Bab 7 : Harapan yang Hanya Harapan

244 22 0
                                    

Amel menyuap nasi padang berlauk dendeng di hadapannya. Lahap sekali. Sampai-sampai Zafka terperangah sebab beberapa belas menit lalu, gadis mungil itu mengatakan hilang selera makan setelah membahas perjodohan mereka. Namun, apa yang dilihatnya saat ini sangat bertolak belakang. Kalau saja Amel tidak mendongak ke arahnya, dia hampir mengira gadis itu kesurupan hantu lapar.

"Bapak enggak makan?" tanya Amel di sela-sela mengunyah. Dia menarik kerudungnya yang melorot menggunakan pergelangan tangan.

Tanpa menjawab, Zafka mulai menyuap nasi yang sedari tadi dijumputnya dan masih tertahan di piring. Suara cempreng Amel sudah cukup meyakinkannya bahwa gadis itu tidak kesurupan.

"Saya kok enggak tau, ya, kalau nasi padang yang di sini enak banget," kata Amel lagi sambil menenggak teh es. Bibirnya merah dan keningnya penuh bulir keringat.

Melihat itu, lantas Zafka bangkit dan mendekati kipas angin yang menempel di salah satu dinding. Dia menunggu kipas itu berputar ke arah Amel, lalu menarik tali yang menjuntai hingga tak lagi bergerak ke kanan dan kiri. Namun, Amel tidak menyadari itu dan fokus makan sambil menghela napas.

Di perjalanan pulang, Amel tertidur karena AC mobil yang cukup dingin. Kebiasaannya yang cepat mengantuk jika sudah kenyang itu tidak bisa ditahan walau sang dosen sedang menyetir di sebelahnya.

Ponsel Zafka berdering. Zinia menelepon dan dia enggan mengangkatnya. Dia melirik Amel yang baru saja mengecap dan kembali tidur dengan mulut terbuka.

Seperti biasa, setelah panggilan pertama tidak diangkat, Zinia kembali menelepon. Mau tak mau, Zafka pun mengangkatnya.

"Mama beneran mau ngelamar mahasiswi Abang?"

"Assalamualaikum." Zafka baru saja meletakkan ponselnya di antara kursinya dan Amel. Dia juga membenarkan posisi airpods yang digunakannya.

"Eh, iya. Waalaikumussalam, Abang." Terdengar kekehan Zinia di seberang telepon. "Tadi Zi ditelepon Mama. Katanya minggu depan mau ngadain lamaran. Abang beneran mau nikah?"

Zafka menginjak rem tepat ketika lampu lalu lintas baru saja berubah menjadi merah. Dia juga mendesah sambil melirik Amel yang masih pulas. "Abang belum tahu," jawabnya singkat.

"Abang udah istikharah? Kata teman Zi, kalau ragu-ragu, bawa sholat istikharah aja."

"Nanti."

"Kalau nanti hati Abang masih ragu, mendingan ngomong sama Mama. Jangan buru-buru. Nanti Zi telepon Mama juga."

"Hem. Makasih."

Suara klakson mobil membuat Zafka tersadar dari lamunan singkatnya dan segera melanjutkan perjalanan menuju kampus. Dia juga ingat video kajian yang ditontonnya tadi malam, saat hendak mencari tahu apakah dia sudah siap menikah atau belum.

***

Hari demi hari berlalu. Zafka sempat lupa akan acara lamaran yang direncanakan mamanya. Dan setelah melakukan beberapa kali sholat istikharah, dia tidak lagi kepikiran sampai sulit tidur. Hanya saja, dia bertanya-tanya, mengapa tidak bermimpi apa-apa? Jadi, apa sebenarnya jawaban atas pertanyaannya pada setiap doa-doa seusai sholat istikharah?

Selepas melaksanakan sholat Jumat, Jeno merangkulnya. Dia mengatakan kalau permintaan Zafka sudah diurus dan tinggal menunggu persetujuan ketua jurusan. Dia juga berdecak kagum kepada sahabatnya.

Namun, seperti biasa, Zafka tidak terlalu menanggapi. Lelaki berkoko putih itu menyugar rambutnya dan duduk di anak tangga masjid kampus. Dia menatap para jemaah yang sedang berjalan menuju parkiran dan tidak merespon pertanyaan sahabatnya.

Jodoh Jalur Nazar Where stories live. Discover now