Chapter: Thirty Seven

1.9K 508 44
                                    

"All the girls came before were easy, before you met me."
Valerie Broussard – Killer

*

Hujan. Lagi-lagi langit menangis seolah bumi sedang tidak baik-baik saja. Di balik jendela, Daemon hanya mampu melayangkan doa pada gumpalan awan yang menggelap. Harapan yang selalu sama.

"Dae?"

Daemon menoleh dan tersenyum mendapati Meera telah berdiri di ambang pintu dengan jaket kulit yang dirinya berikan. "Tuh, kan, bagus!"

Meera melempar tatapan skeptis. "Masa sih?"

"Iya. Makin sangar."

Gadis itu lantas memutar mata mendengarnya. "Gue nggak mau kelihatan sangar. Maunya kelihatan cantik!" tegasnya, lantas mengibaskan rambut merahnya.

Daemon terkekeh. "Non Meera, kan, selalu cantik."

"Non-nan-non-nan-non! Kenapa sih lo selalu manggil gue begitu sejak hari itu?" Sebelah alis Meera menukik seraya menyilangkan kedua tangannya di bawah dada.

Bibir Daemon langsung terkatup rapat mendengarnya. Bukan sekali dua kali dirinya memanggil gadis itu dengan sebutan "non Meera" sejak peristiwa di mana ia terjatuh ke dalam jurang.

Daemon masih ingat betul ketika dirinya terbangun dengan keadaan basah kuyup. Ia melihat wajah-wajah anggota Red Cobra yang mengerumuninya dan melemparkan tatapan khawatir. Lantas, saat suara Beni memecah keheningan dengan menanyakan kondisinya, di situlah Daemon menyadari...

Ia masih berada dalam sambungan mimpi Meera.

Daemon tahu, di dunia ini terdapat Meera yang serupa. Ia juga memiliki perasaan pada gadis yang sekarang dihadapinya. Namun, segalanya tetap saja tidak nyata.

Dan Daemon takut. Sungguh takut karena semakin hari, semakin dirasa masuk akal. Tidak ada keanehan lagi yang dialaminya. Daemon tidak mengalami "halusinasi" lagi. Daemon tidak mengalami glitch pada tubuhnya seperti di awal-awal bulan. Mungkinkah itu artinya...

Ia akan menjadi abadi untuk bos Meera dan tidak akan kembali pada non Meera?

"Daemon?"

Lamunan Daemon lantas enyah mendengar panggilan Meera. "Ya ..." Pemuda itu meneguk ludah karena tenggorokannya tiba-tiba mengering. "...bos?" lanjutnya.

Senyum Meera pun terbit. "Mind to share? Lo kayak punya beban pikiran sejak kita selamat dari kejadian itu."

Daemon mengembuskan napas. "Nggak kok. Cuma masih bingung, kenapa bisa ya."

"Kayak yang Beni bilang, di bawah jurang itu ternyata laut. Kalau darat, mungkin kita udah nggak selamat." Meera mengangkat bahu, tapi sedetik kemudian ia berjengit karena ekspresi Daemon menunjukkan kekecewaan. "Kok muka lo begitu sih? Lo nggak suka kita selamat?!"

"Bukan begitu, Non—maksud saya—eh gue, Bos!" Daemon meringis. "Tapi lagi kepikiran soal komplotan mafia. Kalau kita bisa selamat, berarti ..."

"Udah aman sama polisi." Meera mendengus. "Berapa kali kita harus bahas ini sih? Itu pertanyaan yang entah ke berapa kali gue dengar. Dae, ini udah mau dua tahun sejak kita selamat dari kejaran mafia dan sampai sekarang aman-aman aja. Mau sampai kapan masih takut? Dia udah di penjara dengan putusan hukuman seumur hidup!" ujar gadis itu panjang lebar, terlihat kesal. Bagaimana tidak? Daemon setiap harinya seakan lupa ingatan.

Sementara itu, Daemon kembali sibuk dengan pikirannya yang semakin bercabang. Semakin "diyakinkan" semakin pemuda itu merasa takut. Terdapat rasa khawatir yang tidak bisa ia bagi. Terdapat rasa cemas yang tidak bisa ia jabarkan.

"Daemon?"

"Hmm?"

"Gue lapar. Mau makan."

Daemon tersenyum simpul. "Mau makan apa, No—Bos?" tanyanya, lantas berdeham kecil upaya menyamarkan kesalahannya.

"Yang simpel aja, nasi goreng atau telur dadar," pinta Meera, berhubung sejak peristiwa di mana keduanya nyaris tenggelam tersebut, Daemon jadi sosok yang ternyata pandai memasak. Bukan cuma mampu merakit senjata. "Tapi gue mau keluar dulu sama Beni. Mau ngurus geng motor yang kemarin seenak jidat masuk ke wilayah kita. Lo buatin aja ya? Biarin aja entar kalau keburu dingin. Ga masalah."

Daemon manggut-manggut. "Oke."

"Nggak mau ikut?" Meera menelengkan kepalanya. "Buat jagain gue gitu?"

Sejujurnya, Daemon tergoda. Ia ingin selalu memastikan Meera selamat dan dihindarkan dari segala macam bahaya. Oleh karena itu ia membuatkan jaket kulit dengan banyak saku tersembunyi di dalamnya juga heeled boots yang haknya mampu mengeluarkan duri-duri tajam hingga mempermudah Meera dalam melumpuhkan musuh.

Tapi Daemon harus menjauh dari bos Meera saat ini. Ia pun menggeleng dan menolaknya dengan halus, "Beni aja udah cukup buat jagain Bos. Geng motor itu cuma anak-anak sekolahan yang gabut. Nggak butuh tenaga ekstra."

"Iya sih." Meera mencebik. "Tapi kalau gue celaka gimana? Siapa tahu, mereka bawa senjata tajam?"

Perlahan, Daemon mengikis jarak mengacak pelan rambut merah Meera yang membuat gadis itu bersungut-sungut. "Kayak nggak punya senjata yang lebih bagus aja sih?"

Meera hanya tersenyum masam. Sial! Padahal ia senang berada di dekat Daemon. Walaupun Beni sanggup membuatnya merasa aman, tapi kehadiran pemuda jangkung di hadapannya ini memberikan kedamaian hati. "Ya udah, gue pergi dulu. Bye, bye!"

"Bye, Boss," jawab Daemon lirih, tapi penuh makna.

Begitu dipastikan Meera sudah keluar dari markas bersama Beni, sedangkan anggota yang lain sibuk dengan kegiatan masing-masing, Daemon pun mengendap-endap masuk ke dalam ruangan Meera untuk mengambil sesuatu sebelum akhirnya melangkah ke arah dapur markas.

Sambil berpura-pura menyiapkan makanan untuk bosnya, Daemon mengeluarkan benda yang baru saja ia curi dari laci meja kerja Meera. Sebuah pistol berwarna merah yang ia ciptakan untuk gadis itu. Senjata api yang bukan sembarang senjata api. Alih-alih mengeluarkan peluru yang dapat melubangi objek, benda tersebut mampu mengeluarkan logam berbentuk bayi laba-laba yang berukuran mikro yang dapat "merekat" pada sang target sebelum akhirnya...

Boom!

Sayangnya, percobaan bunuh diri yang ia lakukan kembali gagal. Belum apa-apa, ia sudah mendengar langkah kaki anggota lain mengarah ke dapur. Bergegas, Daemon menyembunyikan pistol Meera kembali dalam saku jaketnya dan melemparkan senyum pada sosok Zain yang muncul.

"Mau masak?"

Daemon mengangguk. "Bos minta nasi goreng."

"Bikin dua bisa nggak?" Zain menaik-turunkan alisnya. "Pakai telur."

"Iya, boleh. Tapi ada syaratnya."

"Nggak jadi," tegas Zain, kesal. Kemudian ia melangkah mendekati Daemon dan mengulurkan tangan. "Sini pistolnya, gue tahu lo ambil dari ruangan Bos. Gue laporin baru tahu rasa!" ancamnya, sebelum akhirnya memilih berlalu usai mendapatkan apa yang ditagihnya. Meninggalkan Daemon membatu di dapur.

Zain tahu, permintaan Daemon sama seperti sebelum-sebelumnya. Pemuda itu ingin Zain "mencelakainya". Pemuda itu ingin pergi dari dunia ini. Tapi ya kali Zain setega itu melukai kawanannya sendiri?! Ia benar-benar tidak habis pikir pada Daemon!

Di tempatnya, Daemon menyugar rambut frustrasi. Kehidupannya di sini seolah abadi karena sulit menemukan "bahaya". Jika memang begitu...

Sepertinya ia harus mencoba seolah-olah memang terjadi kecelakaan sungguhan.

👠

Nih buat nemanin malam minggu kalian. Tadinya sih nggak mau update sekarang karena mikir kalau malmingan pasti pada keluar, entar nggak rame :") Cuma ya udahlah. Emang sudah ga kaget lagi kalau lapak Meera-Daemon sepi.

Happy satnight, everyone!
Love u!
Semoga persembahanku kali ini bisa menghibur kalian ya ^^ see u!

DANGER: The Devil Wears High Heels #3Where stories live. Discover now