Bab 5 : Melamar

290 22 2
                                    

"Maaf, ya, Sabtu kemarin ...."

"Enggak pa-pa, Kak. Santai aja."

"Maaf karena pasti kamu udah siap-siap."

"Enggak, kok. Kakak santai aja." Amel tersenyum malu-malu dan menyedot jus jeruk pesanannya. Dia selalu pandai berbohong jika dalam kondisi seperti itu, tapi selalu gagal menyembunyikan perasaannya.

Bayu menjelaskan mengapa dia putar balik setelah setengah perjalanan menuju rumah Amel. Ibunya pingsan dan adiknya panik bukan main. Tanpa pikir panjang, Bayu langsung pulang saking khawatirnya. Hal itu membuat Amel semakin kagum.

Sebelumnya, Ben menceritakan segala hal yang dia ketahui tentang Bayu, kakak tingkatnya di jurusan. Mulai dari bekerja paruh waktu di tempat fotokopi dan kafe, sampai cuti kuliah. Pada semester tujuh dan delapan, Bayu sengaja mengambil cuti karena ibunya harus dirawat inap sementara uang tabungannya sudah habis untuk pendaftaran sekolah sang adik. Mau tidak mau, dia harus bekerja full time untuk membiayai pengobatan sang ibu, memenuhi kebutuhan, dan menabung uang semester. Saat mendengarnya, Amel tidak berkedip.

Ben bilang, Amel kagum karena selama ini tidak pernah berada di posisi terendah seperti itu. Maka dari itu, dia meragukan perasaan sahabatnya yang ngotot mengatakan kalau sudah jatuh cinta. Sebab, selama dia mengenal Amel sejak pembekalan untuk mahasiswa baru, gadis itu mudah simpati dan salah mengartikan rasa itu sebagai tanda cinta.

"Terus gimana sama kondisi ibu Kak Bayu sekarang?" tanya Amel dengan nada yang sengaja dibuatnya merdu, walau Ben selalu bergidik kala mendengarnya seperti itu.

"Alhamdulillah, tadi pagi udah lebih baik." Bayu menghela napas berat. Hiruk pikuk kantin menambah sesak di kepalanya dan enggan menguap.

"Alhamdulillah."

Amel memperhatikan sosok yang membuatnya tersipu-sipu itu. Penampilan Bayu cukup kusut dibandingkan sebelumnya. Matanya sayu, seperti tidak tidur semalaman dan rambutnya yang agak panjang itu berantakan, seperti tidak disisir. Sementara itu, kemeja kotak-kotak yang tidak dikancing dan kaus hitam sebagai dalamannya pun seperti tidak disetrika. Amel bertanya-tanya, apa mungkin keuangan Bayu mulai menipis lagi?

"Kak---"

"Mel---"

Mereka saling tatap. Amel mempersilakan Bayu untuk bicara lebih dulu, begitu juga sebaliknya. Akhirnya, mereka kembali senyap untuk beberapa saat.

"Kayaknya aku mau mengundurkan diri, Mel." Bayu mengusap bulir air yang mengembun pada gelasnya.

"Maksudnya ... Kakak mau berhenti kuliah?"

Bayu mengangguk.

"Tapi, kan, nanggung, Kak. Kakak udah selesai seminar proposal, tinggal lanjutin skripsi aja." Amel duduk tegak. Tubuhnya yang semula bersandar pada kursi plastik, kini menempel pada pinggir meja dan menatap serius ke arah Bayu.

Bayu menggeleng. Dia merasa tidak yakin dapat menyelesaikan semuanya di saat kondisi ibunya yang berulang kali tidak stabil dan harus melakukan kemoterapi. Walau sudah menggunakan asuransi kesehatan, tetap saja tidak semuanya ditanggung dan mau tidak mau, itu semua harus ditebusnya.

Amel ingin sekali menolong, tapi Mike selalu menasihatinya banyak kali agar tidak menghabiskan uang tabungannya lagi kepada orang yang baru dikenalnya. Ya, dia pernah melakukannya. Beberapa kali. Dan itu membuat Mike memarahinya habis-habisan karena semuanya terbukti hanya memanfaatkan Amel saja.

Sementara itu, Ben juga melarang Amel melakukan hal yang sama kepada Bayu. Sebagai sesama lelaki, dia mengatakan kalau kaumnya memiliki harga diri dan gengsi yang cukup tinggi. Amel hanya akan membuat hubungannya dengan Bayu menjadi berantakan jika dia melakukan itu.

Jodoh Jalur Nazar Where stories live. Discover now