Bab 3 : Kamu Mau Menikah dengan Saya?

372 22 0
                                    

Kuliah tidak seperti yang ada di cerita FTV. Itu valid, no debat. Menurut seorang Amel Cindy, FTV cuma memancing motivasi semangat anak bangsa untuk berkuliah tanpa memberi gambaran betapa sulitnya bertahan di saat fase jenuh menimpa.

Bukan, dia bukan ingin menakut-nakuti, tapi baginya, kuliah itu tidak melulu soal belajar yang rajin, aktif di kelas, dan membangun hubungan yang baik dengan banyak orang. No! Menurutnya, kuliah tetap saja butuh nilai bagus agar bisa menyelesaikan studi tepat waktu.

"Gilak! Kalo aja gue enggak dapat B minus di matkul Pak Zafka, pasti gue bisa kelarin skripsi semester ini. Argh! Nyebelin!"

Amel merengek di depan dua sahabatnya, Mike dan Ben. Dia membenamkan wajahnya, dengan dua tangan yang menjadi alas layaknya bantal, pada meja kayu yang melingkari pohon ketapang, di salah satu sudut kampus, tepatnya di samping gedung Fakultas Pendidikan.

"Nggak usah sedih-sedih amat napa, Ndul. Gue yang kudu ngulang empat matkul aja santai. Lagian, masuk kuliah itu enggak gampang! Ngapain keluar cepet-cepet. Iya, nggak?" Ben menimpali.

"Sesat!" Mike melempar pena di tangannya tepat ke arah wajah Ben yang langsung dibalas melempar ulang pena tak berdosa tersebut. Mereka pun beradu argumen lewat sorot mata dan bibir yang komat-kamit.

Dua sahabat itu duduk di antara Amel yang masih merutuki dosennya yang sangat pelit nilai.  Padahal hampir separuh mahasiswa di kelasnya mendapat nilai B minus dan C dari dosen pelit nilai, Zafka, tapi herannya, hanya dia sendiri yang menyumpahi dosen muda itu. Mahasiswi lain malah bersyukur karena bisa bertemu dengan sang dosen idola untuk mengulang mata kuliah.

"Aaa resek banget! Gue mau cepet kelar kuliah. Gue mau ngerasain kerja!" Amel mengomel tanpa mengangkat wajahnya. Menyebabkan ucapannya terdengar seperti sekawanan tawon.

"Kan, baru aja kelar PKL, lumayanlah." Ben menimpali. "Simulasi walau tanpa menerima gaji. Pesangon apalagi." Dia tertawa setelahnya sambil memukul meja kayu sehingga menimbulkan getaran.

Amel mengangkat wajahnya dan menatap sinis ke arah Ben. Ini hari pertama mereka bertemu di kampus setelah masa PKL usai, tapi Ben tidak pernah berubah sedikit pun. Ucapannya ... selalu benar. Menyebalkan.

"Oh iya, gimana kencan lo kemarin itu? Jadi nggak lo nembak duluan?" tanya Ben. Tangannya mencomot bakso goreng di meja tanpa permisi dan langsung dicegah Mike sebelum salah satu pentolnya masuk ke mulut. "Pelit amat lo!" sarkasnya.

Mike tidak membalas. Dia hanya menatap Ben sebentar dan memakan bakso yang baru dirampas Ben sambil menggulir layar ponselnya.

Sementara itu, tidak ada tanda-tanda jawaban dari Amel. Dia mematung seketika kala melihat Zafka yang baru saja memarkirkan motor gedenya tak jauh dari tempat mereka mengobrol. Dia lupa kalau dua hari lalu lelaki itu bertamu ke rumahnya dan bunda mengatakan kalau dia adalah jodohnya.

Tepat ketika Zafka melepas helm kemudian membuka resleting jaket hitamnya, Amel segera jongkok di bawah meja. Dia tidak ingin berpapasan dengan Zafka yang pasti akan melewatinya jika hendak ke ruang jurusan yang ada di gedung fakultas.

"Ndul, lo ..." Ben celingukan ketika tidak mendapati Amel di sebelahnya, "lah! Ke mana tuh anak?" Dia menatap Mike yang dibalas dengan gerakan dagu, ke arah tempat Amel duduk sebelumnya.

"Enggak ada. Masa dia punya kekuatan menghilang dalam sekejap dan cuma gue yang enggak bisa lihat? Lo jangan ngaco deh. Awas, ya, kalau lo---"

"Pak," sapa Mike sambil berdiri saat Zafka melewati mereka.

Zafka mengangguk kecil, nyaris seperti tidak mengangguk, tanpa menatap mahasiswinya itu. Dia berjalan agak cepat sambil menenteng helm.

"Itu dosen pelit nilai yang dibilang Amel, 'kan?" bisik Ben sambil terus melirik Zafka yang melewati beberapa mahasiswi dan melakukan hal yang sama seperti beberapa detik sebelumnya: mengangguk kecil, tapi tampak seperti nyaris tidak mengangguk.

Jodoh Jalur Nazar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang