Bab 34. Permintaan Maaf Nisa.

625 24 1
                                    

Setelah selesai kuliah. Aku dan Nira berpisah diperempatan depan kampus. Nira kembali ketempatnya dan aku memutuskan untuk menjenguk Dimas. Sebetulnya itu bukan alasan mutlakku. Ada alasan lain yang membuatku kesana dan setelah sadar jika Dimas juga sementara di rawat di RS itu makanya aku memutuskan untuk menyempatkan diri menemui Dimas. Bagaimanapun juga Dimas terluka karenaku.

Aku bergerak mendekati salah satu ruangan yang diarahkan resepsionis. Katanya Dimas berada pada kamar nomor 113. Aku tiba disana. Berdiri tepat di depan pintu kamar yang bertuliskan nomor yang aku cari. Lalu dengan samar aku mendengar suara cekcok yang berasal dari dalam ruangan. Dengan demikian, Aku menjadi tidak enak hati. Takut jika kehadiranku mengganggu mereka, tapi aku tetap memberanikan dari mengetuk pintu. Aku hanya menjenguk Dimas. Toh aku tidak berniat buruk terhadapnya. Ya, niatku baik.

Dan detik berikutnya aku membuka pintu. Dari balik pintu, aku berdiri cukup lama dan aku menemukan sosok Dara dengan seorang bayi yang berada dalam gendongan yang mana duduk tidak jauh dari posisi terbaring Dimas. Bisa kuduga itu Dara dan bayi Dida.

Aku tersenyum kecil kearah Dara. Sedang Dara menampilkan sebaliknya. Dara tersenyum hambar, dengan jelas dia menolak keberadaanku. Aku tahu dia marah padaku, terutama aku yang tak perna hilang dari ingatan suaminya.

"Maaf aku mengganggu" Aku berkata bersalah dan itu terdengar cukup kuat. Dengan demikan buru-buru Dimas membalikan badan. Dari posisi membelakangi pintu serta merata Dara kini menghadap kedua arah tersebut. Dimas menatap tak percaya, bersamaan dengan tubuhnya yang bertolak kearah penahan ranjang. Ia bersandar dengan sempurna disana lalu tak lama kemudian memancarkan senyuman senang kearahku.

"Kamu datang, Yang?" Masih belum memudar rasa tak percaya Dimas akan kehadiranku. Beberapa kali ia mengedipkan mata dan aku merespon dengan anggukan sambari berjalan mendekati mereka.

Aku melempar pandangan kearah bayi Dida. Dia sedang bermain dalam gendongan Dara. Dia lucu dan menggemaskan. Dia sama cantiknya seperti Dara. Dia mendapat setengah bagian gen dari Dimas dan setengah lainnya dari Dara. Penyatuan gen yang sempurna hingga menghadirkan Dida dengan kesempurnaan.

Baru kali ini aku melihat bayi Dida secara langsung. Mengingat bagaimana Dimas yang tidak mengakui Dida sebagai putrinya membuatku menganggap bahwa Dimas telah melakukan kesalahan besar. Dida sangat mirip dengannya, mata, hidung serta dagu, itu milik Dimas yang di turunkan pada Dida.

Aku hanya sering mendengar namanya tanpa melihat langsung bayi Dida. Dan hari ini aku melihatnya. Dadaku menghangat. Bayi Dida membuatku merasakan keanehan dalam diriku.

"Hai, Dar" Sapaku pada Dara.

Dara banyak berubah. Dia bukan seperti Dara yang aku kenal. Kini tubuhnya tampak kurang terurus, badannya sedikit kurus dan tidak ada lagi polesan make up yang mempercantik wajah ovalnya. Mungkin karena mengurus Dida makanya Dara jarang mengurus diri. Bukan hanya itu, aku rasa salah satu kumungkinan lainnya adalah Dara memiliki tekanan batin apalagi Dimas yang tidak mengakui keberadaannya dan Dida.

Dara tidak menjawab. Ia hanya memberikan senyuman kecut sebagai respon.

Lagi-lagi mataku jatuh pada bayi Dida. Aku harap aku bisa menggendongnya. Tapi aku rasa aku tidak bisa. Dara mungkin tidak mengizinkan hal itu.

"Maaf karena tidak sempat membelikan sesuatu untuk dibawa. Aku tadi memiliki urusan disini dan baru teringat kalau Dimas juga di rawat disini makanya aku tidak membawa apa-apa" Terangku. Dan ini murni bukan sekedar alasan. Inilah kenyataannya.

Lagi-lagi Dida mencuri atensi. Mataku terus meliriknya gemas. Aku mau menggendongnya.

"Apa aku bisa menggendongnya?" Aku benar-benar berharap Dara mau berbaik hati memberikan putrinya untuk ku gendong. Aku yakin dia gadis yang baik. Aku sudah tidak dapat menahan pergejolakan yang ingin menggendong bayi Dida.

Cinta Tanpa Batas [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang