Bab 20 : Zafka 1

244 19 2
                                    

"Muka lu digigit tawon, Ben?" tanya Amel. Dia memperhatikan Ben yang manyun sedari tadi dan duduk di seberang meja dengan seksama. Sahabatnya yang satu itu banyak diam sejak mereka hendak berkumpul dan makan siang di kantin Fakultas Teknik. "Apa lagi sariawan?" Amel menoleh ke arah Mike yang ditanggapi dengan gerakan bahu, seakan-akan tidak tahu apa penyebabnya.

"Nih, buat lu!" Ben memindahkan dua tusuk sate ke piring Amel. Sontak hal itu membuat Amel kebingungan. Walau dua sahabatnya itu tahu kalau dia penggemar garis keras sama yang namanya sate kacang, tapi Ben tidak pernah mau membaginya walau sepotong saja. Dalam urusan makanan, mereka sangat kompetitif.

"Ben, jangan bikin gue merinding nggak jelas, iih. Lu kalau ada masalah jangan dilampiasin ke gue, dong." Amel bergidik. Dia mendekatkan diri ke Mike yang menyantap nasi campur dengan santai.

"Temen lu tuh!" Ben mencebik.

"Temen gue mah lu berdua."

"Iya. Temen lu yang kemarin malam enggak mau dijemput, tapi malah mau diantar sama temennya temen hidup lu."

Kali ini Amel tidak bisa diam. Dia meremas tisu di meja dan melemparnya ke arah Ben. "Lu kalau ngomong yang bener napa! Jangan ribet! Pusing gue."

"Iya, maaf," kata Mike, tiba-tiba. Ben yang mendengarnya pun langsung semringah, walau segera disembunyikannya. Namun, berbeda dengan Amel, dia mengernyit kebingungan.

"Awas aja kalau kalian nyembunyiin sesuatu dari gue." Tak mau repot berpikir, Amel memilih segera menghabiskan satenya sebelum diambil kembali oleh Ben. Kebiasaan yang paling membuat Amel kesal.

Tiga sahabat itu pun bersantap siang sambil mengobrol. Ada banyak pembicaraan random yang bisa mereka obrolin, termasuk iklan permen dan sosis di TV. Pun iklan sampo di Thailand.

Di sela-sela obrolan yang berujung tawa itu, seseorang datang menghampiri meja mereka dan menyapa Amel. Spontan ketiganya pun menoleh dan memperlihatkan reaksi yang berbeda-beda. Amel yang terkejut dan segera menoleh ke kanan-kiri kemudian menyapa kembali, Ben yang segera menggeser duduknya dan mempersilakan seniornya itu untuk duduk, sementara Mike hanya memperhatikan kedua temannya.

"Udah dari tadi, ya?" tanya Bayu kepada mereka bertiga, tetapi pandangannya jatuh pada Amel. Dia meletakkan sepiring nasi campur dan gelas.

"Iya, Bang. Udah selesai juga." Ben menjawab.

"Lagi pada ada kelas atau apa, nih?"

Kali ini Ben kembali menjawab, "Aku ada kelas, kalau Mike sama Amel pada cari referensi buat proposal."

Bayu mengangguk dan mengulas senyum kepada Amel. Setelahnya, dia mulai menyantap makan siangnya sambil membuka obrolan tentang tempat tinggalnya yang berdekatan dengan Amel. Sontak hal itu membuat Mike dan Ben menoleh bersamaan ke arah sahabat mereka yang tersenyum paksa. Tanpa bertanya, mereka berdua bisa menebak kalau Amel tidak memberi tahu perihal pernikahannya kepada Bayu.

Di sudut lain, Zafka memperhatikan mereka dengan sebelah tangan di dalam saku. Dia membenarkan letak kacamatanya tanpa berkedip sekalipun. Pandangannya fokus pada istrinya yang sesekali tersenyum dan tertawa.

***

Amel sedang duduk di meja yang biasa menjadi tempatnya mengobrol bersama Mike dan Ben, di bawah pohon ketapang. Sambil mengetik, bolak-balik dia melihat pojok kanan bawah layar laptopnya, mengecek sudah pukul berapa saat ini. Dia ingin pulang, tapi lupa membawa kunci rumah dan Zafka sedang rapat. Ingin ikut ke indekos Mike, tapi sahabatnya itu hendak bekerja. Alhasil, mau tidak mau, pulang bersama suaminya adalah pilihan terbaik.

Sudah pukul 15:15 dan sebentar lagi masuk waktu asar. Dia mengirim pesan kepada Zafka karena mulai tidak nyaman dan lupa membawa pembalut. Namun, sampai azan asar berkumandang, Zafka tak juga membalas pesannya. Akhirnya, Amel memutuskan untuk memesan ojek dan pulang ke rumah orang tuanya.

"Pak, saya pulang duluan. Tapi saya pulang ke rumah Bunda. Nanti pas Bapak pulang, sekalian hampiri saya, yq." Amel mengirim pesan sekali lagi saat menunggu ojek pesanannya.

Setibanya di rumah, ternyata orang tuanya sedang tidak di rumah. Amel pun beruntung karena pembantu rumahnya bekerja hari itu. Sebab, bundanya tidak mempekerjakan si Mbak setiap hari.

"Mbak, nanti kalau Pak Zafka datang, langsung suruh naik aja, ya," titah Amel sebelum menaiki anak tangga sambil memegang perutnya.

"Iya, Mbak."

"Ah, satu lagi." Amel yang baru saja menginjak anak tangga ketiga itu spontan berhenti. "Nanti buatkan air madu anget, ya," ucapnya kemudian.

"Haid, Mbak?"

"Iya. Udah dari kemaren, tapi baru sekarang sakitnya." Amel meringis dan melangkah cepat menuju kamarnya.

Sementara itu, Zafka yang baru saja selesai rapat segera menunaikan sholat di ruangannya. Setelahnya, dia duduk bersandar sejenak sambil meletakkan lengan dan menutupi matanya. Beberapa saat, dia tertidur sejenak. Kalau bukan karena ketukan dari ketua jurusan pada pintu ruangannya, mungkin Zafka akan tertidur lebih lelap lagi.

"Nanti filenya kirim lewat WhatsApp aja ya, Pak Zaf," kata ketua jurusan yang sudah bersiap-siap hendak pulang.

Zafka yang spontan duduk tegap dan menggunakan kacamatanya pun lantas menyahut "baik, Bu." dan segera membereskan meja kerjanya. Beberapa berkas kembali dia masukkan ke dalam tas dan menutup tirai di belakangnya. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, dia pun bergegas ke parkiran dan pulang.

Saking lelahnya, Zafka yang baru saja tiba di rumah pun langsung membaringkan tubuhnya di sofa. Pekerjaan yang tiada habisnya itu menguras seluruh energinya. Sementara pekerjaan sebagai sekretaris jurusan mulai bisa di-handle satu per satu, pekerjaan utamanya sebagai dosen akan mulai lagi besok. Dia mendesah sambil menatap langit-langit ruang tamu yang belum juga sempat dibersihkannya.

Karena tak mau ketiduran dan lewat sampai magrib, Zafka memutuskan untuk bersih-bersih. Di sela-sela aktivitasnya itu, dia merasa ada sesuatu yang salah. Entah apa. Tetapi rasanya cukup mengganjal, seperti lupa membawa sambal buatan sang Mama saat kembali ke rumah sewa.

Setelah mandi, Zafka baru menyadari ketidakhadiran istrinya saat membuka lemari. Baju-baju yang beraneka warna dan cukup berantakan itu membuat Zafka tersentak, di mana istrinya? Lantas, segera dia mengambil ponsel dan mengeceknya. Ada lima pesan dan panggilan tak terjawab dari orang yang sama, yaitu Amel.

Selain pesan mengenai pulangnya sang istri ke rumah orang tuanya, tiga pesan lainnya adalah pertanyaan di mana dirinya sekarang dan dua stiker: kartun dengan pandangan malas dan kartun yang terkapar di kamar.

"Iya, saya susul kamu sekarang."

Setelah mengirim pesan balasan itu, Zafka bergegas menggunakan pakaian dan mengambil kunci motor. Namun, dia meletakkan lagi kunci itu dan memilih membawa kunci mobil. Langkahnya dipercepat bahkan saat mengunci pintu pun sama, sampai-sampai kunci itu dua kali terjatuh. Hanya saja, pandangannya kembali teralihkan pada halaman rumahnya yang mulai semak. Lagi-lagi dia belum sempat membersihkannya.

Zafka menggeleng. Dia kembali fokus ke tujuan sebelumnya, menjemput Amel. Rasa bersalah sudah menjalarinya sejak tadi. Bisa-bisanya dia melupakan Amel sampai gadis itu pulang ke rumah orang tuanya. Apa yang harus dia jawab kalau semisal ditanya oleh mertuanya?

Masih dengan pikiran-pikiran itu, Zafka mulai mengendarai mobilnya. Namun, perhatiannya teralihkan oleh seseorang di pos satpam. Lelaki itu tampak mengobrol dengan akrab bersama petugas keamanan komplek.

"Bayu?" batin Zafka.

.
.
.
#TBC

🍳🍳🍳

Haiiii...
Assalamualaikum. Maaf, ya, baru mulai update lagi. 🥲

Pasti dah pada lupa sama Amel, deh. Huaaa...

Tapiii, gwencana-gwencana, i'm okay. InsyaAllah story ini akan aku post sampai ending. Semoga bisa selesai bulan ini.

Jodoh Jalur Nazar Where stories live. Discover now