TIGA PULUH SATU

7.4K 313 36
                                    

            Gadis berusia tujuh belas tahun itu menggeliat di balik selimutnya. Baru saja ia bisa memejamkan mata dan hendak pergi ke alam mimpi, namun bunyi ketukan di pintu depan mengusiknya. Dengan terpaksa Risa bangun, melihat ke arah jam digital yang berada di atas nakas. Pukul sepuluh malam. Siapa yang bertamu di jam segini? Risa sungguh tidak habis pikir.

Risa melangkahkan kakinya menuju pintu depan, ingin melihat siapa gerangan yang datang ke rumahnya. Pada saat Risa meraih kenop pintu dan ingin membuka kunci, gadis itu terdiam. Seketika dirinya was-was dengan orang yang berada di balik pintu.

Bagaimana jika orang yang datang ke rumahnya adalah Alvan? Risa tidak ingin bertemu dengan laki-laki itu. Apalagi malam-malam begini di rumahnya yang sepi. Sepengalamannya bersama laki-laki itu, Risa tidak pernah aman berduaan dengan Alvan di malam hari seperti ini. Yang ada laki-laki itu akan melakukan sesuatu yang merugikan Risa.

Sekedar untuk mengecek jendela saja ia tidak berani. Bagaimana ini? Ketukan di pintunya juga tidak kunjung berhenti, menandakan bahwa orang itu masih berada di sana. Tapi, bukannya Alvan memiliki duplikat kunci rumahnya? Harusnya laki-laki itu bisa langsung masuk jika ingin.

Baiklah. Risa mencoba untuk membuka pintu. Siapa tau yang berada di luar sana bukan Alvan. Dengan perasaan cemas, Risa mulai membuka pintu secara perlahan.

"Kejutan!"

Risa terperanjat terkejut mendengar seruan orang yang sedari tadi mengetuk pintu rumahnya. Gadis itu membelalakan mata, lalu memeluk ibunya yang sangat ia rindukan.

Risa menangis, perasaannya campur aduk. Ia bahagia bisa meluapkan rasa rindu pada ibunya, namun perasaan bersalah juga langsung hinggap. Risa kembali teringat bagaimana dirinya melakukan dosa di kamar ibunya.

"Mama... Risa kangen," lirih Risa dalam pelukan hangat ibunya.

"Mama juga kangen tapi, kenapa kamu kurusan?" Kinan menatap putri semata wayangnya penuh khawatir.

"Perasaan sama aja."

"Beda, pipi kamu aja tirus banget, pasti berat badannya cuman 36 kg ini." Kinan menangkup wajah anak gadisnya, mengelusnya lembut, lalu mencium kening Risa penuh kasih sayang.

"Enggak mungkin cuma segitu, paling turun jadi 40 aja."

Kinan menggelengkan kepalanya beberapa kali, "Nakal, padahal Mama udah bilang harus makan yang banyak. Kalo kayak gini Mama jadi gak tega ninggalin kamu lagi kalo ada kerjaan."

"Aku gak sekurus itu, Mama tenang aja, palingan kurus karena efek stress. Mama kan tau aku mau persiapan ujian," alasan Risa. Terpaksa ia harus berbohong kepada ibunya. Alasan utama ia stress bukan karena belajar untuk persiapan ujian, melainkan hal yang lain yang ingin Risa lupakan.

"Ihh, Mama udah bilang jangan dipaksain kalo belajar, istirahat sebentar gak akan bikin kamu bodoh."

"Hehe, maaf, Ma."

"Yaudah, masuk yuk! Mama mau unboxing oleh-oleh yang Mama beli buat kamu. Malem ini begadang sama Mama gak apa-apa, kan? Besok'kan hari Sabtu, libur sekolah."

Risa mengangguk dengan antusias, lalu membantu memasukkan barang-barang ibunya ke dalam rumah. Setelah itu, mereka berkumpul di ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga, membuka satu per-satu belanjaan yang sudah Kinan beli untuk putrinya.

"Tadi kenapa buka pintunya lama banget? Mama pegel tau nunggu di luar."

"Aku takut yang di luar orang jahat. Mama juga gak bilang pulang hari ini, soalnya waktu itu bilangnya dua minggu lagi, jadi Risa kira Mama pulang Sabtu depan."

Kinan terkekeh mendengarnya, "Ya biar surprise gitu."

Kinan meraih kepala Risa, mengelusnya lembut, lalu memeluk putrinya itu dengan erat. "Besok main sama Mama, yuk? Mama pengen ngabisin sisa waktu libur sepuasnya sama anak gadis Mama yang cantik ini."

I'M A VICTIM!Where stories live. Discover now