Chapter: Thirty Four

1.7K 526 102
                                    

"When I get to where I'm going, gonna have you trembling."
M.I.A – Bad Girls

*

Daemon masuk ke dalam kafe dengan perasaan senang. Sayangnya, senyuman di balik maskernya tidak bertahan lama saat melihat Zain sudah duduk di salah satu bangku, menunggu dan menyambutnya dengan ekspresi yang tidak antusias.

Meski ragu, sepasang kaki Daemon tetap melangkah menghampiri. "Hai, Zain. Hari ini jadi manggung, kan?" tanyanya, bingung karena panggung masih kosong. Tempat itu memang belum dibuka untuk pengunjung karena masih pagi, tapi biasanya anak-anak band sudah mempersiapkan alat-alat musiknya agar sound yang dikeluarkan saat tampil terasa "pas".

Zain mengembuskan napas. "Sori, Dae. Kami nggak jadi butuh lo sebagai vokalis."

Daemon terkejut mendengarnya. "Ng ... kenapa ya?" Pemuda itu berdeham sambil mengusap tengkuknya. "G-gue ada salahkah? Atau Regan balik?"

Zain mengalihkan pandangan. Ia tidak bisa berada di posisi ini lebih lama. Terlebih, respons Daemon yang tidak marah sama sekali walaupun tengah kecewa. "Pokoknya nggak butuh aja," jawabnya, bingung.

"Oh." Daemon manggut-manggut kecil. "Hmm, mungkin harusnya kabarin gue dari semalam biar gue nggak perlu ke sini."

Diam-diam Zain meringis. Ia memang salah karena sepanjang malam merasa dilema. Namun, ancaman Meera sanggup membuatnya tidak bisa tenang. Bagaimana tidak? Gadis itu ternyata cukup terkenal di aplikasi bernama Tik Tok. Meera menggunakan "power"-nya tersebut dengan mengancam Red Cobra untuk memviralkan masa lalu Daemon yang "gelap" jika Zain dan yang lain tetap memberikan posisi vokalis pada pemuda itu.

Zain benar-benar bimbang. Di satu sisi, ia merasa Meera tidak akan mungkin melakukannya karena biar bagaimanapun juga...

Entah mengapa Zain yakin jika gadis itu memiliki perasaan pada Daemon. Luarnya saja terlihat seperti singa, tapi hatinya pasti selembut anak kucing. Namun, Zain juga tidak ingin mengambil risiko Meera nekat melakukannya. Dan keputusan tersebut baru berani diambilnya saat bangun tidur.

Melihat Zain hanya bergeming, Daemon pun menepuk ringan bahu drummer tersebut sebelum akhirnya berlalu. Namun, sebelum benar-benar meninggalkan kafe, dari sudut mata Daemon menangkap sosok yang familier dari kejauhan.

Seperti sebelumnya, ia biarkan pandangan mereka bertemu. Ia biarkan tatapan tajam Meera menembus kedua matanya hingga Daemon merasa pandangannya memburam. Sayangnya, sebelum cairan bening tumpah dari pelupuk, gadis itu telah melangkahkan high heels berwarna aprikotnya meninggalkan tempat.

Daemon mengusap air matanya yang membasahi masker. Tangis ini bukan semata karena fakta Meera mempersulitnya. Tangis ini lebih tepat dikatakan sebagai efek dari rindu.

Kalau saja masih ada kesempatan kedua.

***

"Ambu apa kabar? Maaf aku jarang jenguk akhir-akhir ini. Lagi balik ke masa-masa sulit cari pekerjaan soalnya. Biasa deh, ulah setan cantik." Daemon terkekeh pilu seraya mengusap batu nisan di hadapannya. "Jadi Dean tuh susah banget ya, Mbu? Tapi jadi Daemon juga nggak mudah."

"Cuma kalau bisa milih, aku pengin jadi Dean dari dulu. Dean yang nggak terlibat sama kejahatan apa pun. Dean yang ..." Daemon mengembuskan napas, berat. "Nggak pernah ngelukain non Meera."

Di balik masker putihnya, Daemon tersenyum menyadari dirinya masih memanggil gadis itu dengan sebutan "non" di depan ambu. "Tapi Ambu jangan marah ya sama non Meera di sana? Aku yakin, semua hukuman ini cuma sementara karena aslinya dia baik. Meskipun terkesan bossy, dia perhatian lho ..."

DANGER: The Devil Wears High Heels #3Where stories live. Discover now