Bab 21 : Pertemuan Mereka

505 24 14
                                    

Amel tak habis pikir. Bagaimana bisa Zafka lupa akan dirinya? Mentang-mentang sibuk bukan main, sampai-sampai dia lupa bahwa sudah menikah. Namun, Amel cukup terhibur mendapati wajah cemas bercampur rasa bersalah sang suami yang membisikkan kata maaf dengan sangat pelan di sebelahnya. Demikian pula sikapnya seperti anak kecil yang takut ketahuan habis buka puasa diam-diam. Berulang kali Amel hampir tak kuasa menahan tawanya.

Zafka tersenyum kaku saat diajak berbincang oleh ayah mertuanya. Begitupun saat Rita berkelakar tentang Mardani yang juga pernah meninggalkannya saat di pasar. Kala itu dia baru saja menaikkan Amel ke boncengan, tapi ketika dirinya hendak naik, tiba-tiba Mardani sudah tancap gas duluan. Motor yang dikendarainya pun melesat meninggalkan Rita yang terbengong di belakang. Sontak orang-orang di sekitar sana terbahak-bahak dibuatnya.

"Sudah, ndak usah ngomongin itu terus." Pipi Mardani bersemu merah. Kulitnya yang putih membuat wajahnya tampak seperti kepiting rebus.

"Kenapa? Ayah malu?" Tawa Rita pun kembali pecah. "Kamu jangan begitu kalau nanti kalian sudah punya anak ya, Zafka. Amel ini akalnya pendek. Kalau ditinggal lagi, dia paling cuma nunggu, bukannya inisiatif pulang sendiri."

"Enggak. Amel bisa pulang sendiri." Amel menatap sang bunda dengan mata menyipit.

Rita kembali tergelak. Suami dan anaknya itu memang kompak, sama-sama tidak mau mengakui kelemahan masing-masing. "Syukur-syukur ini jadi haid terakhir kamu ya, Mel. Kata orang, biasanya kalau habis haid, bisa lebih cepat jadi." 

"Jadi apa, Bund?" tanya Amel dengan santai sambil menyeruput kuah sup makaroni. Sementara itu, Zafka yang tanggap pun sontak menoleh ke arah istrinya dan mengernyit.

"Nak Zafka, maaf kalau Amel agak loading, ya. Bunda enggak ngerti kenapa bisa kayak gitu, padahal pas hamil dia, Bunda sering makan ikan," ucap Rita dengan wajah memelas yang kemudian menatap Amel dan mendesah pelan.

"Jadi apa, sih, emangnya, Bund? Jangan ribet-ribet kalau ngomong sama Amel. Pusing tau." Kali ini Amel sudah menghabiskan makanannya. Dia mengambil tisu dan tidak sengaja pandangannya bertemu dengan sang ayah. "Ayah tau?" tanyanya.

Mardani ikut mendesah. Tiba-tiba terbersit pertanyaan apakah keputusannya menikahkan Amel di usianya yang sekarang itu sudah tepat atau malah salah langkah. Bagaimana mungkin anaknya itu tidak paham arah pembicaraan bundanya, padahal mereka sama-sama perempuan?

"Jadi bayi! Hamil! Paham?" ujar Rita dengan tegas.

"Hamil? Siapa? Amel?"

Rita mengangguk.

"Bunda ...." Amel berkata dengan nada mendayu. Dia tersenyum sambil melirik Zafka di sebelahnya. Dia memang belum membicarakan tentang anak bersama Zafka, tapi di hatinya, dia sudah bulat untuk menunda.

"Lebih cepat hamil, itu lebih baik. Jangan ditunda. Nolak rezeki itu namanya."

"Tapi, Bund---"

"Jadi, Nak Zafka, jangan takut-takut. Kalau nanti Amel hamil, Bunda pasti bantu jagain." Rita tersenyum hangat kepada menantunya. Sementara itu, seperti biasa, Zafka hanya bisa membalas dengan senyuman kaku.

Sebenarnya, Zafka ingin berpendapat mengenai hal ini, tapi dia menahannya. Rasanya tidak enak saja membahasnya secara langsung dengan sang mertua sementara dirinya tidak tahu bagaimana pendapat istrinya. Keduanya pun pulang dalam hening. Amel yang biasanya banyak bicara, mendadak senyap dan menatap jalanan lewat jendela mobil. Sementara Zafka, dia terus gagal memulai pembicaraan.

Sesampainya di rumah sewa, Zafka hendak mengajak Amel membicarakan perihal anak yang disinggung mertuanya tadi. Namun, melihat istrinya meringis dan berjalan sambil memegang perut, dia pun menjadi enggan. Pada akhirnya, dia menidurkan Amel dengan mengelus punggungnya, sesuai arahan sang ayah mertua.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 04, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Jodoh Jalur Nazar Where stories live. Discover now