Bab 19 : Ben dan Mike

241 16 8
                                    

Ben sudah berpakaian rapi: mengenakan jaket hitam, topi, dan sepatu kets putih. Walau tidak selalu keluar saat malam Minggu, sesekali dia dan Mike menginap di rumah Amel kemudian mengobrol sambil menonton film. Namun, kali ini dia tidak keluar untuk bermanja pada bunda atau ayah Amel, melainkan akibat kekhawatiran yang terus merayapi hatinya sejak sore.

Bukan tanpa alasan dia khawatir kepada salah satu sahabat dekatnya, Mike, kalau bukan karena pengalaman buruk yang menimpa gadis alarmnya itu yang beberapa bulan lalu membuatnya marah bukan kepalang. Amel yang tiba-tiba menghubunginya sambil menangis pada pagi hari dan mengatakan berita buruk. Bukan hanya sakit, tapi hal buruk itu juga meninggalkan jejak trauma untuk mereka bertiga.

Masih jelas di ingatan Ben dan Amel, kondisi toko roti tempat Mike bekerja sangat berantakan pagi itu. Sementara Mike yang seorang diri di sana, duduk memeluk tubuhnya di pojokan sambil menangis. Rambutnya acak-acakan dan kancing kemejanya terlepas semua. Sudut bibirnya berdarah sementara lengannya terkilir karena berusaha melawan. Tatapannya kosong saat Amel memeluknya.

Libur semester yang dihabiskan Mike untuk bekerja ternyata membawanya pada suatu musibah yang paling hina. Pelecehan itu terjadi saat toko belum buka, begitupun beberapa toko yang jaraknya cukup jauh sementara kanan-kiri toko roti kosong. Pelakunya adalah anak pemilik toko yang juga bekerja di sana. Pagi itu, Mike datang lebih awal dari satu rekannya yang lain karena diminta untuk membantu memanggang roti. Namun, hal buruk itu terjadi bahkan memburunya hingga menerobos masuk dalam tidurnya.

"Kalkulus Tiga, gue ke tempat lu, ya, sekarang." Ben mengirim pesan kepada Mike. Kalkulus Tiga adalah panggilan sayangnya untuk Mike lantaran sulit dimengerti, tapi di sisi lain dia membutuhkannya.

Ben menunggu balasan sambil memegang helmnya. Dia duduk di teras indekos dengan sebelah kaki yang bergerak tak mau diam.

"Enggak usah." Pesan balasan yang ditunggu pun masuk. Walau isinya sudah ketebak, tapi Ben tetap tersenyum membacanya.

"Pulang jam berapa emang?"

"Sebelas."

"Malam amat."

"Malam Minggu."

"Iya, iya, gue tau sekarang malam Minggu. Maksudnya itu kenapa malam banget lu pulangnya?"

"Karena malam Minggu."

"Ooo gitu. He-he-he."

Balasan chat itu pun terhenti. Bahkan tidak ada tanda-tanda dari Amel untuk menimbrung obrolan mereka. Ben berpikiran, mungkin sahabatnya itu lagi kencan dengan suaminya. Sementara Mike di tempat kerja, menarik napas panjang dan kembali melanjutkan pekerjaannya: meng-input data penjualan hari ini. Walau ukuran konter tempatnya bekerja bukanlah skala besar, tapi pemasukan dalam sehari bisa hampir satu juta rupiah. Dan karenanya, peng-inputan harus dilakukan setiap hari agar tidak ada yang terlewat.

Ben yang sudah tidak menggerak-gerakkan sebelah kakinya itu pun menatap ruang obrolan yang belum ditutupnya. Dia masih menunggu kemungkinan lain sambil menimbang-nimbang apakah mendatangi tempat kerja Mike atau tidak. Hanya saja, mengingat sifat Mike yang cukup keras, dia khawatir sahabatnya itu tersinggung atau marah. Alhasil, dia membuka sepatunya dan masuk ke kamar.

Di tempat lain, Amel dan Zafka sedang berada di bioskop. Mereka menonton film komedi yang sedang tayang. Tidak berduaan saja, melainkan ditemani Zinia juga. Awalnya mereka berencana jalan-jalan di mal sambil berbelanja dan makan malam, tapi ujung-ujungnya Amel menyeret dua kakak beradik itu untuk menonton bersama.

Amel duduk di antara Zafka dan Zinia. Mereka tidak membeli jagung kribo yang dijajakan di sebelah tempat pembelian tiket. Menurut Amel, harganya terlalu mahal, padahal bundanya bisa membuat sendiri di rumah dengan rasa yang lebih enak.

Jodoh Jalur Nazar Kde žijí příběhy. Začni objevovat