Part 27

348 11 0
                                    

"Rifa, kamu kenapa?"

"Abian mana kok pulangnya sendiri?"

"Rifa, hey? Malah nyelonong aja."

Pintu kamar dibanting menimbulkan dentuman cukup keras. Rifa yang pulang dengan berderai air mata langsung menghempas tubuhnya ke atas tempat tidur seraya menutup wajah dengan bantal dan menumpahkan tangis di bawah sana.

Tentu saja hal itu memantik pertanyaan Sarah. Wanita itu berdiri di depan kamar, mengetuk pintu berkali-kali namun Rifa tak kunjung menyahuti. Hanya terkadang isakannya lolos dan terdengar hingga telinga Sarah.

"Rifa buka pintunya. Kamu kenapa?"

Tidak, Rifa sama sekali tidak menyesal mengambil keputusan berpisah dengan Abian karena memang itu hal yang seharusnya terjadi. Hanya saja ada rasa bersalah dalam dirinya yang mengalir begitu deras. Lebih-lebih ketika melihat Abian menumpahkan air mata di hadapannya. Sungguh, semua ini di luar kendali Rifa.

Mungkin di antara Abian dan Raka. Abian lah pemenang dalam urusan bertutur kata serta berlaku. Namun, sosok Raka yang telah hadir semenjak Rifa masih dalam kandungan dan menjadi musuh di masa kecil, membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Pandangan-pandangan Raka yang selalu kontra dengan Rifa nyatanya secara halus mampu merasuk, membawa perubahan sedikit demi sedikit dalam hidupnya.

Semesta membuat semua ini pelik. Kalau dari awal jodohnya adalah Raka, mengapa harus ada hati lain yang singgah dan akhirnya harus patah.

"Lo nggak jahat, Fa. Lo udah ngelakuin satu hal yang bener." Begitu kata Udin ketika Rifa tak mampu lagi menampung semuanya sendiri. Melalui sambungan telepon Rifa membagikan kisahnya pada cowok itu. Matanya yang sembab terasa lengket dan perih. "Gua yakin, Abian bisa nerima semuanya."

Setidaknya itu membuat Rifa menjadi sedikit lebih tenang. Entahlah, Rifa tak tahu bagaimana jadinya kalau tidak ada Udin. Meskipun kelakuannya bobrok, tapi Udin selalu punya cara untuk menenangkan pikiran kacaunya.

"Udah, tidur sana. Besok gua jemput dah sekolahnya."

"Gua udah punya suami, Din."

"Oh iya, gua lupa." Udin terkekeh. "Besok Ibu Rifa berangkatnya sama Pak Raka ya?"

"Lu berdua jangan pada telat, ya. Pokoknya kalo gua nyampe kelas lu berdua harus ada. Gua nggak siap ngadepin canggungnya kelas pas ketemu sama Abian."

"Iya, tuan puteri. " Rifa tersenyum mendengar jawaban Udin yang masih saja memanggilnya tuan puteri seolah mereka masih anak kecil yang sedang bermain peran. "Udah, kapan mau tidurnya kalo ngomong mulu? Tidur anjeerrr."

"Iyeeeee. Lu juga jangan begadang mulu."


***


Denting sendok yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara yang mendominasi meja makan. Rifa yang terlihat berantakan dengan mata sembabnya memancing perhatian Sarah untuk bertanya. Ah, memang sudah sejak tadi malam ia bertanya apa yang terjadi pada Rifa, mengapa anaknya pulang sendiri dan tidak bersama Abian tapi Rifa tak menjawab sama sekali.

"Sebenarnya kamu sama Abian ada masalah apa sih, Fa? Tadi malam kenapa pulangnya nangis-nangis gitu?" Sarah sudah mencoba menghubungi Abian untuk bertanya ala yang terjadi pada Rifa namun ponselnya tidak bisa dihubungi. "Cerita dong, Fa, sama Mama."

Rifa membuang napas berat, menaruh sendoknya. Ia sama sekali tak bernafsu menyantap nasi goreng yang biasa menjadi favoritnya.

"Rifa ... ayo dong, Sayang. Cerita sama Mama, kamu kenapa?"

"Tadi malam Rifa putus sama Abian. Rifa yang mutusin."

Seketika jawaban Rifa membuat Sarah membeliak. Wanita itu menatap tak percaya, mungkin ia salah dengar barusan. "Kamu mutusin, Abian?" Rifa mengangguk, mata sembabnya masih terlihat jelas bekas menangis. "Kamu nggak lagi ngelantur, kan?"

Guru BK Ngeselin Itu, Suami Gue! [COMPLETED√]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang