DUA PULUH TIGA

8.7K 337 33
                                    

            Hari Sabtu dan Minggu adalah hari yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya. Apalagi bagi seorang gadis yang kini tengah melamun di depan meja riasnya. Biasanya ia selalu merasa senang setiap Sabtu pagi, karena Risa tidak akan bertemu seseorang yang ia benci. Namun, tidak dengan hari ini. Hari ini adalah Sabtu pagi terburuk yang pernah Risa alami. Ia harus bersama seseorang yang sangat ia benci. Seharian. Ditambah lagi dengan kejadian semalam membuat gadis itu ingin mati detik ini juga.

Tatapan kosong gadis itu lurus ke depan. Tidak ada ekspresi di wajahnya, namun terlihat sendu. Apalagi matanya bengkak dan hidungnya memerah. Siapapun yang melihat penampilan Risa sekarang pasti akan mengetahui bahwa gadis itu habis menangis dalam waktu yang lama. Meski begitu, nyatanya air mata Risa tidak pernah habis. Seperti saat ini, air matanya luruh begitu saja membasahi wajah.

Bukannya hanya wajahnya yang basah karena air mata tapi, punggung gadis itu juga basah karena air yang menetes dari rambutnya. Risa tidak memiliki tenaga untuk sekedar mengeringkan rambut. Bahkan untuk mandi pun, gadis itu dibantu oleh laki-laki yang tidak seharusnya ikut mandi bersamanya.

Kehadiran Alvan saat ini sama sekali tidak membuat Risa bergerak sedikitpun. Risa sudah tidak peduli dengan apa yang akan dilakukan Alvan berikutnya. Tubuhnya sudah tidak memiliki tenaga. Ia juga sudah pasrah dengan keadaan. Setiap kali ia berusaha melawan, semua perjuangannya selalu sia-sia. Ia tetap takluk kepada Alvan.

Alvan datang dengan membawa handuk kecil. Kemudian mengeringkan rambut Risa dengan handuk itu. Laki-laki itu juga menggunakan hair dryer milik Risa untuk membuat rambut gadis itu kering sepenuhnya. Setelah dirasa selesai, Alvan menyisir rambut panjang itu perlahan, tidak ingin menyakiti Risa meskipun laki-laki itu dengan sadar telah menyakiti gadis di hadapannya.

"Baju kamu basah, aku ganti, ya?" Tanya Alvan. Sedangkan, Risa tidak menjawab sama sekali. Alvan juga tau, bahwa semua pertanyaannya tidak mungkin disaut apalagi dijawab.

Kaki Alvan melangkah menuju lemari Risa, mencari baju rumahan gadis itu.

Tubuh Risa langsung gemetar saat Alvan mengangkat kausnya hendak melepas. Kenapa laki-laki itu menggantikan pakaiannya? Padahal Alvan bisa memberi kaus itu kepada Risa dan ia akan berganti sendiri. Tidak perlu dipakaikan begini. Risa benar-benar tidak habis pikir dengan Alvan.

Detik berikutnya, Alvan mengangkat tubuh Risa, membawa gadis itu menuju meja makan. Laki-laki itu sudah memasak sarapan untuk mereka berdua. Bahkan ia sudah membersihkan rumah, merapikan seluruh kekacauan yang dibuat oleh Risa.

Alvan mendudukkan Risa di kursi, kemudian menyuapi gadis itu dengan makanan yang sudah ia masak. Sebenarnya, Risa tidak mau makan. Ia tidak lapar sama sekali. tapi, ia juga tidak mau membuat Alvan marah. Laki-laki itu sangat menyeramkan ketika emosi. Oleh karena itu, mau tidak mau Risa membuka mulutnya, menerima suapan yang diberikan oleh Alvan.

Risa melihat sendok yang tadi masuk ke dalam mulutnya digunakan kembali oleh Alvan. Makan satu piring dan satu sendok berdua. Rasanya Risa ingin muntah saking jijiknya. Namun, sayangnya ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Di kotak obat kamu paracetamolnya udah habis, kamu juga demam semalem. Kita ke dokter ya abis ini?"

Risa menggeleng untuk merespon ajakan Alvan. Ia tidak ingin pergi ke luar. Apalagi ke dokter. Pasti dokter di rumah sakit akan curiga melihat banyak bercak merah keunguan yang menghiasi leher Risa. Apalagi ia masih di bawa umur. Pergi ke rumah sakit dengan laki-laki sebaya ditambah ada banyak kissmark terlihat, ia yakin dokter itu akan berpikiran yang tidak-tidak tentang Risa. Ia pasti akan dicap sebagai perempuan nakal dan sebagainya. Gadis itu tidak mau.

"Kenapa?"

Risa meremas ujung bajunya. Ia berusaha untuk menjawab pertanyaan Alvan. "Beli paracetamol atau obat demam yang lain di apotik," jawab Risa dengan suara yang pelan.

I'M A VICTIM!Where stories live. Discover now