyain?"

"Cit?"

"Yang kamu bilang tadi."

"Siapa?"

Cit menghela nafas dan meniup poninya.
"Yigit Arash, apa sepenting itu buat suka sama seseorang?"

"Penting."

Biasanya Cit yang banyak bertanya pada Yigit sampai Yigit frustasi. Kali ini Cit yang dibuat gila oleh serbuan pertanyaan Yigit yang akhir-akhir ini semakin aneh untuknya.

"Enggak akan ada cowok di sekolah yang mau sama aku Git."

"Berarti orangnya di sekolah?"

Sambil menebak-nebak Yigit sedikit merasa percaya diri. Selama ini Cit selalu bersama dengannya, bukankah biasanya cewe mudah kebawa perasaan jika diperhatikan setiap hari. Cit menyukai seorang cowo dari berapa ratus siswa yang ada di sekolah, tapi Cit tidak pernah berinteraksi begitu dekat lebih dari interaksi yang mereka lakukan. Mungkinkah sebenarnya, selama ini Cit jatuh cinta pada Yigit. Cuma Yigit saja yang mengulur-ulur waktu.

Cit berdiri lalu menunjuk potret polaroid di balik case ponselnya yang selalu ditutupi dengan uang. Yigit mengernyitkan dahi dan nyaris merebut ponsel Cit, sebelum Cit menyimpan ponselnya ke dalam tas dengan cepat.

"Apa itu?"

Yigit mencoba merogoh tas mungil berbentuk kepala melody yang lembut.
"Ih enggak boleh!" Cit mendekap tasnya ke dada.

Baik sepertinya Yigit tidak boleh cepat terpancing, ingat pelan-pelan. Jangan sampai persahabatan mereka hancur karena kecemburuannya yang membabi buta. Selama ini ia tak pernah menyadari jika ada selembar polaroid di balik ponsel Cit. Yigit merasa kesal pada dirinya sendiri karena melupakan beberapa hal kecil yang luput diceritakan oleh Cit.

Cit melambaikan tangannya di depan Yigit yang terpaku sambil menatap tasnya.
"Yigitttt, kok jadi patung? Kesurupan ya?" Cit menepuk-nepuk bahu Yigit sampai Yigit tersadar dan mengusap wajahnya.

"Hmm Oke tadi kamu bilang mau apa? Ah waffle, oke kalau gitu kamu tunggu di sini sebentar, biar Abang yang antre," Yigit menepuk dadanya, lalu disusul langkah Cit yang mengekor.

"Ikuttt."

Sebenarnya masih ada begitu banyak hal yang ingin Yigit tanyakan, tapi ia takut tidak bisa mengontrol dirinya, di saat ia benar-benar tidak mampu lagi menahan status pertemanan ini. Cit menyodorkan uang Yigit pada penjual waffle lalu memberikan kembaliannya pada Yigit. Sambil menikmati waffle es krim, Cit menepuk pundak Yigit.

"Git kamu sadar enggak si, kalau aku sering banget manfaatin kamu?"

Yigit justru tersenyum dan mengusap puncak kepala Cit.
"Ya bagus dong, keruk hartaku manis," Yigit mencolek dagu Cit.

Mereka pun tertawa dan menyusuri sepanjang tenda kuliner yang ramai dan meriah oleh suara MC dan pertunjukkan berbagai band lokal, di ujung panggung besar. Cit berhenti di salah satu tenant tarot lalu menarik tangan Yigit untuk masuk ke dalam. Tapi Yigit mengeraskan kakinya di depan tenda ungu gelap berlampu warna-warni, yang menurut Yigit lebih cocok jadi tenda bir, dibandingkan dengan tempat meramal nasib.

"Kenapa?"

"Agamamu apa?"

Cit mengernyitkan dahi dan sejenak tampak berpikir.
"Islam kan."

Yigit mengetuk kening Cit.
"Kok jawabnya pake mikir?"

"Aww ya abisnya kamu nanyain yang udah kamu tahu!" sergah Cit sambil mengusap keningnya yang berdenyut.

Yigit membaca beberapa tulisan dan tarif di sebuah papan tulis hitam dengan kapur warna-warni.
"Memangnya islam percaya sama ramalan?"

Cit melirikkan matanya ke atas kanan.
"Ya enggak si."

Terlahir dari keluarga yang memiliki perbedaan kepercayaan, membuat Yigit mengenal Islam cukup baik dari sang ayah yang merupakan seorang muslim, hingga sang ayah memberikan nama Yigit yang cukup islami. Namun karena kedekatannya pada sang ibu, Yigit lebih memilih menganut agama Katholik. Sementara kakaknya yang bernama Samuel justru menganut agama islam.

"Emang islam percaya sama apa aja?"

Cit memundurkan beberapa langkah sambil memegang tali tasnya di depan dada.
"Rukun iman ada enam," Cit menghitung dengan jarinya.

Yigit melipat kedua tangannya di dada lalu mengacungkan telunjuknya.
"Satu."

"Iman kepada Allah," Cit menjawab dengan yakin.

"Terus."

"Iman kepada malaikat, iman kepada kitab Allah, iman kepada Nabi dan Rasul, iman kepada hari akhir atau kiamat dan..."

"Nah ayo apalagi," cecar Yigit membuat Cit semakin gugup dan semakin sulit mengingatnya.

"Ayo ayo kalo lupa convert."

"Astaghfirullah," Cit menginjak kaki Yigit, hingga Yigit terpekik dan menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu lalang.

“Aaaaaa!”

“What the f ... !” seorang gadis asing memegang jantungnya dan menatap kesal pada Yigit.

"You are shocked or jealous? Do you want to be like them?" bisik seorang om-om bule, sambil merangkul seorang gadis yang kelihatan lebih muda darinya.

Never, i’m tired of dating someone my age who always argues about trivial things like them,” gadis itu memalingkan wajah dari Yigit dan Citra yang mendengar percakapan mereka dan kompak menoleh padanya. Gadis berkulit tan itu segera mengecup pipi pacarnya untuk meyakinkan hati sang pria tua. “That’s why i love you.”

“Why she staring at me like that?” Yigit berbisik pada Citra.

“Menurut kamu?!” Cit menggigit bahu Yigit.

“Aaaaaaaa!” Yigit kembali menjerit membuat gadis asing itu kembali melotot padanya.

Yigit menundukkan sedikit kepalanya merasa bersalah lalu menarik kedua pipi Citra sampai Cit meringis.
“Aduh aduh ampun Git!”[]

PETERCANOù les histoires vivent. Découvrez maintenant