Bab 6. Salah Prediksi

439 36 2
                                    

Sejak pagi tadi aku tidak perna tenang. Bayang-bayang tentang perkataan Rian setiap saat menggelitik hati. Aku begitu panik hanya untuk menyiapkan diri menjemput datangnya malam. Bisa aku bayangkan malam panjang yang dipenuhi pergulatan panas. Untuk itu, aku harus mencari gaun yang tidak mengecewakan supaya sekali lirik Rian langsung ngiler.

Aku sangat yakin kalau Rian ingin menggauliku. Keperkasaanya sebagai seorang pria mungkin sedang menuntut lebih apalagi terpampang jelas didepan matanya bahwa aku sukarela memberinya kepuasan. Hal itu justru menjadi ketertarikkan besar bagi Rian untuk menggagahiku.

Semenjak Rian berpesan, aku langsung menghilangkan segalah kecemasan. Terutama tentang Rian yang tidak perna mencintaiku. Tidak apa dia tidak mencintai ku, yang penting ada nafsu yang siap di salurkan padaku. Aku jelas tahu Rian adalah lelaki normal, lelaki yang adakalanya cepat dirasuki setan. Mereka bisa saja berkata 'tidak mencintai', tapi sayang penuturan mereka sering bertolak belakang akibat hasrat.

Mereka bisa saja berprinsip dan berkomitmen, namun kedua hal itu akan lenyap ketika ada godaan besar didepan mata. Tentu saja, mereka tidak akan perna menyia-nyiakan apa yang terbilang cuma-cuma, gratis.

Dengan akunya yang keseringan sosor duluan aku yakin Rian akan merespon menggunakan kata hasratnya, makanan gratis tidak boleh dibuang sia-sia, bukan? Setelah itu, apapun yang Rian pikirkan (penyesalan) bukan menjadi persoalanku. Prioritasku adalah mendapatkan Rian seutuhnya.

Sejak pagi juga, aku tidak fokus dengan apa yang aku lalui. Masalah kampus dan Nira seolah hanya bayangan semata. Ingatanku terus berpusat pada pesan Rian yang terus menerus mengusik pikiran. Banyak pertanyaan yang Nira layangkan tapi aku tidak merespon. Lebih tepatnya aku mengambil langkah teraman yakni menghindar. Aku tahu, sewaktu aku merespon dan sadar mulai keceplosan karena sudah menceritakan segalahnya, yang ada aku hanya akan mendapat semprotan amarah Nira. Gadis itu marah karena ada alasan. Dan aku rasa, akulah sumber masalahnya.

*****

Aku mengotak atik pakian yang ada dalam lemari. Banyak pakian telah berserakan diatas tempat tidur. Aku berharap diantara sekian banyaknya pakian-pakian itu ada yang bisa memuaskan diriku. Setidaknya ada tanda senyuman dibibir, yang artinya aku suka tapi belum ada yang bisa membuatku tersenyum.

Aku makin bingun bercampur pusing. Hampir berjam-jam lama-nya aku belum menemukan pujaan hati, alias pakian yang aku mau.

Aku melirik sekilas pada ponsel setelahnya aku menarik napas lelah. Waktu menunjukan pukul 17:20 waktu setempat. Artinya sedikit lagi Rian akan kembali.

Aku duduk lemas dikaki ranjang. Disaat ada kecemasan melanda, jari jempolku selalu saja ku gigit. Dari tadi aku kalut, pusing dan bingung harus mencari pakian seksi dimana? Ini bukan waktunya mencari melainkan mempersiapkan diri menyambut pulangnya Rian.

"Ahhhaa..." Lenguhan panjang keluar begitu saja dari mulutku. Untuk sesaat aku seperti mendapat pencerahan. Mataku langsung menyempit bilamana aku sedang tersenyum. Seinci ingatan lolos seleksi dan masuk ke otakku. Aku baru kepikiran, ternyata Mama mertua perna memberikan sebuah kado yang tentunya mampu menggegerkan kewarasan Rian apabila dilihatnya. Lingerie yang super duper seksi.

"Ck. Coba dari tadi kepikiran mungkin aku tidak segelisah ini."

Aku langsung berlari kecil kearah lemari, tempat dimana kado itu disimpan. Aku memang sengaja menyembunyikan pakian itu disana agar Rian tidak menganggapku gila. Apalagi didukung dengan Rian yang tidak menyukaiku.

Beberapa menit mengotak-atik lemari. Akhirnya aku menemukan lingerie tersebut.

"Hufff..." Aku bernapas lega. Akhirnya aku berhasil menemukan pakian yang menurutku tepat.

Cinta Tanpa Batas [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang