24

1.3K 68 0
                                    

"lo dapet luka ini dari mana?" Tanya Amanda sambil mengobati luka dan lebam di tubuh Bintang.

"Gue kemaren jatoh dari motor".

Amanda tersenyum simpul lalu menekan salah satu luka yang ada di tangan Bintang dengan kapas.

"Argh" erang Bintang kesakitan.

"Goblok. Lain kali diulangi ya, sekalian sampek ke alam kubur, ntar gue taburi sama wijen makam lo".

"Lo pikir gue onde-onde".

"Salah siapa, udah tau ujan malah ngebut, mau ngalahin Rosi lo".

Bintang menutup seluruh tubuhnya dengan selimut karena merasa risih. "Bacot lo, pergi aja sono".

"Kalau gue pergi lo gimana?. Lagian bonyok lo di mana sih?" Tanya Amanda heran, bagaimana bisa ketika masuk ke sini tidak ada mahluk lain kecuali Bintang.

"Keluar kota, entah kapan pulangnya".

"Terus pembantu?. Ya kali nyokap lo sendiri yang bersihin semua ini".

"Cuti semua. Duh lo jangan banyak tanya, kepala gue pusing".

"Yaudah tidur sono. Gue mau pulang" Amanda mengambil tasnya.

"Lo serius mau ninggalin gue yang sedang lemah ini. Tega banget ya" ucap Bintang dari balik selimut. Dia tidak mau sendirian untuk saat ini.

Amanda memutar matanya malas. "Ni yang bener gimana sih. Jangan kayak cewek dong, plin-plan banget jadi or..." Ucapan Amanda berhenti ketika melihat Bintang yang membuka selimutnya lalu muntah di lantai.

"Waw, lo muntah" Amanda dengan cepat mengambil kresek di dalam tas nya lalu menyodorkan ke arah Bintang. "Nih, kalau mau muntah lagi".

Dia juga membersihkan semua kotoran itu, walau jujur ini agak menjijikkan tapi hanya Amanda yang bisa melakukannya untuk saat ini.

"Habis ini lo makan ya, lo belum makan kan"

"Gue gak nafsu makan. Mual perut gue".

"Dah jangan banyak ngeluh. Ntar lo juga harus minum obat. Punya kotak obat kan?".

Bintang menepuk kasur bermaksud agar Amanda duduk di sana.

"Lo mau apa?" Tanya Amanda sambil duduk di kasur itu dan dengan cepat Bintang merangkul perut Amanda lalu menyadarkan kepalanya di pundak Amanda.

"Bentar, diem dulu. Gue pengen kayak gini bentar aja" .

Tangan Amanda mengelus rambut Bintang, yah sebagai tanda rasa bersalah. Karena ini juga salah Amanda membiarkan Bintang pergi begitu saja saat hujan turun.

"Tadi dingin" ucap Bintang. "Sekarang enggak".

"Heh Bintang"

"Apa?"

Amanda melepaskan tangan Bintang lalu berdiri. "Ha gue mau ambil obat, malah meluk-meluk gak jelas".

Dia pergi dari kamar itu dengan wajah memerah. Bahkan rasanya jantung Amanda ingin meledak. "Apaan sih , gak jelas banget".

Amanda menatap rumah besar itu, semuanya tampak gelap. "Kalau kayak gini horor gak sih jadinya. Terus kotak obatnya ada di mana. Gue lupa nanya".

Dia langsung balik kanan lalu kembali ke kamar Bintang. "Weh kotak obatnya di mana?"

"Oh, ada di dapur"

"Terus?"

"Apa?"

"Dapurnya di mana?"

"Eee" Bintang berfikir sejenak. "Lantai satu, di belakang".

Amanda menepuk jidatnya. "Belakang mana, ah ribet banget. Kenapa rumah gede juga. Jadi bingung kan kalau cari barang".

"Pojok kanan ada ruangan, nah itu dapur".

"Ok" Amanda berlari menuju ruangan itu, namun dia kembali terhenti ketika melihat tempat yang dia tuju tampak gelap gulita.

"Nah kan. Gue males kalo kayak gini, astaga. Mana gelap lagi. Lampu mana lampu" Amanda berusaha mencari saklar, namun dia tidak menemukannya."Mana weh, gak ada. Orang kaya saklarnya pake apa".

Dengan rasa terpaksa yang sangat tinggi Amanda masuk kedalam. Dia melihat kaca yang di tutupi oleh gorden dan tentu saja Amanda berinisiatif untuk membukanya. Namun sebelum itu dia merasa ada bayangan hitam yang lewat di belakangnya.

Amanda menoleh kesana-kemari. "Sumpah ni ya, gue males banget kalau kayak gini. Jangan maen-maen"

Amanda membuka gorden dan cahaya akhirnya berhasil masuk, tak lama dia menemukan kotak yang ia cari lalu mengambil semua obat yang ada di sana. "Bodo amat, ah males lama-lama di sini".

Dia kembali menutup gorden sebagai tanda kesopanan seorang tamu namun saat berbalik tubuhnya langsung lemas. "Hemmmm, apaan sih, gue males kalo kayak gini". Dia melihat bayangan hitam duduk di kursi membelakangi dirinya.

Mata Amanda berkaca-kaca. "Pengen nangis. Lagian kenapa tu setan gabut banget duduk di sana. Mana gue harus ngelewatin lagi".

"Argh bodo amat gue lari aja" dengan sekuat tenaga dia berlari melewati kursi itu dengan mata yang fokus menatap ke depan. Dan berhenti tepat dikamar Bintang.

"Lo kenapa lari?" Tanya Bintang yang terkejut.

Amanda terduduk lemas. "Aaaaa gue mau pulang. Sialan gue udah pernah mati tapi kenapa masih takut sama gituan".

"Ha. lo ngomong apa?" Tanya Bintang sekali lagi.

"Diem lo, gue lagi menenangkan hati dan pikiran".

"Btw obat demam yang mana?" Tanya Amanda sambil menyodorkan semua obat yang dia bawa.

"Kenapa lo bawa semua".

"Ya serah gue, cepet ambil obatnya" seru Amanda sambil ngegas.

"Iya santai aja" Bintang mengambil salah satu obat. Dia membuka bungkusnya lalu mengambil gelas berisi air di meja samping kasurnya.

"Bentar" Amanda menahan Bintang. "Lo belum makan kan".

"Oh belum".

"Yah, gue harus balik ke dapur dong".

"Gak usah. Gue gak nafsu makan".

"Matamu, mau mati lo ha. Yaudah kasih gue kunci gerbangnya. Gue mau cari makan di luar"

"Kan di dapur..."

"Halan bacot. Gue mau cari di luar" potong Amanda.

Bintang membuka laci meja lalu memberikan kunci itu ke Amanda.

"Eh... Terus, tadi lo masuk ke sini gimana caranya?. Jangan bilang".

"Iya manjat, emang kenapa ha".

Bintang menutup mulutnya dengan tangan. "Emm... Sama rok sekolah, Lo manjat setinggi itu".

"Muka lo biasa aja" seru Amanda dengan judes karena kesal dengan ekspresi Bintang.

"Lo tadi tebar aurora dong".

"Ha... Y-ya kagak lah, gue kan pakek celana pendek. Lagian saat itu juga gak ada orang".

"Oh" Bintang berusaha menahan tawanya.

"Jangan bayangin yang macem-macem ya lo".

"E-engggak siapa yang bayangin macem-macem".

"Awas lo ya. Dasar otak rusuh".

****

Happy reading...

Jangan lupa vote dan comment... Terus maap kalau ada banyak typo... Ehek😁

CRAZY GIRL (transmigrasi) ENDWhere stories live. Discover now