Bab 15. Sifat Misterius Rian

664 37 1
                                    

Dari awal aku memang tidak berencana menanam sperma kedalam rahimnya. Aku sudah tahu alasan dibalik keinginan Nisa yang cepat-cepat pengin hamil. Makanya hal itu membuatku lebih memilih menghamburkan stok sperma ketimbang menabung, yang ujung-ujungnya hanya akan mendatangkan sakit.

Raut wajah Nisa dengan jelas menggambarkan beribu pertanyaan, dan lebih jelasnya lagi aku akan mendapat semprotan kemarahan akibat ulahku sendiri yang memuntahkan lahar pembangkit kehidupan baru diluar tempatnya. Mengingat Nisa memang sedang mengharapkan seorang anak. Anak yang kemungkinan lahir dengan sebuah alasan menyedihkan, bahwa ibunya ingin menggunakannya sebagai kunci agar lari dariku dan ikatan pernikahan yang memang tidak perna diharapkan.

Kening Nisa berkerut, mata yang mengecil menatapku jauh lebih dalam. Nisa masih kelihatan lemas akibat pekerjaan yang seakan dikejar 'deadline'. Napasnya ngos-ngosan, tapi hebatnya suara istri imutku tidak seperti tubuhnya yang serba lemas dan lelah.

"Astaga....Bangsat nih orang. Kalau tahu pada akhirnya begini. Lebih baik aku cari lelaki lain yang mau donorin spermanya kerahimku daripada dikasih sama lelaki yang nggak bisa diharapin. Sudah dikasih enak tapi masih aja tidak bisa memenuhi permintaan." Gerutunya, memutar bola mata sebal. Wajah Nisa menyiratkan sebuah penyesalan disana. Sikapnya yang begitu dan tutur katanya yang ceplas-ceplos membuatku tidak bisa mengajak kompromi gelagar tawa. Wanita ini entah dikasih makan apa sama orang tuanya sampai otaknya rada-rada eror.

Nisa makin sebal, bibir yang dimanyunkan lagi-lagi membuatku tertawa polos. Karena tidak mengontrol rasa gemasku. Aku mencibut pelan hidungnya. Dan dibalas pelototan tajam Nisa yang memang dari awal benci padaku dan segalah kelakuanku.

"Memangnya kamu berani minta seprma lelaki lain? Sama Dimas saja kamu nggak berani? Ini buktinya kamu masih perawan. Jadi bangga deh punya istri kayak kamu, Sa." Nisa makin sebal sendiri. Gadis yang baru kehilangan perawan yang lebih tepat disebut wanita itu membalikan tubuh dengan posisi memunggungiku. Entah apa yang dikomat-kamitkan Nisa, namun yang pasti dia sedang memakiku. Sudah kutebak.

Aku menundukan kepala bersama sebuah tawa kecil. Nisa memang sesuatu. Dia selalu sukses membuatku candu dengan kelakuannya.

Aku mengusap rambut yang agak berantakan dengan sapuan lembut. Sang empunya hanya menggelinjang menjauh dari sentuhanku. Aku tahu Nisa sedang marah padaku.

Sebelum akhirnya dia bicara, Nisa menarik napas panjang yang membuat punggungnya sedikit terangkat.

"Ya aku beranilah. Sama kamu aja aku berani kasih apalagi yang lain? Memangnya cuma kamu lelaki dibumi ini?"

"Kalau untuk aku, itu kewajiban kamu sebagai seorang istri. Kalau berani dikasih ke yang lain itu artinyan kamu melakukan perzinahan. Memang banyak lelaki diluar sana yang akan sukarela kasih kamu anak. Tapi ingat dosa akhirat besar loh sayang. Jangan berani-berani menyimpan benih lain dirahim kamu selain aku suamimu."

"Argh...Suami macam apa yang istrinya minta anak malah benihnya dibuang-buang?"

"Memangnya kamu mau punya anak sama aku? Bukan-nya kamu punya tunangan? Sebetulnya apa rencana kamu?" Ujarku tanpa filter. Memang aku sengaja menanyakan hal itu. Meski sejujurnya aku lebih dahulu mengetahui rencana dibalik Nisa yang pengin cepat-cepat hamil.

Tidak terdengar suara Nisa untuk beberapa saat. Tentu dia sementara menyusun kalimat tepat untuk menjawab pertanyaan yang bisa dibilang tepat sasaran.

"Kalau aku tidak mau punya baby sama kamu untuk apa aku repot-repot kasih keperawanan aku sama kamu. Tidak ada kerja aja. Kamu sendirikan yang bilang kalau dosa akhirat itu besar andai melakukan perzinahan? Apa kamu mau aku tidur sama Dimas, begitu? Memangnya tidur sama suami dan minta baby harus ada rencana dulu? Ya sudah mari kita buat rencana." Nisa bergerak mengubah posisi tidur. Dia yang semula memunggungiku kini bertatap wajah. Mata yang memandangiku tanpa beban dan dosa itu menatapku dalam seakan-akan tidak ada sesuatu yang sungguh direncanakan. Dia memang gadis licik. Dan aku tidak mau kalah. Aku balik memandanginya dalam. Aku tidak ingin gadis imutku membawaku jauh kedalam permainannya.

Cinta Tanpa Batas.Where stories live. Discover now