🌿PART 53🌿

203 32 2
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.






Melinda, ibunda Eleena itu langsung memanggil dokter kita mendapati jari tangan Aksa bergerak. Dokter dan seorang perawat memasuki ruang rawat Aksa dan langsung memeriksanya tidak lama kemudian kedua mata itu perlahan terbuka. Kedua mata itu bergerak kesana kemarin seoalah tengah mencari seseorang.

Dokter dan perawat itu sempat bingung kenapa tiba-tiba mata indah itu mengeluarkan air mata. Melinda yang melihat itu sungguh tersayat hatinya. Setelah dokter mengatakan bahwa kondisi Aksa baik-baik saja wanita itu bernafas lega dan sangat bersyukur. Setelah kepergian dokter dan perawat tadi, Melinda kembali mendekati Aksa.

"Halo Aksa. Kamu butuh sesuatu bilang sama tente"

Mulut yang tadinya tertutup rapat perlahan mulai terbuka. Menyebut satu nama yang membuat Melinda diam membisu, "Aska.."

"Kamu cari Aska?" Sebuah anggukan kecil dari Aksa membuatnya semakin kalut. "Kamu tidak mencari El, orang tua kamu, atau Shaka?"

"Aska, aku mau ketemu Aska tan"

Dengan bibir bergetar dan mata yang memerah wanita itu hanya memberikan sebuah anggukan. Ia pikir Aksa akan menayakan putrinya atau yang lain tapi nama Aska adalah yang pertama anak itu ucapkan. Bagaimana cara dia memberi tahu Aksa, ini bukan haknya. Namun tetap saja Melinda tidak tahu akan bagaimana nanti Kanaya atau yang lain memberi tahu hal ini pada Aksa.

"Ada yang sakit?"

"Dada aku sedikit nyeri."

"Kata dokter nggak apa-apa nanti nyerinya bakal berangsur hilang. Lebih baik kamu kembali istirahat sebentar lagi keluarga kamu bakal ke sini"

"Memangnya mereka kemana? Kenapa tente ada di sini?"

Mereka tengah mengantar saudara mu ke tempat keabadian. Astaga Aksa, tante tidak tahu akan sehancur apa kamu nanti. Batin Melinda menangis

"Mereka tengah ada urusan di luar. Nanti juga bakal ke sini" Melinda mengusap surai Aksa dengan penuh kelembutan. Meski bibir itu tampak tertarik ke samping namun tidak dengan matanya.

Aksa yang percaya hanya mengangguk tapi tidak menuruti perintah Melinda. Bukan tidak ingin hanya saja kedua matanya tidak mau terpejam. Dalam hati dan pikiran Aksa ingin segera keluarganya datang.

Dirinya sempat bertanya pada Melinda kenapa wanit itu menitikan air mata. Nggak apa-apa adalah jawaban yang selalu Aksa dapat.

"Tante,"

"Iya Aksa. Kamu perlu sesuatu?"

"Aku boleh minta tolong nggak? Tolong telponin Aska dari tadi aku kepikiran terus sama Aska. Nggak tahu kenapa"

"Telpon Aska?" Aksa mengangguk. Bagaimana mungkin Melinda mengabulkan keinginan itu, dia tidak bisa berbohong jika ponselnya law battry atau apa sebab baru saja ia berbalas pesan dengan sang suami.

Dengan rasa ragu ia mendial nomer Aska. Dan ketika sudah tersambung hanya terdengar suara operator. Tidak mungkin sambungan telpon itu akan di angkat pemiliknya.

Di sisi lain. Seorang gadis tengah mengurung diri di dalam kamar tanpa ada celah untuk cahaya masuk, baju hitam dengan noda tanah masih melekat di tubuhnya. Kedua netra matanya terpaku pada Vidio yang tengah ia putar melalui layar laptopnya.

"Selamat ulang tahun untuk sahabat gue, Eleena Naraya. Gue nggak tahu apa lo bakal nemuin vidio ini atau enggak tapi kalau lo nemuin gue cuma mau ngomong"

"I am sorry." Aska tersenyum kecil menatap pada arah kamera. Kedua tangannya saling meremat, gugup. "Maaf karena gue nggak kasih apa-apa saat lo ulang tahun. Maaf untuk perasaan yang nggak bisa gue balas."

"El, bukan tanpa sengaja gue bersikap acuh ke elo. Gue cuma mau negasin jarak antara kita, gue nggak mau lo terus berharap pada seseorang yang nggak bisa balas perasaan lo. Gue ingin lo lupain perasaan itu El. Gue nggak mau nyakitin lo"

Aska menghela nafas begitu berat, "gue kecewa kalau lo nerima Aksa karena gue. Gue cuma minta untuk lo belajar mencintai Aksa. Gue titip dia ke elo, elo yang bakal nemenin dia sampai nafas terakhirnya dan gue percaya itu"

"El gue egois ya? Jahat? Terserah lo mau menganggap apa. Tapi gue cuma mau kasih tahu. Cinta Aksa ke elo itu besar, dia tulus. Di selalu bahagia tiap ada di dekat lo. Gue cuma minta jangan sakitin Aksa ya. Soal kita biarkan semua mengalir seperti alurnya."

Eleena memeluk kembali dirinya di atas kasur. Isak tangis itu mulai terdengar. Semua merasa kehilangan begitu pula dirinya, bagaimana pun rasa itu masih ada. Kepergian Aksa bagai mimpi yang tidak pernah ingin ia ulang.

Tiba-tiba ingatanya tertarik dimana masa-masa Aska masih hidup. Semua memori indah yang pernah tercipta hingga hari dimana ia melihat Aska dalam keadaan tak bernyawa. Melihat untuk Aska untuk terakhir kalinya.

"Hiks...hiks.." Eleena membekap mulutunya dengan kedua tangan agar suara isak tangisnya tak terdengar "gue harap gue cepat bangun dari mimpi buruk gue" lirih Eleena sebelum kedua mata itu terpejam.

Malam hari sekitar pukul sembilan Shaka di temanin Dayana pergi ke rumah sakit. Meski dalam keadaan berduka tapi Shaka tidak mungkin melupakan jika dirinya masih memiliki seorang adik. Setelah di beri kabar oleh Melinda sore tadi Shaka memang tidak langsung ke rumah sakit. Dia tidak siap, melihat wajah Aksa sama seperti ia melihat Aska meski keduanya tidak sama.

Belum ada jawaban yang Shaka siapakan jika nantinya adiknya itu menayakan saudaranya. Betul kan, baru mereka masuk Aksa sudah membrondongnya dengan pertanyaan dan salah satunya adalah "Bang, Aska dimana kok nggak ikut ke sini?"

"Gimana keadaan kamu? Masih ada yang sakit?"

"Bang kok malah jadi balik tanya. Gue tanya dimana yang lainya, Aska juga dimana?" Tanya Aksa menuntut. Melinda dan Dayana melihat pada Shaka yang terdiam sembari menatap adiknya, Dayana yang tahu jika Shaka tidak akan menjawabnnya akhirnya ia yang buka suara. "Aksa, mereka lagi di rumah. Ayah sama Bunda harus istirahat begitu juga Aska. Jadi malam ini kita yang nemenin kamu ya"

"Ya mereka tengah istirahat" sambung Shaka dengan nada pelan.

Melinda pamit untuk pulang dia juga harus mengecek keadaan putrinya. Hal ini tidak mudah untuk di lalui namun seiring berjalannya waktu mungkin luka itu akan mengering.

"Terus kenapa telpon ku nggak di angkat sama Aska?"

"Hpnya rusak." Dayana lagi harus menjawab. Shaka berjalan mendekati Aksa "kamu istirahat saja biar cepat sembuh. Katanya nggak betah di rumah sakit. Abang di sini" seperti sebuah mantra Aksa langsung menuruti ucapan itu dan mudah sekali untuk sampai pada alam mimpi.

"Maafin abang.."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Dendelion🍀Where stories live. Discover now