Bab 1 : Mimpi Bukan, sih?

1.2K 27 0
                                    

Pada suatu sore di sebuah kamar bernuansa lembut, dominan warna putih, biru, dan merah muda, seorang gadis tampak sibuk dengan baju yang sudah dipilih dan dicobanya entah berapa kali. Setelah menemukan baju yang dirasa cocok, giliran memilih kerudung yang menjadi PR untuknya. Belum lagi memilih celana, sepatu, tas, dan warna lipstik yang menurut ayahnya sama saja, padahal enam lipstik di meja rias itu memiliki nomor yang berbeda.

Gadis mungil itu bernama Amel Cindy. Gadis keturunan Jawa dan Batak yang baru saja menyelesaikan masa PKL* itu berlarian ke sana kemari seperti orang yang sedang mengikuti ajang memasak di TV. Mulai dari lemari baju ke cermin tegak, lalu ke laci khusus kerudung dan kembali lagi ke cermin, kemudian ke lemari lagi, cermin, laci, gantungan tas, ranjang, meja rias, dan begitu terus sampai lalat pun malas terbang, memilih menyaksikan Amel yang seperti cacing kepanasan.

Bahkan, tidak satu atau dua kali dia menginjak pakaiannya yang merosot ke lantai. Dan beberapa menit yang lalu, dia habis memarahi tas yang hampir membuatnya terjungkal karena menghalangi langkahnya. "Kenapa di situ, sih?" Begitu katanya.

"Mel, udah siap?"

"Belum, Bund! Bentar lagi!"

Amel yang kesusahan menarik resleting di punggungnya pun gegas berlari menuju pintu dengan kedua tangan yang berusaha menarik ujung resleting sambil berteriak, "Bundaaa!"

Dalam beberapa detik, pintu terbuka dan hampir saja anak-ibu itu bertabrakan. "Astaga, Ameeel! Kamu itu kalau teriak enggak bisa pelan apa? Ini lagi, kenapa kayak orang patah pinggang gitu? Itu muka juga---"

"Tolong pasangin." Amel memutar tubuhnya dengan cepat dan memunggungi sang bunda. Dia menggerak-gerakkan kaki seperti orang yang sedang berlari kecil di tempat sambil berkata, "Buruan, Buuund."

"Ngancing ini aja kamu enggak bisa. Gimana kalau disuruh kupas bawang, goreng telor, masak nasi, cuci baju, lipat baaa ..." ucapan Rita, sang bunda, tertahan setelah tidak sengaja melihat area yang dilalui Amel sejak dua jam lalu di kamarnya,  "... Apa-apaan ini, Ameeel!"

Suara teriakan Rita membuat Mardani, ayah Amel, yang sedang memasukkan benang ke jarum di ruang keluarga sontak terperanjat. Sebagian kecil benang yang basah ujungnya itu sudah masuk ke lubang jarum setelah sepuluh menit dia berusaha, tapi keluar lagi dalam waktu sepersekian detik saja. Hal itu membuat pria usia 58 tahun yang melirik ke arah tangga tidak jauh darinya itu pun menghela napas panjang.

"Udaaah, Bunda tunggu di bawah aja. Amel masih siap-siap." Amel mendorong Rita ke luar kamar dan segera menutup pintu. Setelahnya, dia berlari ke meja rias sambil meraih kerudung pasmina di ranjang. Namun, baru saja dia hendak mengikat rambutnya, denting notifikasi ponsel membuatnya mengalihkan fokus.

"Kak Bayu!"

Amel gegas mencari ponselnya yang tertimbun pakaiannya sendiri. Dia membuang asal tiap helai kain yang menumpuk di ranjang. "Minggir napa, sih! Iiih!" ucapnya dengan wajah kesal dan memanggil-manggil ponselnya, "Mi ... Omi .... Nyaut napa, sih, kalo dipanggil, tuh!"

Setelah permukaan ranjangnya kosong tanpa tumpukan pakaian dan kerudung, tak sekalipun Amel menemukan ponselnya. Dia semakin sebal karena jarum jam dinding terus menerus bergerak menuju angka empat. Namun, belum sempat dia menghempaskan tubuh ke ranjang dan menyerah, dering alarm membuat telinganya awas. Beberapa detik kemudian, dia menepuk jidatnya. "Omi, kan, lagi di-charg. Kok, bisa lupa, sih?"

Setelah segala kekacauan yang semakin kacau, nyatanya tidak ada pesan dari orang yang ditunggu-tunggu Amel. Dia berinisiatif mengirim pesan, menanyakan apakah lelaki itu sudah di jalan atau belum. Namun, setelah menunggu sampai bosan dan tak kunjung mendapat balasan, lantas membuat semangatnya menurun dan memilih untuk memindahkan pakaiannya yang berserak di lantai ke ranjang.

Jodoh Jalur Nazar Onde histórias criam vida. Descubra agora