Chapter: Forty Four

1.8K 508 73
                                    

"Lucy tells me I'm the baddest. Overconfident in madness."
Lana LubanySold

*

Ucapan Jannah yang tegas masih terngiang-ngiang di kepalanya, bahkan setelah satu jam berlalu.

Ya, Daemon masih di tempat yang sama. Di kafe yang menurut Tommy hari minggu adalah hari terakhir tempat ini dibuka. Setelahnya, bangunan ini akan tinggal kenangan dan digantikan oleh restoran baru.

Hanya saja, Daemon tidak berharap akan bertemu dengan siapa pun. Tidak termasuk Zain yang kini tampak terkejut mendapati kehadirannya di kafe seorang diri.

"Woy, anjir! Ketemu kita," sapa pemuda itu lantas duduk di kursi yang sebelumnya Jannah tempati. "Sama siapa lo? Meera? Mana orangnya?"

Daemon hanya menggeleng lemah.

"Maksudnya? Sendirian?"

Daemon mengangguk. Masih tampak lesu.

"Buset dah. Kenapa lagi?" Zain berdecak. Ia ingin menyeruput minuman Daemon yang masih tersisa tapi segera ditepis oleh sang empunya.

"Virus!"

"Yeuh! Gue sehat kali."

"Siapa tahu OTG. Gue nggak mau ambil risiko." Daemon mengangkat bahu. "Beli sendiri gih. Nggak baik minum atau makanan nyampur gitu. Iya kalau imun lo kuat, kalau keluarga lo daya tahan tubuhnya lagi lemah, kan, kasihan yang di rumah," tegurnya, panjang lebar.

Zain tersenyum masam mendengarnya. "Iya, iya." Kemudian ia memesan minuman pada Tommy sebelum akhirnya kembali memusatkan perhatian pada Daemon. "Kenapa lagi sih lo sama si cewek api itu? Ribut soal apa lagi?"

"Terlalu rumit buat dijelasin."

"Hadeh! Jelasin covid yang nggak ada ujungnya aja langsung lancar bersuara. Lah ini ..."

"Pandemi, kan, memang masalah bersama. Semua orang harus peduli. Kalau masalah pribadi, kan, nggak semua orang harus tahu." Daemon memberi pengertian.

Ada suatu quotes dalam novel terbaru Lavandel June yang ia ingat. Kurang lebih berbunyi, "Be careful. Not everybody is your friend. People pretend to be good. At the end of the day, real situations expose false people."

Tidak, bukan berarti Daemon tidak memercayai Zain yang jelas-jelas telah banyak membantunya. Bahkan berkat pemuda itu jugalah Daemon pada akhirnya bisa terjebak dengan Meera dan mengakhiri segala rasa bersalahnya pada keluarga Salim.

Hanya saja petikan kalimat dalam karya Laras tersebut membuat ia jadi semakin berhati-hati. Tidak ada yang tahu ke depannya. Zain sudah terlalu banyak mengetahui tentang "siapa" dirinya. Biarlah konflik dalam hubungannya, apalagi segala tentang gadisnya, ia simpan sendiri rapat-rapat.

Lagi-lagi, Zain mampu dibuat kicep. "Ya ya ya. Masalah cewek emang nggak ada habisnya. Kemarin juga si Vero galau berat karena nyaris diputusin pacarnya. Pacarnya nggak suka gitu sama kerjaan barunya yang seharian di bengkel. Lebih sibuk! Mendingan manggung kayak dulu katanya."

"Ngomongin siapa lo?"

Zain langsung terlonjak dari kursinya saat mendapati Vero telah berdiri di samping mejanya. "Anjrit! Lo ngapain di sini?"

Vero mengangkat bahu. "Dapat kabar dari Tommy, besok hari terakhir nih kafe. Jadi ya udah deh, gue mampir ke sini," ujar pemuda itu, lalu duduk di samping Zain. "Ngomongin gue lo ya? Dae, dia ngomongin gue?"

Polos, Daemon mengangguk. Membuat jemari Vero sontak mencubit bibir Zain yang terbebas dari masker.

"Lagian sih, ceweeek terus masalahnya! Ingat, Bro ..." Zain memasang ekspresi serius. "Lo pertahanin hubungan tapi penuh kekhawatiran, itu perlu dipertanyakan. Apa benar bahagia atau cuma takut kesepian?"

DANGER: The Devil Wears High Heels #3Where stories live. Discover now