Bab 2 : Takdir yang Tertukar

398 22 0
                                    

"Oalah, mereka sudah saling kenal rupanya, Mbakyu." Tari menepuk lengan Rita sambil terkekeh.

Amel menoleh dan melongo. Dia tidak mengerti mengapa bunda dan temannya nampak senang begitu.

"Iya ya, Mbak. Saya enggak tahu. Amel enggak pernah cerita kalau di jurusannya ada dosen ganteng begini."

Kali ini Amel menoleh ke arah sebaliknya. Rita yang baru saja berkata demikian tampak malu-malu sambil melirik Zafka. Dua ibu-ibu itu tertawa-tawa seakan-akan sedang menyindir Amel yang masih cengo.

"Mahasiswa Abang?" tanya Fauzi.

Amel mengalihkan pandangannya lagi. Dia melihat senyum semringah Fauzi yang menunggu jawaban dari Zafka.

"Iya, Pa."

"Beneran, Mel?" Mardani ikut memastikan.

Amel menoleh ke arah ayahnya sekarang. Dia tidak segera menjawab dan hanya menatap sang ayah. Pikirannya mendadak hanya dihuni "B minus", nilai dari dua mata kuliah yang dipegang Zafka.

"Amel? Nduk? Lah, kesambet apa gimana? Amel?" Mardani menggeser bokongnya sampai ke ujung sofa, berusaha mendekati Amel yang masih diam membisu.

"Amel? Mel?" Rita memanggil anaknya. Dia menarik-narik baju Amel, berharap putrinya menoleh dan membaca kode matanya.

Namun, Amel masih melanglang buana di ingatannya yang lalu-lalu, saat mengumpulkan tugas latihan yang ternyata hasilnya salah tiga dari lima soal, saat disuruh mengerjakan soal di papan tulis dan dia hanya menulis ulang angka-angka pada soal, lalu saat membuka website kampus dan mendapati kolom mata kuliah Teori Bilangan dan Kalkulus Dua pada KHS*-nya tertera B minus. Yang mana, otomatis dia harus mengulang mata kuliah tersebut karena kebijakan yang berlaku, mata kuliah wajib harus mendapat nilai paling rendah B.

"Amel Cindy!"

"Iya saya, Pak!" Amel langsung menghadap ke Zafka. Respon tubuh yang sangat dibencinya. Selang beberapa detik, respon lain muncul. "Sindi, Pak. Huruf c-nya dibaca 'si', bukan 'ci'. Jadi, cara baca nama saya itu 'Amel Sindi', Bapaaak, bukan 'Amel Cindi'," jelasnya tepat seperti kelas pertama mereka dulu saat absensi. Bahkan, kalau dihitung-hitung, dia sudah mengatakan itu sebanyak empat kali selama belajar dua semester dengan Zafka.

Suasana yang semula riuh kini mendadak kaku. Wajah datar Zafka yang menatap Amel persis seperti saat mahasiswinya itu menghadap untuk menyerahkan sinopsis judul skripsi, membuat Rita yang menyaksikannya malah menelan ludah. Lantas, perempuan gempal itu menarik tangan Amel, menyuruhnya duduk.

Sementara itu, wajah kesal Amel pula membuat Fauzi tak nyaman. Entah apa permasalahan Zafka dan putri temannya itu di kampus, tapi dia berfirasat kalau masalahnya dimulai oleh Zafka.

"Amel, Paman mau buka warung sate padang di sebelah rumah makan cabang depan itu. Gimana?" tanya Fauzi mencoba mencairkan suasana.

Seketika itu juga wajah Amel berubah ceria. Matanya berbinar mendengar ucapan Fauzi barusan. "Serius, Paman? Ada menu sate kacang juga, 'kan? Itu sate yang cabang dari Jalan Sudirman itu,' kan?" tanya Amel antusias.

Fauzi mengangguk dan tersenyum. "Iya. Paman ingat pas Amel cerita kalau teman-temannya suka sama sate di sana."

Senyum Amel membuat Mardani, Fauzi, dan Rita bernapas lega. Berbeda halnya dengan Tari yang masih mengkode anak sulungnya itu untuk bersikap santai. Zafka yang menangkap kode dari ibunya itu pun segera menyandarkan punggungnya. Dia tidak lagi menatap Amel dengan serius.

Perbincangan pun berlanjut dengan Amel yang mendominasi. Tentu, pembahasannya tidak jauh dari seputar sate kuah kacang, awal mula dia menyukainya, pedagang favoritnya, bahkan perjalanannya menemukan sate yang pas di lidahnya setelah keluarganya pindah ke kota yang sekarang. Saking semangatnya bercerita, dia sampai tidak sadar ada notifikasi pesan dari Bayu di ponselnya. Dia juga lupa kalau sebenarnya sedang ada janji kencan. Entah karena syok mendapati Zafka ada di rumahnya atau karena terlalu antusias membicarakan sate kacang.

Jodoh Jalur Nazar Where stories live. Discover now