Chapter: Sixteen

2.3K 655 78
                                    

"Mother Earth, Mother Mary rise to the top. Divine feminine, I'm feminine."
Doja Cat – Woman

*

Meera ingin menampik fakta bahwa pernyataan Ermina adalah kekeliruan, tapi tidak. Semakin hari, semakin Meera sadar jika semua ini bukanlah mimpi. Justru sebaliknya.

Seperti sekarang. Meera duduk di kafe di mana menjadi tempat terakhir dirinya berkunjung sebelum sebuah tragedi terjadi padanya. Ya, peristiwa itu nyata. Namun, Meera lagi-lagi tidak ingin mengakuinya.

Menerima jika mimpinya benar-benar sebuah "mimpi". Artinya, tidak pernah ada dunia lain di kehidupannya. Tidak pernah ada Red Cobra. Tidak pernah ada sebuah kelompok yang dipimpin olehnya. Dan tentunya...

Daemon tidak pernah ada.

Segala bukti telah dikerahkan oleh keluarga, hingga teman-teman Meera sendiri. Meski selalu denial, semua orang memiliki alibi yang kuat akan apa yang sebenarnya terjadi. Sedangkan Meera?

Nihil. Ia bahkan tidak menemukan bekas suntikan pada lehernya saat ia diberikan serum kekebalan tubuh.

"Eh, katanya udah boleh buka masker di tempat terbuka ya?" Abel kembali memecah keheningan seolah hal tersebut telah menjadi tugasnya.

Ruby hanya berdecak. Ia bersyukur jika covid-19 perlahan hilang, tapi masalahnya wajah "jutek" itu tidak mungkin bisa hilang. Terlebih, Ruby paling tidak bisa berpura-pura sampai para sahabatnya kerap mengatakan jika Arif—pacarnya—adalah orang terpilih dari Tuhan yang diciptakan untuk tidak pernah tersinggung akan raut muka Ruby. Kesimpulannya, ia akan tetap menggunakan masker sekalipun pandemi sudah tidak ada lagi.

"Iya nih. Jadi insecure," cicit Riana.

Lisa berjengit mendengarnya. "Lho, kenapa begitu?"

"Biasanya PD aja nggak pakai makeup. Sekarang, jadi ke mana-mana minimal harus pakai lipstick," balas Riana, apa adanya.

"Lo udah cakep, Ri. Si Ciki itu juga udah bucin sama lo. Jangan ngerasa nggak percaya diri gitulah," ucap Ruby yang sebenarnya sangat positif dan baik, tapi ekspresinya itu lho. Bikin orang yang nggak "mengenal" dia, mungkin dipikir sedang menyindir.

"Namanya Komo, bukan Ciki!" Riana tampak geregetan. Bagaimana tidak? Mentang-mentang nama cowoknya mirip dengan snack rasa jagung bakar zaman dulu, Ruby dan Lisa suka seenaknya ganti-ganti nama orang!

"Sssst! Jangan ngomongin cowok." Abel memperingati mereka, lantas mengedikkan dagu ke arah Meera. "Nanti bete dia."

Sayangnya, Meera terlalu tenggelam dalam lamunan hingga tidak menyadari dirinya sedang dibicarakan. Sampai sebuah suara mengejutkan gadis itu. Suara yang sama sekali tidak familier, tapi cukup membuat Meera terlempar ke dalam mimpinya.

"Halo, semua! Kembali lagi sama saya Regan dan juga teman-teman saya ..." Pemuda yang diduga sebagai vokalis dari band tidak terkenal itu sedikit memutar badannya untuk menunjuk keempat anggota lain sekaligus memperkenalkan mereka, "ada Beni, Zain, Hugo, dan Vero. Hari ini kita akan membawakan lagu yang paling banyak di-request. So everyone ..."

"This is Red Cobra."

Sontak, Meera bangkit dari tempat hingga kursinya berdecit keras. Hal itu tentu saja mengejutkan sepasang kekasih yang duduk di meja sebelah mereka, tapi tidak sampai membuat perhatian anggota band teralihkan. Pertama karena lagu mulai dimainkan, kedua karena tempat di mana Meera kini cukup jauh dengan panggung, alias dari ujung ke ujung.

Lisa, yang saat itu duduk tepat di samping Meera pun langsung meraih pergelangan tangannya. "Lo mau ke mana?"

"I knew it! Mereka semua nyata!" ucap Meera dengan suara yang tenggelam oleh musik, tapi teman-temannya tentu saja masih dapat mendengar jelas. Tanpa terkecuali.

DANGER: The Devil Wears High Heels #3Where stories live. Discover now