Bab 12 : Akad

307 19 1
                                    

"Sah!"

Air mata Amel jatuh saat kata itu diucap serempak oleh para tamu. Dia yang duduk sekitar tiga meter dari Zafka melangsungkan ijab kabul pun tak kuasa mengangkat kepalanya. Entah mengapa gadis itu terus merasa melow sejak pagi.

***

Dua keluarga itu sepakat untuk melangsungkan acara akad nikah pada malam hari dan menunda resepsi sesuai keinginan kedua mempelai. Bagi Rita dan Tari, yang penting anak mereka sudah sah. Maka dengan begitu, tidak lagi ada rasa khawatir di benak mereka.

"Amel." Rita masuk dan menghampiri putrinya yang sedang duduk manis di ranjang. Punggung tangannya sedang dikipas agar hena putih yang baru saja selesai diukir di sana cepat mengering. Mike ada di sana mendampingi sang sahabat.

Amel melihat bundanya seraya mengulas senyum. Dadanya sudah berdebar sejak semalam, tapi enggan diungkapkan. Kini dia hanya berusaha untuk tetap terlihat tenang walau dalam hitungan jam, statusnya akan berubah menjadi seorang istri.

"Udah makan?" tanya Rita setelah duduk di ranjang, di depan anaknya.

"Belum, Bund."

"Mike?"

"Belum juga, Bunda." Mike yang baru saja merapikan kerudung yang akan digunakan sahabatnya itu duduk di sebelah Amel. Dia dan Ben sudah terbiasa memanggil ibu dari sahabat mereka itu dengan sebutan "bunda". Sejak pertama kali ketemu, sejak itu pula Rita membiasakan mereka memanggilnya dengan sebutan yang sama seperti anaknya.

"Ya udah, nanti Bunda suruh Mbak bawain makanan ke sini."

"Nanti biar Mike aja yang turun, Bund."

"Enggak usah. Kamu temenin Amel aja di sini. Bunda mau turun lagi. Ngecek persiapan di bawah." Rita bangkit sambil mengalihkan wajahnya. Matanya sudah berkaca-kaca dan hampir menangis. Dia masih tidak menyangka akan sampai di tahap ini, menikahkan putri semata wayangnya bersama lelaki yang diyakininya paling tepat untuk menjadi pendamping Amel.

"Bunda," Amel menjeda kalimatnya. Kelopak matanya sudah panas dan ada rasa yang entah bagaimana cara mengungkapkannya. "... makasih, ya."

Rita menoleh. Dia mendekati putrinya dan mengelus kepalanya sebentar. "Bunda yang makasih sama kamu, Mel." Rita tersenyum dan air matanya jatuh bersamaan.

"Amel sayang Bunda." Amel segera memeluk bundanya. Tangannya melingkar di pinggang Rita yang berdiri tepat di sebelahnya. Nyaman. Itu yang dirasakan Amel saat menghidu aroma sang bunda. Perlahan, debaran di dadanya sedikit mereda.

Dari sudut pandang lain, Mike hanya melihat ibu dan anak itu dalam diam. Pikirannya kosong, tapi air matanya meluncur dengan sendirinya. Dia segera mengusapnya dengan cepat dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Menatap hiasan kamar pengantin menjadi pilihan utamanya.

"Bunda turun dulu. Kalau ada apa-apa, panggil aja Mbak di bawah, ya." Rita kembali mengelus kepala anaknya. Dia bergegas ke lantai satu untuk memastikan segala persiapan tidak ada yang kurang. Walau acara yang diselenggarakan cukup sederhana, tapi dia ingin momen ini menjadi yang paling berkesan bagi putrinya.

Rita tidak mengurusi pernikahan Amel sendirian. Selain dibantu calon besan, dua orang kakaknya datang untuk ikut mengurusi segala hal. Walau sempat mendapat kritikan dari keluarga besar karena tidak melangsungkan acara secara besar-besaran, Rita sangat bersyukur saat mendapat dukungan dari ibunya. Masih jelas di ingatannya, saat sang ibu menelepon dan mengatakan bahwa bagaimanapun acaranya, dia akan mendoakan agar lancar sampai selesai. Rita menangis dalam pelukan Mardani saat itu.

***

"Kak Amel cantik banget, sih. Imut juga. Tipenya Abang banget." Zinia yang menghampiri kamar Amel, sejak dua jam sebelum acara itu pun tak melepaskan pandangannya dari wajah calon kakak iparnya yang sedang dirias. Dia terus tersenyum-senyum. Entah apa alasannya. Amel tidak yakin senyuman itu terbit karena pesonanya yang terpancar.

"Kita, kan, seumuran, Zi. Panggil nama aja." Amel masih merasa canggung dengan calon adik iparnya itu. Baru saja mereka bertemu dua minggu lalu, dan dalam hitungan jam, mereka akan menjadi keluarga.

Pernikahan Amel dan Zafka dipercepat karena beberapa alasan. Salah satunya, memanfaatkan libur semester agar tidak mengganggu aktivitas perkuliahan Amel dan Zinia yang sama-sama sedang akan menyusun skripsi. Sementara alasan lainnya, Amel dan Zafka sepakat tidak memberitakan pernikahan mereka di lingkungan kampus, kecuali kepada sahabat mereka. Dengan alasan libur semester, keduanya bisa berdalih mengapa teman-teman mereka tidak datang.

"Aku seneng karena akhirnya punya kakak. Jadi, jangan larang aku, ya." Zi tersenyum setelah mengatakan kalimat permintaan yang lebih terdengar seperti ancaman bagi Amel. Ternyata darah itu memang lebih kental daripada air. Amel percaya sekarang.

"Ke, tolong hape aku, dong." Amel menunjuk ponselnya yang sedang di-charg.

"Biar aku aja," ucap Zinia cepat.

"Makasih." Amel tersenyum kikuk saat menerima ponselnya. Ditambah lagi tatapan Zinia yang tiada habisnya itu. "Kamu datang duluan? Enggak ikut rombongan?" tanyanya setelah berpikir keras topik apa yang harus dia bahas.

"Iya. Nanti aku keluar kalau rombongan Mama udah deket sini."

"Ooo, gitu." Amel melirik Mike yang sedang memegang ponsel sedari tadi di sofa. "Ke, kamu enggak make up sekalian?"  tanyanya agak sedikit kurang jelas karena merasa bibirnya berat setelah dipoles lipstik.

"Enggak usah."

"Dikit aja, Ke. Mau, ya."

"Enggak usah, Amel. Aku udah pakai kerudung juga. Ribet ntar."

"Ya dibuka aja dulu. Nanti dipasangin sama mbaknya. Iya, kan, Mbak?"

Perias itu pun mengangguk sambil tersenyum.

Mike menghela napas. Menggunakan kerudung saja sudah ribet menurutnya karena belum terbiasa, ditambah lagi harus make up, padahal bukan dia yang menikah. Tapi, demi sahabatnya yang sudah manyun itu, akhirnya dia menurut. Setelah membalas pesan Ben yang katanya udah panas dingin sejak tadi karena akan menyaksikan pernikahan sahabat mereka, Mike beranjak ke tempat Amel duduk.

Sementara itu, Zinia memperhatikan mereka sambil tersenyum. Kali ini dia benar-benar tersenyum sendu. Entah mengapa, dia mendadak sedih.

***

Setelah magrib, Ben yang baru pulang dari musala tidak sengaja bertemu Mike yang hendak naik tangga sambil membawa nampan berisi kue dan segelas air minum. Walau sempat terpesona, detik kemudian dia langsung terbahak-bahak.

"Gilak lu, Ke! Habis dari mana? Muka lu kenapa? Diapain sama Amel, ha? Ya ampun ..." Ben tertawa sampai membungkuk, "... kayak orang-orangan sawah, Ke! Aneh banget liat muka lu kayak gitu."

Tepat saat menyelesaikan ucapannya, Ben mengaduh sambil mengusap bahu kanannya. Dia menoleh dan hampir memaki sebelum mengetahui siapa yang baru saja menepuk bahunya dengan sangat keras. Ternyata, Rita sudah bertolak pinggang sambil memelototkan matanya. "Bu-bunda," sapa Ben dengan masih mengusap-usap bahunya.

"Anak cantik begini dibilang kayak orang-orangan sawah. Kamu kalau jailin Mike lagi awas, ya. Bunda suruh ngepel rumah sama nyikat WC mau?" Rita sudah berjalan dan berdiri di sebelah Mike. Dia tersenyum ke arah gadis yang sudah dianggap seperti anaknya itu, tapi kemudian melayangkan pelototan lagi ke arah Ben.

"Ya maaf, Bund. Lagian Ben, kan, enggak pernah lihat Mike dandan. Jadi aneh aja. Lihat dia pakai kerudung aja pas lebaran haji doang." Ben segera berlari setelah berujar dan menghindari pukulan selanjutnya dari bunda yang dianggapnya seperti ibu sendiri.

Mike yang menyaksikannya pun hanya tersenyum kecut. Dia sudah sering mendapat pembelaan dari bunda sahabatnya itu, tapi matanya selalu panas setiap kali hal itu terjadi. Sebelum air matanya jatuh, dia pun bergegas menuju kamar Amel. Beberapa tamu sudah berdatangan dan acara pernikahan akan dilangsungkan setelah isya.

.
.
.
#TBC

🐥🐥🐥

Walimahannya sederhana. Jadi Pak Zafka sama Amel enggak ngundang banyak-banyak. Tapi, untuk ZafkAmel pasti diundang. Yuk, makan rendang! 😆

Jodoh Jalur Nazar Where stories live. Discover now