Bab 19. Rian Kembali Berulah

532 30 0
                                    

Jam makan siang aku di ajak makan bersama salah satu rekan bisnis pada sebuah restorant yang kebetulan tidak jauh dari kantor tempatku bekerja. Sebetulnya ini bukan semacam keharusan bagiku. Namun demi mempererat hubungan kerjasama di antara kami. Akhirnya aku menyetujui permintaan Pak Dion.

Aku masih begitu normal menjadi seorang lelaki makanya aku mengajak Arsen sahabat baikku untuk turut hadir disana. Apalagi didengar dari desas-desus Pak Dion adalah penyukan sesama jenis. Dan hal itu bisa aku benarkan kerena setiap kali berdekatan denganku dia banyak tingkahnya. Aku merinding bukan main saat berdekatan dengan Pak Dion.

Inisiatif ku mengajak Arsen sangatlah tepat karena lelaki itu mulutnya memang tidak tertolong. Arsen mampu memecah keheningan dan membuat lelaki penyuka sesama jenis tersebut mati kutu.

Setelah makan siang usai Pak Dion meminta pamit. Kami melihatnya yang melenggang menujuh mobil sedannya. Dan berakhir hilang dilintas umum.

"Kurang kurjaan aja gue. Ngapain juga gue mau-mau aja nemanin makan siang kalian. Padahal nggak ada guna juga buat gue" Arsen memprotes sebal. Lelaki itu kembali ambil duduk. Tatapan matanya menjelaskan kalau dia kecewa dan marah. Mengingat Arsen rela meninggalkan klien demi menemani makan siangku.

"Tugas lo udah selesai. Lo boleh pergi" ketus ku tak perduli. Arsen memicingkan mata. Menahan napas bersama luapan emosi. Berbicara denganku memang akan menguras emosi. Dan Arsen cukup mengenalku.

"Kok bisa ya gue punya teman semenyebalkan ini? Pasti gue di peletin nih sama lo sampai gue mau-mau aja di suruh-suruh"

"Hha" Aku terkekeh renyah sambil manarik diri mundur, manyadarkan tubuh seutuhnya pada penahan kursi. Arsen memang tidak perna menghilangkan tuduhan itu dari mulutnya.

Aku mengedik bahu acuh. Membuang wajah ke arah sebelah kiri.

Napasku mendadak tercekat. Mata ku langsung aku tajamkan pada sosok tak asing pada barisan kursi di sebelah sana. Gadis cantik yang tengah berbincang santai itu sangat ku kenali.

"Lihat apa? Cewek? Ingat, lo punya bini, punya tunangan yang sekarang beratatus selingkuh. Apa masih kurang?" Nyinyir Arsen.

Melihat tidak ada pergerakan maupun perubahan sikapku terhadap objek yang di amati. Arsen segera melihat pada sumber yang di tuju mataku. Matanya langsung jatuh pada gadis berbaju putih, yang ia tahu adalah Nisa, istriku.

"Itukan bini lo? Ck ada yang cemburu. Nyesalkan lo lihat bini sama cowok lain. Sakit " Arsen memanas-manasi.

Sepertinya ucapan Arsen ada benarnya, aku cemburu. Nisa yang walau duduk bersama teman-temannya mampu memprovokasi amarah. Aku tidak sanggup bila Nisa tersenyum ria gara-gara lelaki lain. Apalagi rata-rata yang duduk bersebelahan dengannya adalah lelaki.

Buku tanganku memutih sewaktu kepalan tanganku semakin mengetat. Awas saja Nisa. Akan ku buat perhitungan karena berhasil menyulutkan amarahku.

"Kalau ceritanya gini mestinya gue dukung si Ni..." Ucapan Arsen menggantung. Tatapan mataku dengan sendirinya membungkam Arsen yang hobbynya nyesakin dada.

Rahang yang tegas, sorot mata yang tajam, yang berpadu menjadi aura geram membuat Arsen otomatis diam.

Aku membiarkan Arsen duduk di sana. Kemudian aku bergerak mendekat ke tempat di mana sumber amarahku di bangun.

"Nisa?" Ujarku dengan nada dingin dan dalam. Tidak ada tatapan persahabatan atau embel-embel semacamnya.

Seperti dalam hitungan ke tiga, mereka langsung beralih pandang padaku. Aku mendekat penuh wibawa. Tekanan langkahku pasti dan tegas. Sorot mataku jatuh sepenuhnya pada Nisa. Objekku jelas, hal ini menjelaskan bahwa hanya Nisa-lah satu-satunya tujuanku.

Senyuman Nisa langsung mengecil lalu perlahan meredup. Semacam ada penolakan di sana atas ke hadiranku. Tentu saja aku kecewa, namun aku tidak perduli. Aku menahan rasa sakit itu sebaik mungkin dalam relung hatiku.

"Boleh duduk?" Tanyaku meminta persetujuan dari pengunjung lain. Tepatnya teman-teman Nisa.

Mereka mengangguk antusias. Bisa kulihat ada tatapan memuja di mata mereka. Sebaliknya Nisa setia menatapku penun penolakan. Tapi tetap aku tidak ambil pusing.

Kulihat Arsen buru-buru ikutan duduk, dan tersenyum ramah pada yang lain.

"Mereka siapa, Sa?"

"Tampan banget. Dia tipeku"

Bisa ku dengar dengan jelas bisikan salah satu teman Nisa yang di tujukan untukku, namun aku berpura-pura menulikan pendengaran.

Ketika pertayaan satu persatu tentangku menghampiri Nisa, barulah gadis itu berinisiatif mengenalkan aku pada teman-temannya. Itupun dengan keterpaksaan. Dan bisa kulihat itu.

"Oiya kenalin. Ini Rian, Pamanku. Dan itu Kak Arsen temannya pamanku." Aku melirik tak percaya kerah Nisa. Mata gadis yang ingin ku tatap memutus kontak dariku. Dahiku berkerut, meminta penjelasan lebih.

Nisa kelebih acuh seakan-akan aku benar Pamannya.

Aku geram. Buku-buku tanganku kembali mulai memutih.

Dari segalah hal yang di tangkap penglihatan dan pendengaranku, bisa di simpulkan bahwa selama ini Nisa menutupi pernikahan aku dan dia. Yang artinya hanya orang-orang tertentulah yang mengetahui hal tersebut.

Aku menunduk kecewa. Senyuman sinis pada wajahku menandakan jika aku sedang terpuruk. Sangat.

Aku tak menyangka kalau hubungan kami harus serumit ini. Namun jauh dari itu, kekecewaanku bersumber pada diriku sendiri, sebab akulah orang yang melarang Nisa untuk tidak menggumbar hubungan pernikahan di antara kami. Bahkan staff dan pekerja lain di kantorku tidak ada yang tahu. Lalu untuk apa sekarang aku merasa marah? Kecewa? Dan terhianati?

Mata kami bertemu, mengunci satu sama lain. Seketika Nisa memalingkan wajah, menjauhi tatapanku. Lagi-lagi aku mendapati perlakuan itu dari Nisa.

"Kenalkan aku Rian Andreas suami dari Anisa Sintia Andreas."

Terlambat. Mungkin kata itu pantas, sebab aku memang terlambat memperkenalkan diri pada mereka tentang siapa sebenaranya diriku. Untuk itu, ini adalah moment penting untuk memperbaiki segalah hal yang seharusnya di perbaiki sejak awal.

Sebagain dari mereka menatap tak percaya. Apalagi baru saja Nisa mengenalkan aku sebagai seorang Paman. Kemudian setelahnya aku mengenalkan diri sebagai suaminya. Jelas mereka akan kebingungan. Makanya, aku ingin meluruskan segalah kesalah pahaman ini.

"Masa? Benaran Sa?"

"Gue nggak percaya"

"Iya sama. Aku juga"

"Bagaimana mungkin? Tunangan Nisa kan Dimas. Nggak mungkin Nisa nikah sama Dia"

"Lihat aja jarinya Nisa. Cincin pemberian Dimas masih di pakai. Mana cincin kawinnya?" Aku mendengkus lelah. Ternyata aku tidak perna menyadari bahwa cincin pernikahan kami tidak perna sekalipun di pakai oleh Nisa. Malah cincin tunangan Dimas yang tersemat pada jari manisnya.

Aku mulai menyadari kegagalanku sebagai suami yang baik. Mestinya sejak awal aku menerima Nisa dalam hatiku, walau sejujurnya aku maupun Nisa tidak perna menyimpan rasa. Meski begitu, setidaknya alur permainanya bisa ku ubah dan ku buat Nisa mencintaiku. Akan tetapi aku lalai sampai pada akhirnya Nisa tetap bukanlah Nisaku.

"Percaya tidak percaya Nisa tetap istriku" Di akhir kalimat tanganku dengan cekatan menarik tengkuk Nisa. Tanpa sebuah aba-aba aku mencium bibir Nisa. Melumat dan menggigit pelan silih berganti.

Mata Nisa melebar. Terkejut dengan tindakan ku.

Di saat itu pula aku melihat Dimas terpaku melihat ke arah aku dan Nisa.

Cinta Tanpa Batas.Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu