TIGA PULUH DELAPAN

5.9K 292 15
                                    

            Tidak seperti biasanya, pulang sekolah Alvan akan menyempatkan diri ke rumah Risa lalu pergi berangkat les. Namun sekarang, ia harus langsung pulang ke rumah karena supirnya akan berada di depan sekolah tepat bel pulang berbunyi.

Alvan menghela napas kasar lalu masuk ke dalam mobil. Matanya tidak bisa beralih pada Risa yang sedang menunggu angkot sendirian. Padahal perempuan itu sangat membutuhkannya saat ini, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa karena ayah Alvan semakin mengekang dirinya.

Meski tidak ada les lagi, Alvan harus berada di rumah setelah laki-laki itu pulang dari sekolah. Tidak boleh keluar sama sekali dan harus belajar untuk memperlancar Bahasa Inggrisnya. Alvan tidak bisa bertindak semaunya sekarang, tidak bisa lagi menemani Risa tidur nanti malam, atau apapun itu di luar jam sekolah. Padahal sebelum-sebelumnya ia sudah terkekang, namun sekarang semakin menjadi-jadi.

Keputusan Arya untuk membawa Alvan ke Australia sudah bulat. Tidak bisa diganggu gugat. Jika Alvan ingin menghentikan ayahnya dengan mengakui apa yang sudah dilakukan, hal itu sia-sia. Yang ada dirinya akan dipukuli dan semakin dikekang.

Kepala Alvan berdenyut sakit karena memikirkan hal itu. Ia tidak bisa menemukan cara lain untuk menghentikan ayahnya. Rasanya ingin segera kelulusan dan mengadu semuanya.

Tidak terasa, perjalanan dari sekolah menuju rumahnya begitu singkat. Dengan enggan Alvan turun dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya.

Sepi. Ya, selalu seperti ini saat ia kembali ke rumah. Ayah dan ibunya terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Alvan menuju kamar dan langsung merebahkan tubuhnya yang masih terasa nyeri. Tinju yang Aji lontarkan bukan main-main. Melihat tubuh kekar laki-laki itu saja Alvan sudah tau bahwa Aji adalah orang yang suka berolahraga. Tidak heran setiap pukulan yang dilepaskan terasa sangat menyakitkan.

Pintu kamar Alvan tiba-tiba dibuka dari luar. Nampak seseorang yang membuat Alvan terkejut.

"Mama udah pulang?" Alvan bangkit lalu menghampiri Nadine.

Nadine memeluk putra satu-satunya dengan erat. Ia sangat rindu. Perasaan bersalah juga selalu hinggap di hatinya kala harus meninggalkan Alvan karena urusan pekerjaan.

"Urusan Mama di Aarhus udah selesai. Sekarang bisa nemenin kamu sampe kelulusan," ucap Nadine senang.

"Beneran, Ma?"

"Iya dong beneran."

"Mama gak akan pergi tiba-tiba lagi, kan?"

Hati Nadine tersayat mendengar pertanyaan Alvan. Memang sudah berulang kali dirinya bilang akan memiliki waktu bersama putranya, namun berujung ia ingkar. Selalu saja ada urusan mendadak membuat Nadine harus pergi.

"Mama jamin sekarang gak bakalan pergi mendadak lagi."

Nadine mengamati wajah putranya. Baru ia sadari terdapat banyak luka memar bahkan robek di wajah Alvan.

"Loh, ini muka kamu kenapa? Siapa yang mukulin kamu? Papa?" Khawatir Nadine.

"Bukan Papa."

"Terus siapa? Kenapa bisa sampe babak belur begini?"

"Berantem sama temen, aku gak apa-apa kok Ma."

Nadine membelalakan matanya. Tidak biasanya Alvan akan berkelahi seperti ini. Alvan adalah anak yang pendiam, mana mungkin ia bisa berkelahi?

"Kok bisa berantem sama temen? Jangan-jangan kamu dibuli?"

"Enggak Ma, aku beneran berantem, bukan dibuli."

Nadine benar-benar tidak habis pikir. "Kenapa bisa berantem?"

Alvan terdiam, bingung harus menjelaskan apa. Jika ia mengaku bahwa Aji yang tiba-tiba memukulnya, bisa dipastikan Nadine akan pergi ke sekolah besok dan menuntut Aji.

I'M A VICTIM!Where stories live. Discover now