DELAPAN

12.8K 417 6
                                    

Risa menatap dirinya di pantulan cermin wastafel kamar mandi. Banyak bercak merah menghiasi leher dan juga dada gadis itu. Padahal bekas yang kemarin malam saja belum hilang, sekarang sudah ditambah yang baru.

Pikiran gadis itu kalang kabut. Banyak pikiran negatif untuk menyakiti dirinya sendiri demi melenyapkan rasa sakit yang bersemayam di relung hati. Risa ingin menyerah pada keadaan. Hidupnya sudah hancur sekarang.

Gadis itu mengambil sponge mandi miliknya, dibaluri sabun cair dan menggosok ke seluruh tubuhnya dengan kasar, berharap bekas sentuhan laki-laki itu menghilang. Tubuhnya terasa sangat kotor. Teringat dengan jelas bagaimana Alvan menyentuh seluruh tubuhnya.

Tubuh Risa memerah karena gadis itu menggosok terlalu keras hingga menimbulkan rasa sakit. Tapi gadis itu tidak peduli. Rasa sakit ditubuhnya sama sekali tidak berasa jika disandingkan dengan rasa sakit di hatinya.

Risa keluar dari kamar mandi setelah selesai. Matanya pertama kali menangkap Alvan yang saat ini duduk di samping kasurnya dengan hanya menggunakan celana sekolah. Sedangkan, bagian atas tubuhnya dibiarkan polos. Risa juga melihat pundak laki-laki itu memerah karena bekas cakarannya.

Setelah mereka melakukannya di sofa, Alvan melepas ikatan dasi di tangan Risa. Saat itu, Risa pikir Alvan akan berhenti melakukannya dan hendak melepas Risa. Akan tetapi, Alvan malah membawa Risa ke kamar dan melanjutkan kegiatan menjijikan itu di kamar Risa. Entahlah, apakah Risa bisa tidur di kamarnya nanti malam. Mungkin Risa akan tersiksa jika terus berada di kamarnya karena ia akan mengingat bagaimana ia dilecehkan oleh Alvan.

Tidak ingin melihat Alvan lebih lama, gadis itu memutuskan untuk segera ke luar. Rumah Risa tidak besar, ruang tamu dan ruang keluarganya menyatu. Di belakang sofa ada meja makan dan di samping meja makan sudah ada dapur. Selain itu, rumah ini juga hanya satu lantai dan terdiri dari dua kamar tidur. Oleh karena itu, Risa bisa mendengar dengan jelas suara air di kamar mandi kamarnya yang menyala, memberitahunya bahwa Alvan sedang mandi saat ini.

Risa ingin duduk di sofa tapi, mengingat bahwa tempat itu juga menjadi tempat di mana ia dilecehkan, Risa memilih untuk duduk di meja makan. Gadis itu ingin ke kamar ibunya tapi tidak sanggup. Perasaan bersalah karena tidak bisa menjaga diri terus menyelimuti gadis itu.

Kepala Risa berdenyut kencang. Ia tidak sanggup jika harus bertemu dengan Alvan lagi. Ia juga tidak bisa memastikan apakah laki-laki itu akan melecehkannya lagi atau tidak di hari-hari berikutnya. Risa juga tidak bisa mengadu kepada siapapun jika ia mengalami pelecehan seperti ini. Ia tidak punya bukti, ditambah Alvan terkenal baik dan memiliki nama yang bersih. Mau bagaimana pun, orang-orang pasti tidak akan percaya jika Alvan melecehkan Risa. Laki-laki itu juga berasal dari keluarga kaya raya. Bisa saja keluarganya melakukan segala cara agar nama putranya tetap bersih.

Trauma masa lalu ditambah bencana ini menimpanya membuat Risa goyah. Mata Risa melihat pisau buah yang ada di dapur. Gadis itu menuju ke sana, hendak mengambil pisau itu.

Tangannya bergetar setelah berhasil menggenggam pisau itu. Saat kulit lengannya hendak menyentuh bagian pisau yang tajam, pisau itu terjatuh. Risa tidak mampu. Ia ingin mati tapi dirinya terus teringat akan ibunya.

Ibunya pasti akan sangat sedih jika mendengar putri semata wayangnya mati karena bunuh diri. Mengingat hanya Risa yang dimiliki oleh ibunya dan juga sebaliknya, pasti ibunya itu akan sangat terluka.

Risa menutup wajahnya dengan tangan, menangis dalam diam agar Alvan tidak mendengarnya.

"Maafin Risa, Ma," lirih gadis itu sangat pelan di sela tangisannya.

Risa mengusap air mata yang membasahi wajah dan menaruh kembali pisau buah yang tadi diambilnya. Belum sempat bergerak lagi, tubuh Risa membeku karena Alvan memeluknya dari belakang.

"Aku mau pergi les, kamu hati-hati di rumah."

Setelah mengatakan itu, Alvan membalik tubuh Risa dan memeluk tubuh gadis itu sangat erat. Kemudian, ia mengecup sekilas bibir Risa dan melenggang pergi ke luar.

*****

Pagi ini rasanya agak berbeda dari pagi-pagi sebelumnya. Langit di atas agak mendung dan anginnya juga terasa dingin. Widi menyesal karena tidak memakai jaket hari ini. Perempuan itu kedinginan karena saat ini dirinya sedang di atas motor, berangkat ke sekolah tempatnya mengajar.

Untungnya jalanan tidak macet, sehingga Widi tidak perlu lama-lama terkena angin. Setelah sampai di sekolah, ia memberikan helm dan membayar jasa ojek online yang sudah mengantarkannya pagi ini.

Widi menangkap sosok yang dikenalinya. Lantas ia menghampiri orang itu. "Risa?"

Gadis itu menoleh karena mendengar namanya dipanggil. Widi terkejut melihat wajah Risa yang terlihat lesu, ditambah mata gadis itu bengkak seperti habis menangis.

"Selamat Pagi, Bu!" Sapa gadis itu. Meskipun Risa tersenyum tapi, senyum yang dilontarkan seperti dipaksakan.

Widi menatap khawatir Risa, "Kamu kenapa? Ada masalah? Kemarin juga gak sekolah mengabari Ibu."

"Saya gak apa-apa, Bu. Kemarin gak enak badan dan lupa mengabari Ibu."

Widi menghela mapas, sedikit lega dengan jawaban Risa. Mungkin gadis itu menangis karena merasakan tubuhnya yang sakit. "Tadinya Ibu mau ke rumahmu, cuma Ibu gak sempet, maaf ya."

Risa mengangguk, "Gak apa-apa, Bu. Lagian saya cuma pusing aja kemarin."

"Tumben hari ini rambutnya gak dikuncir?"

Widi mengenyampingkan rambut Risa yang terurai menutupi wajah gadis itu. Namun, respon Risa membuat Widi terkejut. Dengan cepat Risa menepis tangan Widi lalu memposisikan rambutnya seperti semula.

"Maaf, Bu. Saya refleks barusan. Kalau begitu saya ke kelas dulu." Risa buru-buru meninggalkan Widi yang mematung di tempat.

Widi menatap kepergian Risa dengan berbagai pertanyaan di benaknya. Apa yang baru saja ia lihat berhasil membuat Widi berpikiran negatif. Widi melihat bercak merah keunguan di leher gadis itu. Tidak hanya satu, tapi Widi melihat ada dua di sana.

Widi berusaha untu berpikiran positif, mungkin gadis itu memiliki alergi. Tapi alergi apa yang memberikan bekas seperti itu dan tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain? Hal ini tidak bisa masuk diakal. Widi harus mencari tau penyebabnya. Jika dugaannya memang benar, Widi harus membantu Risa.

I'M A VICTIM!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang