Bab 14 : Tikus Besar

297 20 3
                                    

Amel menggeliat dan meraba-raba permukaan tempatnya tidur seperti sedang mencari sesuatu. Dia mengerjap, menyesuaikan penglihatan dan pencahayaan kamar. Kemudian dia memeluk guling dan hendak melanjutkan tidur. Namun, baru saja memejamkan mata, dia terbelalak saat menyadari bahwa dirinya tidak berada di ranjang, melainkan di atas karpet bulu.

Suara pintu kamar mandi yang terbuka mengalihkan pandangan Amel. Zafka yang keluar dari dalam sana sambil mengeringkan rambutnya yang basah membuat Amel berteriak. Dia memeluk bantal sambil menanyakan mengapa dosennya itu ada di kamarnya.

Zafka terpaku di tempat. Dia hampir melongo melihat istrinya berlaku demikian.

"Bapak ngapain di kamar saya?" tanya Amel untuk yang kedua kalinya sambil menutupi kepalanya menggunakan selimut.

"Mandi."

"Stop! Jangan bergerak!" pekik Amel.

Sontak Zafka berhenti di tempat. Pandangannya seperti orang yang kebingungan.

"Mel? Ada apa, Nak?" suara Mardani dari luar kamar sambil mengetuk pintu membuat keduanya menoleh. "Kenapa teriak-teriak? Ada tikus lagi?" 

"Iya, Yah! Besar!"

Zafka lantas berjingkat dan memerhatikan setiap sudut dan kolong. Membayangkan hewan pengerat itu berlarian di dekatnya membuat dia bergidik.

"Mana?!" tanya Mardani setelah membuka pintu dengan kasar. Lelaki paruh baya yang menggunakan singlet dan sarung itu baru saja melangkah beberapa dan kemudian berhenti. Dia kikuk sendiri saat bertemu tatap dengan Zafka, anak menantunya.

"Itu, Yah! Dia baru keluar dari kamar mandi." Amel menunjuk Zafka. Dia sudah berada di atas ranjang dengan berbungkus selimut.

Mardani melihat Zafka, heran. Begitu pula dengan menantunya itu. Beberapa detik kemudian, keduanya menatap Amel bersamaan.

"Kenapa, Mel?" tanya Rita yang baru saja menyusul suaminya dengan tergopoh-gopoh. Teriakan Amel membuatnya khawatir bukan kepalang. Takut-takut ada tikus atau ular yang masuk ke kamarnya lagi. Pelepah pohon kelapa di samping rumah, tepat di bawah jendela kamar Amel, membuat dua hewan itu bisa masuk tanpa permisi.

"Sudah-sudah, kita turun lagi." Mardani berbalik dan menggandeng istrinya untuk ke luar kamar. Dia menggeleng sesaat sebelum menjawab pertanyaan sang istri yang masih khawatir.

Sementara itu, Zafka menatap Amel sambil mengembuskan napas kasar. Dia kembali mengusap-usap kepalanya dan berjalan ke dekat jendela, lalu mengambil baju koko dari kopernya. Untung saja dia sudah berpakaian, celana kain dan kaus oblong, sebelum keluar kamar mandi, jadi tidak terlalu canggung saat ayah mertuanya tadi masuk tiba-tiba. Salahnya juga, mengapa tidak mengunci pintu sebelum tidur. Ternyata lama melajang membuatnya lupa apa itu privasi di dalam rumah.

"Bapak---"

"Kamu tidak sholat Subuh?" tanya Zafka sebelum Amel mengatakan kalimat yang aneh-aneh lagi. Tikus? Istrinya itu menganggapnya tikus? Tikus besar? Zafka mengancingkan bajunya dengan sedikit kesal dan membelakangi Amel.

"Sholat."

Zafka berbalik. Dia menatap Amel yang membungkus dirinya dengan selimut. Setelahnya, dia meninggalkan kamar tanpa sepatah kata.

Amel yang baru menyadari kebodohannya pun memukul kepalanya sendiri. Dia merutuki salah satu kekurangannya yang paling dia benci, lupa. Bisa-bisanya dia lupa kalau Zafka sudah sah menjadi suaminya. Saat hendak turun dari ranjang, dia baru teringat, mengapa dia tidur di bawah? Apakah sebelum tidur dia dan Zafka membuat kesepakatan salah satunya tidur di bawah? Amel kembali merutuki dirinya yang pelupa. Saking lelahnya, dia tidak ingat apa-apa.

Jodoh Jalur Nazar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang