TIGA PULUH SEMBILAN

7.7K 401 63
                                    

            Risa mengatur napasnya setelah berlari kencang agar tidak terlambat memasuki sekolah. Ia menyentuh perutnya yang terasa sakit. Semoga saja bayi yang ada di dalam sana tidak apa-apa. Risa memutuskan jalan perlahan supaya perutnya tidak tambah sakit.

Setelah menaiki tangga menuju lantai dua dan berjalan menuju kelas, Risa melihat Aji yang bersandar pada tembok kelasnya. Apa yang sedang dilakukan Aji? Bel sudah berbunyi tapi laki-laki itu malah berdiri di luar kelas.

Risa mengabaikan Aji dan memilih untuk masuk ke dalam kelas. Akan tetapi, Aji menahan tangan Risa agar perempuan itu berhenti.

Risa yang terkejut menatap Aji bingung, "Kenapa, Ji? Ada yang mau diomongin?"

Bukan jawaban yang Risa dapat, melainkan pelukan tiba-tiba dari Aji. Risa yang terkejut hanya bisa membelalakan matanya, tidak sempat menahan maupun menghindari.

"Aji?" Tanya Risa lagi, karena Aji tidak kunjung melepaskannya.

Aji semakin mengeratkan pelukannya hingga Risa bisa merasakan betapa kerasnya deguban jantung laki-laki itu.

"Maaf," ucap Aji dalam hati.

"Maaf karena aku gak bisa nolongin kamu, maaf karena aku terlambat, maaf karena aku gak bisa lindungin kamu, Sa." Lirihan itu hanya mampu Aji ucapkan dalam hati. Ia tidak kuasa untuk mengucapkannya secara langsung. Ia terlalu takut. Takut jika dirinya tidak bisa menahan diri untuk tidak menangis.

Aji melepaskan pelukannya lalu mengusap lembut puncak kepala Risa. "Tumben lo telat," ucapnya kemudian masuk ke dalam kelas meninggalkan Risa di luar kelas.

Risa hanya bengong melihat tingkah Aji yang aneh. Tidak mau ambil pusing, Risa juga masuk ke dalam kelas dan duduk di kursinya. Memfokuskan diri pada materi yang akan diajarkan pada pagi ini.

Tidak berselang lama, Widi datang ke kelas untuk mengajar mata pelajaran Kimia. Guru muda itu membuka salam dan memulai sesi belajar mengajar. Semua murid nampak fokus pada apa yang Widi ajarkan di kelas. Widi menjelaskan dan membahas soal-soal ujian sekolah tahun lalu untuk persiapan muridnya menghadapi ujian sekolah bulan depan.

Getaran ponsel Widi menginstruksi, lantas guru muda itu mengambilnya, mengangkat telepon dari seseorang.

"Sebentar, ya? Ibu angkat telepon dulu," izin Widi pada murid-muridnya.

Setelah berbincang sebentar dengan seseorang di seberang sana, Widi tergesa-gesa menuju ruang kepala sekolah, meninggalkan kelasnya tanpa pamit terlebih dahulu.

"Bu Widi kenapa lari-lari begitu?" Tanya Leta pada Tina dan juga Risa.

"Gak tau, ada urusan kali. Risa, tolong jelasin ulang dong yang ini," ucap Tina.

"Yang mana?"

"Ini nomor dua."

Risa mengambil catatan Tina dan memeriksanya, "Cari dulu pOH- terus hitung pH basanya dari 14 dikurangi pOH- yang udah kita cari."

"Nyari pOH- nya begini, kan?" Tanya Tina memastikan.

"Iya."

"Oke, makasih, Sa."

"Kok kalian bisa fokus belajar, sih? Dari tadi perasaan gue gak enak," keluh Leta lesu.

"Emangnya lo kenapa? Ada masalah di rumah?" Respon Tina.

"Enggak, entah kenapa gue mendadak gelisah."

"Kebanyakan dosa kali lo."

Leta memberenggut kesal mendengar ucapan Tina. Bukannya menenangkan malah meledeknya seperti itu. Leta yang menyandarkan kepalanya di atas meja langsung bangun kala melihat Widi masuk ke dalam kelas.

I'M A VICTIM!Where stories live. Discover now