Bab 2 Kemarahan.

1.3K 81 0
                                    

Rian menyetir dengan konsentrasi penuh. Dia begitu fokus. Dan gilanya genggaman tangan pada kemudi begitu kuat seolah mau meremes seseorang, jelas itu aku. Tak terbayang jika aku menjadi kemudi itu. Runyam sudah tulang belulangku.

Aku tetap diam, tidak menunjukan tanda-tanda kehidupan. Semacam bergerak atau mulai berkata-kata. Takutnya, kalau itu terjadi, maka dia akan menyemprotku dengan semua kemarahannya.

Ohh please...Aku takut.

Suamiku beberapa saat melirik kearahku yang baru saja menundukan kepala karena takut. Setelahnya dia kembali menatap lurus. Rian menarik napas panjang lalu menghempasnya kasar. Parahnya dia mengertakan gigi kuat-kuat. Hal itu cukup membuatku ketar-ketir. Seandainya aku mempunyai nyawa cadangan. Sudah pasti aku memilih lompat keluar dari mobil biar menghindari lelaki pemarah yang bukan lain adalah suamiku sendiri. Sayangnya, itu hanya imajinasi liarku saja. Nyatanya, nyawaku satu dan aku sama sekali tidak bernyali besar.

"Bolehkan kita menepi sebentar?" Entah kekuatan dari mana yang merasukiku, aku berani mengutarakan beberapa kata ini.

Jujur aku ragu bercampur takut. Belum apa-apa dadaku terasa sesak. Salah-salah aku akan mati tanpa repot-repot dibunuh akibat kemarahan Rian. Ya, Rian sangat amat menakutkan kalau lagi pasang tampang marah.

Dia menepi tanpa perotes. Dan kami pada kompak tidak bersuara.

Beberapa saat berlalu Rian akhirnya membuka suara.

"Dengar...," Suamiku masih marah. Baru saja dia ingin mengatakan beberapa kata langsung kembali diam bersamaan dengan tangan yang memukul kuat kemudi mobil.

"Sial..." Umpatnya lantang.

Aku bergidik dalam diam.

Mati aku.

Rian berpaling kearahku. Matanya memerah karena menahan serangkaian amarah yang mungkin tidak bisa diutarakan. Sementara aku diam mematung "Aku tahu kamu memang belum sepenuhnya dewasa, tapi setidaknya jangan bertindak menyebalkan seperti tadi. Apa tidak ada cara lain? Aku heran, bagaimana mungkin kamu tergila-gila padaku pada hal pernikahan kita tanpa cinta didalamnya. Lebih parahnya kamu bersikap seakan-akan kamu adalah orang yang paling mencintaiku." Dia memberitahu dengan kelembutan maksimal.

"Sudah kuliah artinya sudah dewasa. Aku bahkan sangat paham tentang materi reproduksi pada manusia dari SD sampai kuliah, bagaimana meleburkan sel kelamin jantan pada sel kelamin betina, lalu bagaimana proses pertumbuhan dan perkembangan janin sampai baby. Aku tahu semuanya kok. Salah ya kalau aku marah-marah saat tidak sengaja memergoki suamiku selingkuh didepan mata? Tidak bukan? Andai khasus ini kita bawa ke jalur hukum aku jamin kalian yang bakal kena sangsinya. Dan itu karena kamu belum mencintaiku."

Rian mengangguk, lama-kelaman menggeleng sambil tersenyum.

Dia aneh.

"Pada dasarnya semua bocah susah diajak bicara." Kelembutannya mulai menipis. Kini dia tersulut amarah.

Aku mendelik tak suka. Sekalipun takut mulutku tak perna takut.

"Aku bukan bocah. Jangan sok dewasa ya kalau baru umur 25 tahun. Kita mah beda-beda tipis." Aku memberitahu. Meski begitu, aku memasang antisipasi kalau-kalau Rian kembali marah-marah. Bahkan jauh lebih dari yang aku bayangkan.

"Udah manja, banyak bacot, nyebelin lagi...Oh Tuhan. Mimpi buruk apa aku harus nikah sama bocah?" Kesalnya.

Aku menatap tajam.

"Gini-gini aku istrimu loh, mau manja, banyak bacot, nyebelin tapi tetap aku istri kamu." Aku mendadak jadi sewot.

"Sial...." Dia kembali mengumpat kesal, lalu membanting tubuh kebelakang kursi. Rian tampak mengurut pelipisnya dengan telaten. Sudah begini, jalan satu-satunya adalah aku diam kalau tidak ingin memasang kemarahan Rian si raja marah-marah.

Cinta Tanpa Batas.Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ