Raka tak menjawab sepatah kata pun lagi. Seolah ingin menunjukkan seberapa jahat dirinya. Raka langsung pergi, meninggalkan Rifa yang terduduk lemas tak berdaya.

Perceraian yang tak pernah Raka kehendaki, namun harus ia lakukan demi kebaikan Rifa walaupun jelas ini sangat memukul batin Rifa. Mengecewakan kedua orang tuanya dan membuat Tomi melaknatnya sebagai menantu.

***

Semua hal yang terjadi membuat Rifa benar-benar terguncang hingga sakit. Sarah yang mendengar ikhwal talak yang Raka layangkan terjadap putrinya merasa senang karena pada akhirnya Rifa terlepas juga dari laki-laki tidak bertanggung jawab seperti Raka. Sebisa mungkin ia menegarkan hati putrinya untuk menerima kenyataan bahwa Tuhan sedang menunjukan siapa Raka sebanarnya. Raka bukan laki-laki baik yang pantas dicintai. Hanya Abian, sosok yang selalu ada di samping Rifa di saat ia sedang sakit, bahkan ini yang kedua kalinya setelah insiden jatuh dari jurang waktu itu.

"Fa, makan dulu ya, abis itu baru minum obat."

Rifa menggeleng, menatap kosong rumah yang sudah tidak ditinggali penghuninya lagi. Satu hari setelah Raka menceraikannya, Rifa mendengar kabar kalau Mita dan Firman pindah ke luar kota.

"Fa, udah ya, nggak usah ingat-ingat dia lagi. Itu cuma bakal bikin lu tambah sakit."

Bagaimana mungkin Rifa tidak mengingat orang yang telah membuatnya jatuh cinta hingga begitu dalam? Bahkan setelah Raka menyakitinya, Rifa masih tak mampu sepenuhnya membenci Raka. Selalu ada rindu yang membuatnya berharap kalau semua kekacauan ini akan kembali seperti semula.

"Yan, apa semua ini karma karena gua udah nyakitin lu?"

Abian menggeleng, meletakan mangkuk bubur di tangannya ke atas meja. "Lu ngomong apa sih, Fa? Nggak ada karma atau apa pun itu. Semua ini terjadi bukan karena salah lu."

"Tapi gua nyakitin lu waktu itu."

"Gua nggak mau ingat-ingat itu lagi, Fa. Yang jadi fokus gua sekarang adalah gimana caranya gua bangkitin semangat lu lagi. Gua nggak mau lu terus-terusan kayak gini. Lu harus sehat biar bisa balik ke sekolah. Lu harus kuat."

"Gua nggak bisa, Yan. Gua nggak bisa!"

"Lu bisa, Fa! Lu bisa! Lupain dia. Lupain orang yang udah bikin lu hancur. Ada gua, Fa. Gua masih sama kayak dulu. Gua emang nggak punya apa-apa tapi gua nggak sebangsat orang yang udah bikin lu jatuh cinta terus ninggalin lu!"

Rifa terdiam mendengar ucapan Abian, membuat suasana menjadi canggung. Abian pun sadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Cowok itu menunduk. "Maaf, gua jadi kebawa emosi."

"Lu bener, Yan. Nggak seharusnya gua terus-terusan sedih, nangisin orang yang udah jelas nggak peduli sama gua." Rifa mengusap air mata di pipinya. "Tapi gua juga nggak tahu gimana caranya ngelupain Kak Raka. Dia udah terlalu dalam masuk ke hati gua."

"Gua tau nggak ada yang mudah, Fa. Tapi lu harus berusaha buat move on. Lu layak dapetin yang terbaik."

***

"Arrrghhh! BANGSAT!"

Pukulan demi pukulan mendarat di perut dan wajah Raka.   Udin benar-benar membabi buta. Kepercayaannya terhadap Raka selama ini benar-benar mengecewakan. Bagaimana mungkin orang yang selama ini ia percaya untuk menjaga Rifa, ternyata malah yang paling dalam menyakiti.

"Sepuluh tahun lebih saya sahabatan sama Rifa. Setetes pun saya nggak pernah bikin dia nangis. Saya jaga dia dari cowok-cowok bangsat di luar sana yang mau deketin dia. Tapi apa?!" Udin mencengkram kerah kemeja Raka yang pasrah tak membalas barang satu pukulan pun. "Saya malah mempercayakan sahabat saya sama laki-laki bangsat seperti Kak Raka!"

Persetan jika mau menyebut Udin siswa tak beradab. Apa pun yang menyangkut Rifa adalah harga mati yang harus Udin bela. Siapa yang tega melihat sahabatnya sakit karena sakit hati? Tidak ada!

"Bunuh saya, Din. Bunuh! Habisin saya! Karena memang lebih baik saya mati daripada harus seperti ini!"

"Iya, emang lebih baik Kak Raka mati!" Satu tinjuan berikutnya pasti membuat Raka tersungkut kalau saja seseorang tidak datang, meneriaki aksi Udin.

"UDIN, STOP!" Teriakan itu bersumber dari Adelia. Gadis itu berlari mendorong Udin agar menjauh dari Raka. "LO GILA, HUH? LO APAIN PAK RAKA?!"

"LO NGGAK USAH IKUT CAMPUR YA, ANJING! INI URUSAN GUA SAMA PAK RAKA! LO NGGAK USAH IKUT CAMPUR!" Udin mendorong Adelia hingga terjatuh membuatnya meringis kesakitan.

Melihat hal tersebut Raka langsung bereaksi. Ia ingat kalau Adelia tengah mengandung. "Kamu nggak pa-pa?"

"Aww! Sakit!" ringis Adelia memegangi perutnya.

"Kamu benar-benar keterlaluan, Din." Sekuat tenaga, Raka membantu Adelia berdiri. Ia memastikan sesuatu yang buruk tidak terjadi pada gadis itu.

"Oh, jadi ini cewek yang bikin Pak Raka nyakitin sahabat saya?" sinis Udin ketika Raka berjalan melewatinya. "Udah ngewe berapa kali?"

"Jaga omongan kamu!" Sentak Raka tajam. "Hanya karena saya diam, bukan berarti saya membenarkan tuduhan kamu tentang saya."

"Kasih bukti juga dong kalo saya salah," tantang Udin. "Nggak bisa, kan?" Udin berdecih sinis. "Oh, ya, tapi nggak pa-pa, setidaknya sekarang saya lega, sahabat saya udah pisah dari bajingan seperti Anda."

"Terserah kamu mau ngomong apa," balas Raka membawa Adelia pergi.

Raka beruntung tak terjadi sesuatu pada Adelia. Gadis itu ternyata baik-baik saja ketika sampai di rumah. Ya, meskipun Raka benci sekali dengannya, tetapi sebagai laki-laki yang lahir dari rahim seorang perempuan, melihat Adelia kesakitan seperti itu ia tetap merasa tidak tega.

"Sebenaenya kenapa tadi kamu bisa ada di sana, kamu ngikutin saya?"

"Maaf, tapi saya tau siapa Udin. Dia itu bar-bar, saya udah duga hal itu bakal terjadi. Makanya saya ngikutin Pak Raka. Meskipun saya terlambat, Pak Raka udah babak belur gini."

"Saya pantes dapetin ini. Jadi kamu nggak usah berempati ke saya. Kamu pikirin aja kondisi bayi dalam kandungan kamu."

Raka mengambil tisu di meja. Mengusap sudut bibirnya yang terasa anyir, berdarah. Luka yang membuktikan bahwa Udin sungguh tidak main-main menyayangi Rifa. Napasnya berembus sangat berat, memandang Adelia yang berbaring memandang ke arahnya. "Kenapa kamu ngeliatin saya?"

Adelia menggeleng. "Pak Raka masih mikirin Rifa, ya?"

"Kamu pasti udah tau jawabannya."

Gadis itu membuang wajah kesal. "Kalian itu nikah karena terpaksa. Harusnya nggak sulit buat Pak Raka ngelupain dia. Apalagi sekarang ada saya dan calon buah hati kita."

"Asal kamu tau, Adelia. Saya mencintai Rifa jauh sebelum perjodohan itu terjadi. Dan perceraian ini jauh lebih menyakitkan bagi saya daripada hukuman pancung. Mungkin rasanya lebih baik saya dihukum pancung, daripada harus hidup di atas sakit hati orang-orang yang saya cintai."

"Secinta itu Pak Raka sama Rifa?" Adelia tertawa hambar, duduk sambil memeluk lututnya. "Sampai Pak Raka nggak mikir sedikitpun tentang kondisi saya? Padahal di sini status saya sebagai seorang korban. Masa depan saya hancur karena Pak Raka."

"Saya minta maaf, kalau perkataan saya barusan menyakiti hati kamu."

Adelia tak mengubris, ia beranjak dari sofa meninggalkan Raka sendirian di ruang tamu. Air matanya berderai membanting pintu kamar dan menangis sejadi-jadinya di dalam sana. Sementara Raka, ia memutuskan untuk pulang dan kembali lagi hanyut dalam pemikirannya yang pelik.

Sudah satu minggu sejak dirinya menceraikan Rifa. Gadis itu masih tidak masuk sekolah. Dengar-dengar dia juga sakit. Pasti sangat buruk keadaaanya saat ini. Di depan rumahnya terparkir sebuah motor yang Raka yakini milik Abian. Pasti sekarang sangat mudah bagi cowok itu kembali membawa Rifa dalam dekapannya.

"Ya, Tuhan, kenapa harus saya?" lirihnya, membasuh wajah frustrasi.

Guru BK Ngeselin Itu, Suami Gue! [COMPLETED√]Where stories live. Discover now