PROLOG

573 51 5
                                    

Mata Fida menyapu seluruh ruangan, mencari sosok anak bandel yang menjadi tanggung jawabnya malam ini. Bocah itulah yang membuatnya harus berlarian tak jelas di acara pernikahan salah satu sepupu jauhnya.

Para tamu undangan tampak saling mengobrol satu sama lain dan bergembira. Grup musik mendendangkan lagu khas padang pasir di atas pentas. Suasana begitu menyenangkan begini, tapi Fida malah tertimpa sial, harus berkejaran dengan bocah tujuh tahun yang tiba-tiba lepas dari pengawasannya.

Fida berhenti beberapa saat, berusaha mengatur napas. Hingga, sekelebat kembali terlihat si bocah bandel sudah kembali merangsek di antara tamu undangan lain. Kontan, ia memercepat langkah ke arah bocah itu tanpa memperhatikan sekitar. Yang jelas, anak nakal itu harus mendapat pelajaran kali ini. Anak kecil itu tak boleh dibiarkan berkeliaran lagi.

Fida masih dengan langkah cepatnya ketika tiba-tiba menabrak seseorang.  yang baru saja berbalik dari mengambil makanan. Sontak, matanya terpejam rapat beberapa waktu, lantas mendongak, menatap seseorang entah siapa yang kini berdiri hanya selangkah di hadapannya.

Oh, tidak. Manusia di hadapan Fida adalah sesosok lelaki jangkung berkulit kecokelatan yang tengah terkejut. Dan fatalnya, insiden barusan telah berhasil menumpahkan bumbu sate di piring lelaki itu pada kemeja kremnya.

Dengan kedua ujung alis yang turun, Fida menatap lelaki di hadapannya. Duh, apa yang sudah terjadi, Fida? Benar-benar ceroboh!

"M-ma-af. M-ma-af. S-saya …" Seketika, Fida mencoba menyeka tumpahan itu dengan ujung hijabnya. Pun terus menggumamkan permintaan maaf.

Detik kemudian ia menghentikan perbuatannya. Mematung dengan tangan masih mendarat pada pakaian lelaki itu yang tentu saja menjadi semakin terkejut.

Sungguh, perbuatan ceroboh yang konyol, kan? Tiba-tiba berusaha membersihkan kemeja lelaki asing hanya karena panik. Bagaimana bisa menyentuh orang asing begitu saja?

"Oh, m-maaf, ma-af. Duh, anu …"

Fida celingukan. Harus bagaimana? Benar-benar memalukan.

"Iya, iya. Enggak apa-apa. Tenang aja! Kamu jangan panik! biar enggak nambah kacau. Liatin! Kerudung kamu jadi kotor banget gitu!" ucap lelaki itu.  Suaranya terdengar lembut dan berusaha menenangkan. Pun Tersenyum sangat ramah. Membuat … degupan jantung seketika berpacu cepat.

"Oh …" Seketika Fida menunduk memperhatikan hijabnya yang tampak sangat kotor. Kemudian kembali mendongak. "Nggak apa-apa. Bisa dibersihkan, kok." Kedua ujung alisnya turun. 

"Ya sudah. Kamu tenang! Aku nggak apa-apa. Sama-sama bisa dibersihkan. Kalau begitu, aku mau ngambil makanan lagi, boleh?" lelaki itu tersenyum. Suaranya benar-benar begitu lembut dan tenang.

Lelaki dewasa memang berbeda. Ya, dari wajahnya sangat tampak kalau lelaki di hadapan Fida kali ini adalah lelaki yang cukup dewasa, mungkin umurnya lebih dari dua puluh lima tahun. Berbeda dengannya yang masih delapan belas tahun.

Fida menatap lelaki di hadapannya beberapa saat. Mengerjap beberapa kali. Sempat tak menyadari perbuatannya. Dan sejurus kemudian, dia kembali tersadar, mengangguk cepat beberapa kali. Ayo, segera pergi dan menghilang secepatnya. Akhiri semua kekonyolan yang memalukan. Dia, mundur selangkah, membungkuk, dan segera berlalu setelah mengucapkan kalimat pamit.

Semoga tak bertemu lagi dengan lelaki itu. Kejadian barusan sungguh memalukan. Meskipun sepertinya, lelaki itu sangat baik dan ramah. Wajahnya pun simpatik. Dan pastinya ... cukup menarik.

Fida merogoh ponsel yang tersimpan di slingbag kecil yang tersampir pada pundak untuk segera menghubungi kakak perempuannya, ibu bocah bandel itu. Ia memberitahukan perihal anaknya yang kabur tak jelas dan keadaan Fida yang harus segera membersihkan hijab di toilet.

Dengan bersungut-sungut, Fida melangkah menuju toilet, membersihkan hijabnya di wastafel. Lalu, mengeringkannya di bawah hand dryer. Kemudian segera keluar kembali.

Tapi, langkah Fida harus seketika terhenti manakala matanya menangkap sosok lelaki tadi di depan toilet pria. Rupanya dia hendak membersihkan kemejanya.

Perlahan, Fida mundur dan bersembunyi di balik tiang yang sedikit menonjol.

Seorang lelaki lain, yang baru keluar dari toilet, menyapanya, "Hai ... Hilmy, apa kabar?"

Hilmy? Oh ... ternyata, nama lelaki itu adalah Hilmy.

Mereka bercakap-cakap sebentar, sepertinya saling bertukar kontak. Hingga, ponsel di tangan lelaki dengan kemeja berlumuran bumbu sate itu berdengung. "Sebentar. Istriku nelepon." 

Istri? Oh ... dia sudah menikah rupanya.

[END] Sahaja CintaWhere stories live. Discover now