Part 23

330 12 1
                                    

"Aku minta maaf ya, Fa. Gara-gara aku, kamu jadi kayak gini sekarang."

Rifa menggeleng sambil membuka mulut menerima suapan bubur dari Abian. "Kamu nggak salah kok, Yan. Justru aku berterima kasih karena kamu udah berjuang nyelametin aku."

Abian terdiam. Apakah ia harus jujur kalau yang menyelamatkan Rifa itu bukanlah dirinya melainkan Raka? Tetapi kalau Abian berkata yang sejujurnya, Rifa pasti akan terpengaruh pikirannya. Bisa saja gadis itu merasa berhutang nyawa pada Raka dan guru BK itu bisa dengan mudah mendekati Rifa. Ah, tidak. Abian tidak ingin Rifa jatuh ke tangan cowok lain.

"Kamu kok diam aja, Yan? Kamu, kan yang nyelametin aku?"

"Ah-iya, Fa. A-aku yang nyelametin kamu."

"Aku nggak tahu gimana jadinya kalo kamu nggak nyelametin. Mungkin aku udah nggak ada sekarang."

Abian mengambil tisu, menyapu sudut bibir Rifa yang belepotan bubur. "Itu semua nggak ada apa-apanya dibanding rasa bersalah aku sama kamu, Fa. Aku nyesel ninggalin kamu sendirian waktu itu. Harusnya aku bikin camping pertama kamu berkesan, bukan malah berantakan."

"Udah, nggak usah dibahas. Lagian aku juga nggak kenapa-kenapa." Rifa menggerakan tubuhnya yang pegal karena selalu rebahan.

"Kamu mau duduk?" Rifa mengangguk. Dengan sigap Abian bergerak, membantu menaikan sandaran brankar agar posisi Rifa bisa bersandar. "Enak nggak posisinya?"

"Udah enakan kok." Rifa meraih ponselnya di atas nakas.   Mengecek barangkali ada pesan dari Raka. Sebab dari saat ia terbangun, Raka sama sekali tak nampak batang hidungnya. Bahkan kata mamanya, Raka tak pernah menunggu Rifa di rumah sakit, hanya sekali saja sewaktu mengantarkan setelah itu langsung pulang.

Besoknya harinya masih sama. Rifa tidak melihat Raka datang untuk menjenguknya. Hanya teman-teman sekelas dan beserta guru-guru yang datang untuk melihat keadaannya.

Sebenarnya ke mana Raka? Bahkan ponselnya pun tidak aktif, seolah menghilang begitu saja.

Rifa yang sudah membaik keadannya, mengaku bosan hanya duduk di kamar. Ia ingin diajak berjalan-jalan ke taman dan Sarah dengan senang hati menuruti permintaan anak gadisnya itu.

Cahaya matahari pagi menghangatkan persendiannya yang kaku. Terlihat jelas ada banyak sekali baret di kaki mulusnya bekas duri semak belukar sebab waktu itu ia hanya mengenakan celana di bawah lutut.

"Kata dokter, besok kamu sudah bisa pulang." Sarah berujar sambil memijat bahu Rifa.

"Kenapa nggak hari ini aja, Ma? Rifa udah nggak betah di sini. Rifa mau pulang. Rifa mau ketemu ...."

"Ketemu, siapa?"

"Kak Raka," jawab Rifa yang entah kenapa membuat raut wajah Sarah agak berbeda. "Mama kenapa?"

"Nggak pa-pa sayang. Tapi emang kata dokter besok baru boleh pulang."

Rifa menurut saja perkataan mamanya. Gadis itu kembali membuka mulut untuk bertanya. "Ma, sebenarnya Kak Raka ke mana sih? Kenapa nggak pernah jengukin Rifa?"

"Raka sibuk. Lagian kan ada Abian, pacar kamu. Kenapa kamu nyari yang lain?"

"Karena Kak Raka itu suami aku."

Sarah melepaskan napas berat. Ia kini duduk berjongkok di samping kursi roda Rifa. "Kamu nggak perlu berpura-pura menerima pernikahan itu lagi, Sayang. Mama tahu kamu nggak punya perasaan apa-apa sama Raka. Dan yang seperti mama bilang tempo hari kalau mama akan bantu perceraian kamu sama Raka. Toh, kalian menikah juga di bawah tangan dan mama yakin kamu belum pernah disentuh, kan sama Raka?"

Rifa membenarkan bahwasanya mereka belum pernah bersentuhan layaknya sepasang suami istri. Raka selalu menjaga peraturan yang Rifa buat agar tak macam-macam.

Guru BK Ngeselin Itu, Suami Gue! [COMPLETED√]Where stories live. Discover now