Bab 16 : Pindah

259 20 0
                                    

"Bunda, Amel pamit, ya."

"Iya. Jangan banyak tingkah! Jangan nyusahin Nak Zafka. Inget pesen Bunda, manjanya di rumah aja, secukupnya. Jangan bikin Zafka malu. Paham?"

"Iya, iya." Amel berdecih. "Siapa juga yang manja," gumamnya yang membuat kening Zafka berkerut.

Amel yang semula hampir menangis, mendadak kesal seketika. Baru jadi anak menantu dua hari lebih beberapa belas jam saja, Zafka sudah hampir menggeser posisinya sebagai anak tunggal yang sudah dua puluh tahun lebih menjadi anak mereka. Bukan tentang harta waris atau gono-gini, melainkan perhatian Rita yang terus saja memuji anak menantunya.

Di sisi lain, Mardani tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Walau dia sangat mendukung keputusan menantunya, tapi hatinya malah melow melihat putri kesayangannya sudah hendak pergi. Padahal masih di kota yang sama bahkan jaraknya pun tidak jauh, tapi baru kali ini anaknya itu benar-benar meninggalkan rumah dan mungkin saja tidak kembali tinggal bersamanya. Sewaktu Amel KKN di desa yang memakan waktu sampai lima jam lebih perjalanan, tak pernah sehari pun dia tak menanyakan kabar anaknya itu. Orang-orang selalu bilang kalau Rita terlalu memanjakan anaknya dan tak bisa berpisah darinya, tapi sesungguhnya, Mardani-lah yang paling sakit hatinya saat menyaksikan kepergian putrinya itu.

"Ayah, Amel pergi, ya. Nanti kalau libur, Amel pulang." Amel memeluk ayahnya. Matanya sudah panas dan pandangannya mengabur.

Mardani mengusap punggung putrinya dengan lembut. Dia tersenyum. Ingatannya kembali ke masa-masa di mana Amel tumbuh. Mulai dari pertama kali diantar ke ruangan rawat istrinya setelah dua hari diinkubator, lalu saat pertama kali Amel berjalan kepadanya di usia empat belas bulan, saat Amel terjatuh dan berlari ke arahnya sambil menangis saat TK, juga saat Amel menangis dalam pelukannya karena patah hati sebelum memulai hubungan. Potongan-potongan ingatan itu membuat air matanya jatuh.

"Anak Ayah harus belajar mandiri. Nurut sama suami. Kalau belum bisa masak sendiri, belajar pelan-pelan," ucap Mardani dengan suara yang bergetar.

Rita yang melihat suami dan anaknya itu pun hampir menangis juga. Sementara Zafka, tiba-tiba saja dia merasa bersalah dan kembali berpikir, apakah keputusannya ini tepat atau tidak.

Namun, setelah Mardani mengurai pelukannya, dia menatap menantu satu-satunya itu sambil berkata, "Titip Amel. Ayah percaya sama kamu."

Zafka mengangguk. "Iya, Yah."

Kemudian, sepasang pengantin baru itu masuk ke mobil dan mulai meninggalkan suami-istri paruh baya yang berangkulan itu. Amel memperhatikan kaca spion, melihat kedua orang tuanya yang tak melepas pandangan mereka dari mobil yang ditumpanginya. Air matanya menetes dan dadanya berdenyut. Namun, setelah mereka berbelok, dia mulai mengalihkan pandangan ke depan.

"Minggu depan kita kunjungi mereka." Zafka berujar tanpa menoleh sekejap pun ke arah istrinya.

"Minggu ini?" tanya Amel yang sudah menatap Zafka dari samping. Posisi duduknya pun sudah miring, seakan-akan tidak puas jika hanya kepalanya saja yang menoleh.

"Ke rumah Mama. Hari Minggu besok Zinia pergi ke Padang, jadi hari Jumat sore kita ke rumah Mama."

"Kalau Zinia cowok, pasti dia yang jadi suami saya. Iya, kan, Pak?"

Kali ini Zafka menoleh. Wajah Amel sudah tidak lagi sendu, malah hampir seperti anak kecil yang tengil. Padahal belum ada dua menit istrinya itu terlihat menangis di bangku penumpang, tapi sekarang sudah hampir seperti tidak terjadi apa-apa. Entah kejutan apa lagi yang akan ditemui Zafka dalam biduk rumah tangganya nanti.

"Zinia itu sebelas-dua belas sama Bapak, tapi dia lebih asyik."

Zafka tidak merespon. Dia hanya melirik Amel yang mulai memperhatikan jalan kembali.

Jodoh Jalur Nazar Where stories live. Discover now