Bab 10 : Kepergok

240 20 3
                                    

"Halo, Pak. Saya udah di ruangan Bapak, tapi ruangannya sepi. Udah dikunci juga." Amel memperhatikan ruangan yang gelap itu dari jendela dengan berjinjit. Dia memastikan sekali lagi kalau Zafka tidak ada di mejanya.

"Kamu di mana?"

"Di depan ruangan Bapak. Kan, Bapak yang nyuruh saya buat nemuin Bapak. Ini saya udah di sini, tapi Bapak yang enggak ada. Bapak enggak lagi ngerjain saya, 'kan?"

Zafka mendesah sambil memijit pelipisnya. "Saya di ruangan sekretaris jurusan. Di lantai satu."

"Loh, Bapak pindah ruangan kok enggak ngomong ke saya? Bapak beneran mau ngerjain saya, ya?"

Zafka kembali mendesah. Dia menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit ruangan barunya. Bagai kode yang diberi Tuhan kepadanya, setelah sang mama mengatakan akan melamar Amel untuknya, hasil rapat dosen memutuskan dirinya diangkat menjadi sekretaris jurusan yang baru. Hal ini seakan-akan menandakan bahwa menikah akan membuka pintu rezeki seorang hamba.

"Pak? Iya deh iya, saya turun." Amel memilih turun ke lantai satu karena membayangkan wajah Zafka yang datar. Daripada menambah masalah, lebih baik dia mengalah. "Tumben banget udah sepi. Biasanya jam segini masih banyak orang," katanya tanpa sadar, karena lorong yang dilewatinya memang sepi. Tak pikir panjang, sontak dia berlari menuruni anak tangga karena bulu kuduknya meremang.

"Jangan lari-lari, nanti kamu---"

"Aaakh!"

"Amel?"

"Sakiiit." Amel terisak. Belum selesai kalimat Zafka yang hendak menasihatinya, dia sudah jatuh duluan tepat di anak tangga terakhir. "Saya enggak pa-pa, Pak," ujarnya yang membuat Zafka bingung sesaat.

"Ya sudah." Walau bingung mengapa Amel memberi tahu keadaannya padahal tidak ditanya, Zafka kembali ke mode semula sebelum dia berdiri tegak karena khawatir.

Amel yang menggunakan pantofel dengan sedikit hak itu pun berjalan agak tertatih. Dia menuju ruangan Zafka yang kebetulan sudah tidak ada mahasiswa juga di depan ruangan tersebut. Sebab biasanya akan ada banyak mahasiswa semester atas yang menunggu dosen di dana. Kalau masih ada, dia berniat untuk menunggu saja.

Setelah mengetuk pintu kaca yang sedikit gelap, Amel segera masuk tanpa menunggu sahutan Zafka. Dia juga tidak membuka sepatunya dan tertatih-tatih menghampiri dosennya yang duduk bak di singgasana itu. Dalam hati, dia mengomel tidak jelas dan menyalahkan insiden jatuh barusan karena ulah Zafka.

"Silakan duduk," ucap Zafka yang melihat Amel meringis setiap kali melangkah.

Amel mengangguk, tapi kakinya terus melangkah menuju Zafka yang sudah mendorong kursi berodanya ke belakang. "Saya haus, Pak. Minta minum, ya," ucapnya sambil meraih gelas. Di sudut ruangan itu memang tersedia dispenser, letaknya hanya satu meter dari meja Zafka.

"Kalau minum itu duduk," titah Zafka yang melihat Amel menenggak air minumnya sambil berdiri.

Lantas, detik itu juga Amel melorotkan dirinya dan berjongkok. Dan tepat saat itu, suara ketua jurusan dan sekretaris sebelumnya terdengar semakin dekat. Sontak hal itu membuat Amel hampir tersedak dan segera menyelinap ke kolong meja Zafka sambil menutup mulut.

"Pak Zafka ..." Ketua Jurusan langsung membicarakan inti permasalahan setelah masuk ke ruangan. Dan Amel semakin terkejut saat tasnya hampir terpijak oleh sekretaris sebelumnya yang ikut duduk di depan meja Zafka.

Pembicaraan itu berlangsung cukup lama dan Zafka memilih untuk menggeser kursinya agar lebih nyaman. Keberadaan Amel yang tepat di tengah-tengah, di antara laci meja, membuatnya memilih menghadap ke laci. Walau sempat mendapat tatapan aneh dari dua orang yang cukup dihormati Zafka, tapi akhirnya dia dapat mengalihkan perhatian.

Jodoh Jalur Nazar Where stories live. Discover now