Bab 1 Rencana Awal.

2.4K 126 58
                                    

Namaku Anisa Sintia, panggil saja Nisa. Usiaku dalam bulan ini, 12 april 2022 genap 20 tahun. Saat ini aku sementara kuliah pada semester yang cukup terbilang awal, paling tepat semester 2.

Aku dilahirkan oleh seorang ibu, dengan nama Arnita Amel Sintia, yang kini nama belakangnya digunakan diakhir namaku, adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang siap sedia melayani keluarga apabila dibutuhkan. Kemudian ada Daniel Jacob, ayahku. Ayah yang selalu kuanggap hebat dari segalah segi, jagoan sekaligus kebanggaanku. Semua itu di karenakan Ia adalah lelaki luar biasa yang perna aku jumpai semasa hidup dibumi ini. Aku tidak memiliki suadara lain selain hanya aku. Katakan saja aku anak tunggal.

Ayahku tidak perna mengeluh untuk menafkahi keluarganya. Ia lelaki gigih dan pantang menyerah. Hingga jika berbicara soal pulang kerumah, ayahku jarang pulang. Ia lebih menghabisakan waktu untuk bekerja. Dunianya hanya sebatas dunia kerja. Aku tidak apa, apalagi soal marah. Aku malah bersyukur sebab hidupku terjamin. Ayah memenuhi segalah kebutuhan kelurga. Segalahnya serba berkecukupan dan kami menggunakan jerih payah ayah dengan seadanya. Kerja keras ayah tidak terbuang sia-sia.

Satu hal yang selalu terlintas dalam benakku adalah saat membayangkan ucapan Amanda Temanku, katanya."Ayah tidak perna menyayangiku." Dan aku rasa dia salah besar. Mari berpikir secara logika. Andai Ayah tidak menyayangiku otomatis ia tak akan repot-repot mengadakan semua fasilitas untukku; mulai dari mobil, perhiasan, rumah pribadi, apertement pribadi, motor dan lain sebagainya. Apakah ini tidak bisa disebut bentuk kasih sayang seorang Ayah untuk putrinya? Andai ada yang bilang lagi, "Ayahmu bukan sosok Ayah yang baik." Berarti perkataannya jauh lebih keliru. Aku akan tertawa sejadi-jadinya dan menjawab, "Lalu menurutmu seperti apa sosok ayah yang sempurna untukku? Apa dia yang hobbynya mabuk-mabukan?, KDRT?, maling dan sebagainya?" Rasa-rasanya ayah adalah sosok yang paling komplit untukku. Sayang, seminggu yang lalu segalah kebanggaanku tentang Ayah lenyap. Ia meruntuhkan kepercayaanku padanya. Ayah menghancurkan segalahnya. Ia bukan sosok ayah yang baik. Ia serahkan. Harta dan kehormatan jauh lebih berharga dibanding aku putri satu-satunya, dan aku telah keliruh karena telah mentertawakan teman-temanku yang sering mengatakan hal itu padaku, bahwa Ayah kurang menyayangiku. Dan itu kebenarannya. Andai Ayah menyayangiku tentu ia tak akan memaksaku untuk menikah dengan lelaki pilihanya.

*****

Sepulang dari kantor Rian yang adalah suamiku, membuang tas kerja pada sofa lalu melonggarkan dasi yang sementara mengikat lehernya. Dia kelihatan letih. Tak lama berselang ia mengambil duduk pada sofa yang mana sudah ditempati tas kerja. Rian menghela napas panjang sedang kedua tangan terbentang sebelah menyebelah pada sofa.

"Sudah pulang?" Ku kecup pipinya, lalu dibalas pelototan tajam suamiku.

Aku mengernyit bingung. Apa dia tidak menyukai kecupanku? Tapi ini bentuk kasih sayangku padanya.

Aku tak ambil pusing. Justru aku tersenyum kecil kearahnya yang sementara menggosok hasil kecupanku dari pipinya.

Aku tidak tersinggung apalagi marah. Itu tidak akan terjadi.

Dia jelas kelihatan jijik saat kukecup.

"Jaga sikapmu. Aku tidak suka sama gadis pecicilan seperti kamu." Dia berkata marah.

Aku membalas kata kasarnya lewat senyuman tenang.

"Apa ada yang salah kalau aku pecicilan sama suami sendiri?" Mataku menyempit intens mana kala menuntut penjelasan darinya.

Dia mendengus risih. "Jelas salah. Karena kamu bukan Ranti tunanganku." Tegasnya.

Aku mengangguk mengerti. Sekali lagi, aku tidak ambil pusing ataupun tersinggung atas sikapnya.

"Ya...Yayaya...Aku bukan Ranti tunanganmu, tapi istrimu." Aku memberitahu.

Rian berdecak malas sambil memutar bola mata.

Cinta Tanpa Batas [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang