Bab 10. Kekacauan

573 40 1
                                    

"Kamu sengaja ya biar bisa nyium aku? Nggak mungkin aku mau ngeracuni kamu. Apa untungnya buat aku? Malah yang ada menambah beban saja" Dia berceloteh dan kembali meminum air.

Aku tersenyum sinis sambil memalingkan wajah. Rian terlalu berbangga diri. Siapa juga yang mau nyium-nyium dia? Apalagi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Rian membawa masuk seorang perempuan kerumah. Bisa jadi mereka dari malam sampai pagi buta bertukar air liur, atau bahkan membuat saham. Siapa yang tahu? Aku malah jijik harus mengisap ataupun menjilat ludah wanita lain yang membekas pada bibirnya. Ihhh....Menjijikan.

Aku tidak menggubris. Sementara menahan emosi yang tiba-tiba membuat tengkukku berasa pada tikam-tikam semua. Benarkan? Sepertinya aku mulai terkenan darah tinggi.

Rian menatapku dengan sejuta kekesalan yang menyerupai ancaman. Ya, Rian memang sering mengancamku lewat tatapan-nya, tapi Rian tidak perna berbuat jauh. Kecuali dimalam kemarin, itu semua ulahnya Ranti.

Sekali lagi dia meyeka bibir.

Rian bukan tipekal seperti lelaki diluar sana. Mengingat pernikahan kami tidak didasarkan cinta. Rian lelaki berbeda. Dia terbilang unik. Rian tidak sekejam yang aku bayangkan, tidak seburuk tafsiranku. Rian tidak terlalu dominan, juga tidak terlalu pengontrol. Rian cukup tenang, santai dalam segalah kondisi. Terkadang dia terlalu acuh dan datar ketika bersamaku. Sebetulnya Rian lelaki hangat, pengertian juga penyayang. Sayangnya, hal tersebut hanya akan ditunjukan pada orang lain, pengecualian aku.

"Jadi kamu membohongiku? Makanan itu tidak ada racunnya?" Ujarku memastikan sambil menunjuk pada rantang makanan. Napasku naik turun. Aku memasang tampang antisipasi.

Rian membalas dengan senyuman sampul, kemudian mengangguk dengan tatapan mengejek.

Aku memejamkan mata. Oh Tuhan... Bisa-bisanya aku dibohongi.

Aku menahan diri. Jangan sampai aku mencabik-cabik wajah tampan tanpa dosa ini. Setelah habis membuat ulah dia terlihat biasa-biasa saja tanpa beban.

Entah dari mana ide ini datang?, yang pasti mataku langsung melirik tajam pada kota kaca minimalis yang didalamnya terdapat miniatur motor-motoran. Tentu saja itu adalah koleksi kesayangan Rian. Hampir setiap hari Rian akan berdiri disana dan menatap benda tidak jelas itu hampir berjam-jam lamanya. Apa jadinya aku hancurkan? Aku yakin segalah rasa sakitku bisa mereda dengan menghancurkan apa yang menjadi kesayangan Rian.

"Jangan macam-macam, Nisa." Seakan tahu kemana arah pikirku, Rian memperingatkan. Bisa kulihat wajah penuh kekhawatirannya.

Rian mengambil sikap waspada.

Aku melihat miring dan langsung mengembangkan senyum.

Terlambat....

Tanpa aba-aba Asbak logam yang tak jauh dari jangkauan, langsung disambar tanganku. Memilin asbak tersebut aku melempar tepat pada kotak miniatur.

Plak....Bukkk.....

"Haaaa...." Satu tarikan napas panjang penuh kepuasan keluar dari mulutku.

Sebuah senyuman smirk langsung terpancar saat Rian menatap tak menyangka pada benda favoritnya yang sudah tak berbentuk, berserakan dimana-mana.

Rian termenung.

Belum ada respon yang ditunjukan selain keterpatungan. Perasaannya tentu saja kacau. Dan itu bisa dijelasakan lewat matanya yang berkaca-kaca.

Sekali lagi aku mengembangkan senyuman.

Kuanggap segalahnya lunas. Adegan semalam ditambah adegan mengenai racun barusan.

Bagaikan dalam drama-drama yang menayangkan sang pemeran utama berhasil membantai habis musuhnya, begitu juga yang saat ini aku rasakan, bangga dan puas.

Cinta Tanpa Batas.Where stories live. Discover now