Chapter: Three

4.6K 1K 103
                                    

"I live for danger."
Ariana Grande – Dangerous Woman

*

Langit semakin gelap, tapi Meera masih terduduk diam di sofa ruangan yang katanya merupakan milik "bos", miliknya.

Sebuah ketukan pada pintu, sontak mengenyahkan lamunan Meera. Seorang lelaki dengan luka pada bagian pangkal hidungnya, masuk dan menyerahkan kunci mobilnya. "There you go, Boss. Mobil udah diperbaiki dan bisa digunain lagi."

Sebelah alis Meera menukik. "Mobil?"

Lelaki itu mengangguk. "Iya. Mobil Bos."

Penasaran, Meera pun bergegas melangkah ke luar dan mendapati lelaki itu tidak berbohong. Mini Cooper merahnya telah terparkir dengan keadaan sempurna di halaman gedung markas mereka. Benar-benar mulus seperti baru seolah tidak ada kecelakaan apa pun yang terjadi sebelumnya. "Ini mobil gue? Kok bisa?" tanyanya, tidak percaya meskipun telah memastikan plat nomornya sesuai.

Lelaki itu hanya tersenyum. "Nggak ada yang nggak mungkin di dunia kita, Bos."

Kemudian Meera menatap lurus lelaki itu. "Terus, kenapa lo kasih kunci ini ke gue? Nggak takut gue kabur?"

Sosok di hadapannya pun terkekeh. "Bos, sejak awal kita bukan mau menculik. Bos bebas datang dan pergi kapan pun ke markas kita. Kami cuma pengin memperkenalkan diri sama pemimpin baru Red Cobra."

Red Cobra. Apa tidak ada nama lain yang lebih cantik? Pink Panda misal?

"Dengar ya, gue nggak tahu harus ngomong berapa kali soal ini. Tapi gue bukan cewek yang kalian maksud. Gue Al Meera Salim. Bukan cewek yang siapa pun itu namanya," ujar Meera, lebih tenang. Berharap, lelaki di hadapannya ini akan percaya.

Tapi sialnya, lelaki itu hanya tersenyum dan menganggap ocehan Meera hanya asal bicara karena tidak ingin menerima tanggung jawab untuk melindungi kelompok serta wilayahnya. "It's okay, Boss. Perlahan, pasti bakal terbiasa."

Mendengar respons tersebut, Meera hanya mengembuskan napas. Percuma membuktikan sesuatu yang tidak mereka percaya. Sepertinya, Meera memang harus kabur dan memutuskan untuk tidak keluar dari kediamannya selama beberapa minggu sampai semua terasa aman baginya.

Perlahan, Meera melangkah mundur menghampiri pintu mobilnya dan bergegas masuk ke dalam. Tidak lama kemudian, mobilnya pun berlalu dari kawasan yang tidak akan pernah lagi dikunjunginya. Setidaknya, begitulah harapnya.

***

Tapi pilihan itu entah mengapa terasa tidak benar!

Paginya, Meera terbangun di tempat yang ia kenali. Ruang kamarnya. Hanya saja, ia tidak merasa tenang. Justru Meera merasa gelisah seperti ada sesuatu yang "tertinggal" dalam hidupnya.

Meera menggeleng kuat, mengenyahkan pemikiran itu. Ia tidak ingin kekeliruan membawanya pada bahaya.

Saat ia hendak mengikat rambutnya, kala itu juga Meera menatap pantulan dirinya dalam cermin. Tiba-tiba saja nama "Red Cobra" terngiang-ngiang dalam benak. Semua memang tidak masuk akal di awal. Namun, mengapa kini Meera merasa segalanya bukanlah sebuah "kebetulan"?

Meera terduduk lemas di kursi meja rias. Ia melepas jepit pada rambut, membiarkannya kembali tergerai. Mungkinkah dirinya memang simbol dari kelompok tersebut?

Sekali lagi Meera menggeleng. Tidak. Sudah jelas jika perempuan dalam foto tersebut bukanlah dirinya meskipun tidak satu pun yang dapat memastikan "siapa" dia karena wajahnya tidak terlihat.

Damn! Meera menjadi penasaran bukan main.

***

Kedatangan Mini Cooper merah tersebut membuat semua orang dalam markas keluar hanya untuk menyambut bos mereka. Tanpa basa-basi, Meera keluar seraya melepas maskernya dan menatap mereka satu per satu dengan tatapan "menilai". Meskipun begitu, sanggup membuat tidak seorang pun dapat berkutik bahkan untuk bertanya pada sang pemimpin apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Siapa yang bisa jelasin tanpa terkecuali apa pun yang gue tanyain?" Meera langsung pada inti.

Kemudian seluruh anggota, menunjuk salah seorang lelaki yang belum pernah berbicara dengan Meera secara langsung. Lelaki itu memiliki luka sepanjang kurang lebih 9 senti yang memanjang dari dahi kanan hingga membelah tulang hidungnya.

Hanya dengan anggukan kepala, Meera melangkah masuk. Tanpa memerintahkan mereka semua untuk menyingkir, seluruh anggota telah lebih dulu inisiatif membelah kumpulan menjadi jalan bagi bos mereka.

Dan di sinilah Meera sekarang. Duduk di kursi "bos" yang berada di ruangannya, diikuti oleh salah seorang anggota yang telah terpilih barusan.

"Pertama, siapa bos kalian sebelumnya?"

"Maaf, Bos, tapi haram bagi kami sebagai anak buah biasa nyebut nama pemimpin."

"Berarti kalian juga nggak boleh manggil nama gue?" Meera menyilangkan tangan di bawah dadanya yang kontan sedikit membusung.

"Betul, Bos."

"Terus, kenapa kalian yakin kalau gue adalah cewek dalam foto yang Bos kalian sebelumnya kasih?"

"Karena Bos kami sebelumnya nggak mengelak pas kami kasih tahu kalau kami udah nemuin Bos baru, yaitu Bos sendiri."

Meera memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut nyeri saking rumitnya. "Ini masih nggak masuk akal."

"Bos, sori kalau saya lancang, tapi Bos nggak perlu mikirin ini itu. Kadang, memang ada beberapa hal yang nggak bisa dicerna pakai logika. Apalagi ketika kita udah masuk ke dunia sekarang. Banyak hal yang pasti ngejutin Bos, bahkan kami semua. Yang kami perlu cuma kepemimpinan Bos, dan kami berjanji untuk selalu melindungi Bos dari bahaya."

Meera berdecak. "Apa yang kalian percaya dari gue? Dengan penampilan begini ..." Gadis itu menunjuk rambut hingga high heelsnya. "Gue sama sekali nggak terlihat bisa memimpin kelompok kalian."

Lelaki itu tersenyum penuh arti. "Never underestimate a boss is our main motto. Kami selalu percaya, bahwa seorang pemimpin pasti spesial. Dan begitu juga Bos sendiri."

Meera menghela napas. "Siapa nama lo?"

"Bos bisa panggil saya B."

"Kenapa inisial?"

"Demi keselamatan. Begitu juga yang lain," jelas lelaki itu, bersungguh-sungguh.

Meera manggut-manggut. "Oke. Mulai sekarang, percayain keselamatan itu sama gue. Jadi, siapa nama asli lo?"

Meski ragu, lelaki itu tetap berdeham kecil sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab pertanyaan bosnya, "Beni."

"Good, Beni. Mulai sekarang juga, kita bisa bicara nonformal pakai 'lo-gue'," titah Meera seraya bangkit dari posisi duduknya tanpa membuat kursi kejayaannya bergeser dan menimbulkan decitan. Suatu kemampuan yang membuat Beni terkesan.

"A-apa itu kedengaran sopan, Bos?"

"Like you just said." Sebelah mata Meera menyipit. "I'm a boss, right? So, do what I say."

Beni mengangguk patuh. "Siap!"

"Alright. What's next?"

Dengan pandangan bertanya, Beni menatap Meera bingung. "Sori, Bos?"

"Apa gue bakal bebas dari masker juga?" Kedua mata Meera membulat, penuh rasa ingin tahu.

Beni tersenyum. Baginya, pertanyaan Meera sungguh lucu didengar. Bagaimana mungkin seorang pemimpin justru yang paling "lemah"? Tentu saja mereka tidak akan membiarkan Meera menjalankan hidup sebagaimana orang biasa pada umumnya, mulai dari sekarang. Terlebih, keselamatan Meera adalah hal utama yang perlu mereka perhatikan selain menjaga wilayah dan kedamaian kelompok.

"Sure, Boss," jawabnya, semangat. Ia tidak tahu, tidak seorang pun akan menyangka jika Al Meera Salim adalah pemimpin yang tidak tertandingi yang pernah ada dalam sejarah.

👠

Aku nggak tahu berapa banyak yang masih setia pada kisah ketiga Behind The Salim, tapi terima kasih buat kalian yang menanti DaeMeer ^^

Thank u
Love u
See u

DANGER: The Devil Wears High Heels #3Où les histoires vivent. Découvrez maintenant