Chapter: Thirty

2.1K 551 91
                                    

"I don't hate this madness. I am enjoying it."
Irene & Seulgi – Monster

*

Kesabaran Meera telah melewati batas. Ia sudah terlalu lama "mengulur waktu" dan membiarkan Daemon hidup dengan tenang seperti biasa. Karena jika memang benar pemuda itu bermasalah, Meera tidak akan segan-segan membuatkan neraka untuknya.

Sekali lagi Meera tegaskan, ia tidak suka bermain-main. Jika Daemon datang ke hidupnya hingga mimpinya bukan secara kebetulan, terlebih ada alasan buruk di baliknya, Meera tidak akan sudi membiarkan hari-hari pemuda itu merasa damai.

Ya, entah mengapa perasaan Meera mengatakan jika ada sesuatu yang besar di balik semua ini. Mungkinkah Demon telah berbohong padanya akan sosok perempuan berambut merah misterius itu? Dan mengapa juga perasaan Meera semakin yakin jika dugaannya adalah benar?

Hanya saja hingga saat ini, Meera juga belum mendapatkan bukti atas kecurigaannya. Semua cuma berdasarkan pandangan semata. Pandangan yang mungkin saja bias. Pandangan yang sudah tidak bisa lagi mengamati pemuda itu secara objektif. Seperti kegugupan Daemon saat diajak berbicara oleh Laras dan ketidaknyamanannya berada di griya tawang ketika Jannah sedang berkunjung.

Segalanya seolah tidak hanya mengarah pada satu titik. Tingkah laku Daemon membuat pemikiran liar Meera berasumsi jika pemuda itu tidak hanya bermasalah dengannya...

Tapi seluruh penyandang Salim.

Namun, hari ini takdir memudahkan Meera dalam mencapai tujuannya. Dengan kata lain, dewi Fortuna sedang tidak berpihak pada Daemon karena satu kesalahan yang ia sepelekan.

Meera berjongkok upaya memungut benda berbentuk tabung seukuran ibu jari orang dewasa yang terjatuh dari saku celana Daemon dan menggelinding di ujung heels open toe-nya saat pemuda itu mengeluarkan ponselnya.

"Concealer?" Meera mengernyit. Kalau boleh dibilang, sejujurnya tidaklah aneh jika lelaki zaman kini memakai produk riasan seperti ini. Apalagi, fungsi benda di tangannya sekarang memang lumrah digunakan untuk menutupi noda-noda di wajah.

Sayangnya, respons Daemon semakin memancing kecurigaannya. Kedua mata pemuda itu tampak terbeliak.

"Iya, Non. Buat nutupin mata panda saya," jawab Daemon, berusaha tidak gugup.

"Oh iya? Nggak abu-abu di elo?"

"M-maksudnya, Non?"

Kemudian Meera membuka botol kecil tersebut dan lantas menurunkan paksa masker Daemon untuk mengoleskan concealer itu pada dagu pemuda itu. "Shadenya jelas-jelas 2 tingkat lebih tinggi dari kulit wajah lo. Brand ini juga nggak oksidasi. Tapi gue nggak pernah notice area under eye lo lebih cerah dari bagian lain. To be honest aja, muka lo agak kusam."

Daemon meneguk ludah. Sial! Mengapa benda itu harus terjatuh di hadapan Meera?

"Non, nggak mau masuk dulu ke dalam? Dilihatin satpam," ucapnya, berusaha mengalihkan perhatian. Kali ini pemuda itu tidak berbohong, satpam yang bertugas menjaga pintu selatan mall yang akan mereka kunjungi, sejak tadi menunggu mereka untuk segera melakukan scan dengan aplikasi Peduli Lindungi karena posisi keduanya cukup menghalangi banner barcode di samping.

Meera inginnya tidak peduli, tapi ide yang lebih menarik terlintas di benaknya. Ia pun mengalah dan mengembalikan concealer tersebut pada Daemon sebelum akhirnya masuk ke dalam mall dengan diekori oleh pemuda itu.

"Gue mau ke toilet dulu. Mau touch up. Lo tunggu sini," titah Meera, lantas berlalu begitu saja.

Daemon mengangguk cepat. Ia sudah hafal di luar kepala akan rutinitas sang majikan tiap masuk ke dalam mall. Walaupun sebagian wajah cantiknya tersembunyi di balik masker, Meera tetap peduli akan complexion riasannya.

DANGER: The Devil Wears High Heels #3Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang